Kebutuhan cacing sutra untuk pakan burayak sangat besar. Peluang usaha bagi peternak.
Mohamad Fathurohman mematikan keran yang mengalirkan air dari tandon. Air yang menggenangi lima kolam itu pun perlahan surut. Saat surut itulah di dasar kolam tampak seperti hamparan lumut, tetapi berwarna merah marun. Hamparan itu bergerak-gerak lantaran tersapu air yang mengalir perlahan. Itulah koloni cacing sutra Tubifex sp. Ukuran tubuhnya sangat mungil bak benang membuatnya seperti jalinan serat lumut saat bergerombol.
Peternak di Desa Jatiragas Hilir, Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang, Jawa Barat, itu membudidayakan cacing sutra untuk memenuhi kebutuhan para produsen benih lele dan patin. Para penangkar lele membutuhkan cacing sutra sebagai pakan burayak. Ia membudidayakan cacing sutra di kolam berukuran 6 m x 10 m yang terbagi menjadi 5 jalur. Tiga jalur berukuran 90 cm x 1.000 cm, sisanya 80 cm x 1.000 cm—semua berkedalaman 20 cm.
Pakan utama
Dari seluruh kolam itu Fathurohman memanen rata-rata 200 liter cacing sutra per bulan. Ia menjual hewan anggota famili Naididae itu Rp15.000—Rp17.000 per liter. Dengan harga jual itu omzet Fathurohman Rp3-juta—Rp3,4-juta per bulan. Selain dari kolam milik sendiri, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Singaperbangsa, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, itu juga menampung cacing dari para peternak lain. Total jenderal Fathurohman menjual rata-rata 800 liter cacing sutra per bulan.
Nun di Desa Gabugan, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Suharno juga membudidayakan cacing sutra di kolam 30 m2. Dari kolam itu Suharno memanen 90—100 liter cacing sutra per bulan. Ia menjual cacing itu Rp20.000 per liter. Artinya omzet Suharno Rp1,8-juta—Rp2-juta per bulan. Pendapatan Suharno masih kecil karena luas lahan terbatas. “Permintaan sebetulnya masih tinggi. Jumlah produksi saya baru 30% dari total permintaan,” ujarnya.
Di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Mahmud Efendi juga membudidayakan cacing sutra. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) bidang perikanan itu membudidayakan cacing sutra di kolam berukuran 4 m x 20 m dan wadah bertingkat. Dari kedua model budidaya itu ia memanen 25 liter cacing sutra per pekan atau total rata-rata 100 liter per bulan.
Ia menjual hasil panen kepada para pembenih lele, nila, gurami, dan sidat dengan harga Rp25.000—Rp30.000 per liter. Menurut Fathurohman hingga kini cacing sutra pakan utama untuk burayak sehingga dibutuhkan para penangkar ikan. Contohnya penangkar lele di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Budiarto, yang membutuhkan cacing sutra untuk pakan benih lele berumur 0—12 hari.
“Setelah berumur lebih dari 13 hari bisa menggunakan pakan pelet buatan pabrik berukuran kecil,” ujar Budiarto. Dalam sebulan Budiarto memerlukan setidaknya 60 takar (1 takar = 750 ml) atau 45 liter cacing sutra untuk pakan 500.000 ekor burayak. Ia memperoleh pasokan cacing sutra dari pengepul dengan harga Rp20.000 per takar. Artinya ia mengeluarkan biaya untuk membeli cacing sutra hingga Rp1,2-juta per bulan.
Hasil budidaya aman
Para peternak biasanya membeli cacing sutra dari pengepul yang memperoleh pasokan dari para pengumpul cacing sutra di alam. Menurut Mahmud ketersediaan cacing sutra sangat tergantung dari kondisi alam. Pada musim hujan jumlah cacing sutra di alam terbatas karena aliran sungai yang menjadi habitat cacing sutra tersapu aliran air yang deras. “Itulah sebabnya dalam lima tahun terakhir mulai bermunculan para peternak yang membudidayakan cacing sutra,” katanya.
Mahmud menuturkan cacing sutra hasil budidaya memiliki berbagai keunggulan. Salah satunya lebih aman karena dalam proses budidayanya terkontrol. Bandingkan dengan hasil tangkapan alam tidak dapat dikendalikan sehingga berisiko tercemar bakteri merugikan dan limbah kimia rumah tangga atau industri. “Jika cacing sutra tercemar bakteri merugikan, maka dapat menyebabkan kematian benih ikan yang memakannya,” ujar Mahmud.
Untuk mencegah cemaran bakteri merugikan, para pengumpul cacing sutra hasil tangkapan alam melakukan karantina dengan menambahkan metil biru yang bersifat antibiotik. “Dalam budidaya ikan konsumsi pemakaian metil biru diminimalisir karena dapat menyebabkan residu yang berifat karsinogen (penyebab kanker, red),” ujar alumnus Jurusan Penyuluh Perikanan Sekolah Tinggi Perikanan (STP) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu.
Itulah sebabnya permintaan cacing sutra hasil budidaya terus meningkat seiring berkembangnya usaha penangkaran beberapa komoditas perikanan seperti lele, patin, dan sidat. “Belum lagi kebutuhan dari para penangkar ikan hias,” ujarnya. Hingga kini Fathurohman belum mampu memenuhi permintaan cacing sutra. “Permintaan dari Cijengkol saja mencapai 300 liter per dua hari,” ujarnya.
