Semula komoditas liar, kini masyarakat Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, membudidayakan talas beneng sebagai pangan lokal andalan. Permintaan pasar kian besar.
Fahri Abdul Ghaffar terkejut saat menerima permintaan umbi beneng segar dari eksportir bahan pangan asal Kota Malang, Jawa Timur. Permintaan tak tanggung-tanggung, hingga 80 ton per bulan. Eksportir akan mengirimkan umbi itu ke Belanda. Semula Fahri ragu memenuhi permintaan itu. “Saya khawatir mereka tidak serius,” ujar mahasiswa Jurusan Bimbingan Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Harap mafhum, itu pengalaman pertamanya terjun dalam dunia usaha. Apalagi permintaannya tergolong besar. Namun, keseriusan pengusaha itu terbukti. Pengusaha dan pembeli asal Belanda datang langsung menemui Fahri di kediamannya di Kabupaten Pandeglang. Mereka ingin melihat lokasi penanaman talas beneng sekaligus memastikan keberlanjutan pasokan. Fahri mengantar mereka ke kebun talas beneng milik Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Juhut Mandiri.
Belum terpenuhi
Setelah melihat langsung kondisi kebun di Kelurahan Juhut, Kecamatan Karangtanjung, Kabupaten Pandeglang, pengusaha dan importir asal Belanda akhirnya sepakat membeli talas beneng dari Fahri. Selanjutnya Fahri bekerja sama dengan Gapoktan Juhut Mandiri membudidayakan 15.000 talas beneng di lahan 1 hektare untuk memenuhi pasokan. Fahri juga bekerja sama dengan salah satu pondok pesantren di Pandeglang yang memiliki lahan kosong.
Fahri lalu mengelola lahan itu dan membudidayakan 7.000 tanaman talas beneng. Kerja sama berupa bagi hasil, yakni 60% keuntungan untuk Fahri dan sisanya untuk pihak pesantren. Pengiriman perdana berlangsung pada Ramadan 2017. Dari 80 ton yang diminta, Fahri hanya mampu memasok 20 ton per bulan. Ia kesulitan memasok sesuai permintaan lantaran ketersediaan lahan terbatas. Harap mafhum, talas beneng tumbuh baik di lahan yang ternaungi.
Contohnya di Kelurahan Juhut. Talas beneng tumbuh di bawah tegakan pohon cengkih, petai, dan melinjo. Fahri menjual talas beneng segar Rp1.500 per kg. Jika bobot sebuah umbi 20 kg, maka harga mencapai Rp30.000. Dari perniagaan talas beneng omzet Fahri rata-rata Rp30 juta per bulan. Menurut Fahri dengan harga jual itu pekebun masih meraup untung. Biaya produksi talas beneng relatif murah karena tak perlu perawatan intensif.
Para pekebun membudidayakan talas secara organik. Sebagai sumber nutrisi mereka hanya mengandalkan pupuk kandang dari kotoran domba yang telah terurai. Mereka memberikan pupuk hanya sekali yakni ketika penanaman. Kebutuhan pupuk organik hanya 1 kg per lubang tanam. Fahri mengirim umbi talas beneng dalam bentuk segar ke Malang. Di sana eksportir mengolah talas dengan cara mengukus kemudian menghaluskannya menjadi pasta.
Pasta umbi talas beneng itu kemudian dikirim ke Belanda. Saat ini pengiriman umbi beneng segar berhenti sementara karena sedang proses pembaruan perizinan ekspor. Nama beneng masih asing. Beneng talas lokal yang banyak tumbuh di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Nama beneng akronim dari kata besar dan koneng.
Sebutan “besar” melekat lantaran sosok umbi talas yang berukuran jumbo. Bobot sebuah umbi dari tanaman berumur 1 tahun fantastis, 20 kg. Bandingkan dengan bobot umbi talas lain yang rata-rata 300—500 gram. Adapun nama koneng berarti kuning dalam bahasa Sunda. Itu merujuk pada daging umbi yang berwarna kuning cerah pada talas Xanthosoma undipes.
Keripik talas
Perjumpaan Fahri dengan eksportir asal Malang itu bermula saat menjual keripik talas beneng. Eksportir asal Malang itu rupanya salah satu pelanggan keripik produksi Fahri. Sejak akhir 2016 ia merintis usaha kecil-kecilan menjual keripik talas beneng. Produk itu menjadi ikon pangan lokal khas Kabupaten Pandeglang. Pasokan keripik talas beneng ia peroleh dari Gapoktan Juhut Mandiri yang mengembangkan talas beneng sejak 2008.
Selain membudidayakan tanaman anggota famili Araceae itu, Gapoktan Juhut Mandiri juga mengolah talas beneng menjadi aneka produk olahan seperti keripik dan tepung. Fahri membeli keripik talas beneng dari Gapoktan Juhut Mandiri secara curah. Keripik itu ia tambahkan aneka perasa, seperti rasa jagung bakar, sapi panggang, dan pedas. Fahri lalu mengemas ulang keripik dalam kemasan plastik berisi 100 gram.
Selanjutnya Fahri melabeli kemasan keripik dengan merek Keripik Tales Mang Santri. Ia menjajakan produknya itu di media sosial dan situs penjualan daring dengan harga Rp15.000 per kemasan. Dalam sebulan Fahri rata-rata menjual hingga 150 kemasan. Pada Februari 2018 Fahri juga memproduksi mi berbahan tepung talas beneng. Pasokan tepung ia peroleh dari Gapoktan Juhut Mandiri.
Gapoktan yang beranggotakan 13 kelompok tani itu juga mengolah umbi beneng menjadi tepung. Fahri mengolah tepung beneng menjadi mi dengan komposisi tepung beneng 15%, sisanya tepung tapioka dan terigu. Menurutnya itu adalah komposisi terbaik dari beberapa kali uji coba. Ia menyajikan mi itu dalam bentuk hidangan mi ayam untuk para konsumen.
Pengusaha muda itu menjual mi ayam berbahan beneng di gerai di depan rumahnya. Dalam sehari Fahri menjual setidaknya 3 kg mi atau setara 30 porsi mi ayam. Harga jual mi ayam Rp15.000 per porsi. Fahri juga mengolah tepung beneng menjadi aneka kue, seperti brownis. “Saya membuat kue hanya berdasarkan pesanan,” tambahnya.
Naik kasta
Menurut Ketua Gapoktan, Juliana, berkembangnya aneka olahan pangan berbahan talas beneng meningkatkan “kasta” talas beneng di masyarakat. “Dahulu orang malu jika menjamu tamu dengan talas beneng. Bahkan kerap menyembunyikan beneng jika ada tamu datang ke rumah,” ujarnya. Harap mafhum, zaman dahulu umbi tanaman anggota famili Araceae itu ibarat simbol kemiskinan. Kerabat aglaonema itu dibiarkan tumbuh liar di hutan-hutan.
Masyarakat mengonsumsi talas beneng jika tak mampu membeli beras. Pada 2008 penyuluh pertanian di Kabupaten Pandeglang, Dudi Supriyadi, mengungkap potensi umbi beneng sebagai sumber karbohidrat. Berdasarkan hasil riset Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Banten, giant taro itu mengandung 18,30% karbohidrat; 15,21% pati; 2,01% protein; 0,73% serat; 0,27% lemak; dan 83,7 kkal.
Artinya, “Talas beneng potensial dijadikan sebagai sumber karbohidrat, selain beras,” ungkap Ketua Seksi Aneka Kacang dan Umbi Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Pandeglang, Iping Saripin. Apalagi porsi tanaman yang bisa dikonsumsi atau edible portion talas beneng jauh lebih besar dibandingkan jenis talas lain. Contohnya talas bogor yang berbobot rata-rata 900 gram per umbi, sedangkan beneng bisa mencapai 20 kg.
Berbagai penelitian pun dilakukan, terutama untuk menghilangkan gatal saat dikonsumsi akibat kandungan oksalat yang tinggi pada umbi talas beneng. Kini rasa gatal dapat diatasi dengan merendam umbi talas beneng pada larutan garam atau air hangat. Sejak itu popularitas talas beneng di masyarakat mulai menanjak. Pada 2008 masyarakat mulai membudidayakan beneng. Menurut Juliana, kini sudah ada 13 kelompok tani yang membudidayakan talas beneng dengan jumlah anggota 250 pekebun. Total luas areal tanam di Kelurahan Juhut mencapai 30 hektare.
Dari luas areal tanam itu Juliana memanen rata-rata 100—200 kg umbi per hari. Ia mengolah hasil panen itu menjadi keripik dengan melibatkan Kelompok Wanita Tani (KWT). Ia lalu menjual keripik talas beneng ke toko-toko yang menjajakan oleh-oleh khas Pandeglang. “Dalam sebulan rata-rata menjual 60 kg keripik,” ujarnya. Dengan harga jual Rp35.000 per kg, ia meraup omzet Rp2,1 juta per bulan.
Tepung
Juliana juga mengolah talas beneng menjadi tepung. Tepung itu terbuat dari serutan umbi beneng yang dikeringkan atau disebut gaplek. Ia lalu menggiling gaplek menjadi tepung berukuran 100 mesh. Untuk menghasilkan sekilogram gaplek, Juliana membutuhkan 4 kg umbi beneng segar. Dari 1 kg gaplek menghasilkan 900 g tepung. Sayangnya tarikan pasar tepung talas beneng di pasar lokal kurang begitu kencang meski digadang-gadang sebagai ikon pangan lokal.
Sebagian besar pasar tepung talas beneng justru untuk memasok Kota Bogor, Jawa Barat, sebagai bahan baku bolu lapis talas yang menjadi ikon Kota Bogor. Pria 44 tahun itu memasok rata-rata 2 ton tepung talas beneng per bulan. Ia juga memasok tepung umbi kerabat anthurium itu ke produsen kue di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, berkapasitas sama. Dengan harga jual Rp12.000 per kg, Juliana meraup omzet rata-rata Rp48 juta per bulan dari hasil penjualan tepung.
Iping menuturkan pasar Kota Bogor lebih besar karena industri pariwisata di kota berjuluk Kota Hujan itu lebih maju dibandingkan dengan Pandeglang. Meski demikian pemerintah Kabupaten Pandeglang terus berupaya mendorong pengembangan talas beneng. Bupati Pandeglang, Irna Narulita, dalam sambutannya pada ajang Fruit Festival dan Festival Pangan Lokal pada Februari 2018, menetapkan talas beneng sebagai pangan lokal andalan Kabupaten Pandeglang.
Dukungan juga datang dari Dinas Pertanian Provinsi Banten yang menginstruksikan Dinas Pertanian Kabupaten Pandeglang untuk meningkatkan areal tanam talam beneng. “Kami diminta untuk menyediakan lahan 200 hektare untuk budidaya talas beneng,” tutur Iping. Dengan begitu diharapkan pamor talas beneng semakin mentereng. (Imam Wiguna)