Oleh karena itu kini ia tengah menambah kapasitas produksi dengan membangun dua rak masing-masing terdiri atas 3 tingkat wadah budidaya masing-masing berukuran 80 cm x 1.000 cm. Beberapa produsen benih lele memproduksi cacing sutra sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Peternak lele di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, Agus Krisnandi, memproduksi 20—60 liter cacing sutra per bulan.
“Jumlah itu baru untuk kebutuhan sendiri. Itu pun masih kurang,” kata Agus. Itulah sebabnya ia berencana menambah 4 kolam berukuran 2 m x 2 m untuk mendongkrak produksi cacing sutra. Kebutuhan cacing sutra Dian Ekotomo jauh lebih banyak. Untuk peternakan lele miliknya di Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, saja memerlukan pasokan hingga 20 liter cacing sutra per hari.
Sementara untuk peternakan lele miliknya di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, perlu pasokan 50 liter cacing sutra per hari. Untuk memenuhi kebutuhan itu Dian membudidayakan tubifex di kolam berukuran 120 m². “Dari kolam seluas itu belum cukup,” tuturnya. Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, ia juga memerlukan pasokan untuk memenuhi kebutuhan peternak lain. Itulah sebabnya ia berencana membuat kolam budidaya cacing sutra di lahan sawah hingga seluas 1 hektare.
Budidaya mudah
Mahmud Efendi terpaksa menolak permintaan sebuah peternakan sidat di daerah Sidoarjo, Jawa Timur, yang memerlukan pasokan hingga 300 liter per hari. “Permintaan dari Lampung bahkan mencapai 1.000 liter per hari. Karena tidak sanggup saya penuhi, akhirnya permintaan itu saya serahkan ke para pengumpul cacing sutra dari alam di Kota Bekasi,” ujar Mahmud.
Menurut Fathurohman kebutuhan cacing sutra yang tinggi dapat menjadi peluang usaha. “Apalagi budidayanya relatif mudah dan menguntungkan (lihat analisis usaha, red),” ujarnya. Untuk media berkembang biak Fathurohman memanfaatkan lumpur yang ia peroleh dari sungai kecil yang melintasi kediamannya. Ayah dua anak itu lalu mencampur lumpur dengan pupuk kotoran sapi yang sudah terurai.
Selain itu ia juga menambahkan ampas tahu, dedak, dan pasir dengan komposisi 60% lumpur, 20% pupuk kandang, 5% ampas tahu, 5% dedak, 10% pasir, dan larutan probiotik secukupnya. Campur seluruh bahan hingga benar-benar merata. Setelah itu masukkan media tumbuh ke dalam wadah kultur berupa kolam beralas terpal atau semen hingga ketinggian 10 cm. “Jika di perkotaan yang berlahan sempit bisa menggunakan wadah berupa nampan,” ujar Fathurohman.
Atur ketinggian media kultur agar air dapat mengalir dari satu kolam ke kolam lainnya. Ia lalu mengalirkan air hingga ketinggian 3 cm dari permukaan lumpur. Fathurohman menuturkan air yang digunakan untuk menggenangi kolam sebaiknya mengandung bahan organik. Contohnya air dari kolam ikan. “Air dari kolam ikan mengandung bahan organik dari kotoran ikan yang larut. Kotoran ikan itu bisa menjadi sumber nutrisi untuk cacing sutra,” tuturnya.
Fathurohman memompa air dari kolam ikan ke tandon air yang diletakkan setinggi 2 m dari permukaan tanah. Ia lalu mengalirkan air dari tandon ke kolam secara gravitasi. “Air kolam harus mengalir dengan debit tertentu yang cukup untuk menjamin ketersedian oksigen pada media kultur,” jelasnya. Fathurohman membiarkan media kultur selama 6—7 hari hingga fermentasi media kultur selesai.
Cirinya media kultur tidak berbau. Setelah itu barulah ia memasukkan benih ke dalam lubang-lubang kecil yang dibuat di media kultur dengan jarak antarlubang 10—15 cm. Cacing sutra siap panen pada 8—10 hari pascatebar benih. Dari satu jalur kolam berukuran 90 cm x 1.000 cm Fathurohman memanen rata-rata 5 liter cacing sutra. Setiap kali selesai panen, berikan nutrisi tambahan berupa pupuk kandang sapi dan ampas tahu atau limbah pasar yang diblender untuk kembali memacu pertumbuhan cacing.
Untuk setiap jalur kolam berukuran 90 cm x 1.000 cm membutuhkan pupuk kandang dan ampas tahu masing-masing 10 kg. Dalam 4—5 hari kembali bermunculan benih-benih cacing dan siap panen seminggu kemudian. Tren budidaya cacing sutra itu mendapat sambutan baik dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Menurut Direktur Pakan, Ir Coco Kokarkin Soetrisno MSc, kini pemerintah memacu para peternak ikan untuk memanfaatkan pakan alami, salah satunya tubifex, sebagai pakan alternatif. Pemerintah berencana memberikan bantuan langsung berupa sarana dan prasarana pembuatan pakan, bahan baku pakan, dan sarana budidaya pakan alami (tubifex, artemia, dan lemna) kepada para kelompok pembudidaya ikan yang dibentuk Dinas Perikanan kabupaten atau universitas. Dengan begitu diharapkan para peternak dapat mandiri dalam menyediakan pakan. (Imam Wiguna)