Hobiis dari Kota Kembang ituberani membayar Rp30-juta untuk ranchu top view peringkat ke-2 pada kontes di Plaza Maspion, Jakarta Utara. Harga yang luar biasauntuk ikan bertampang jenaka berukuran 10 cm.
Di tempat sama, kelahiran Bogor 25 tahun lalu itu sukses pula membeli kampiun tosakin milik Bens Aquarium seharga Rp25-juta. Ikan cetakan penangkar di Jepang itu salah satu jenis yang juga diincar. Jadi, Ahad sore medio Maret itu, tanpa rasa sesal sedikit pun, pria lajang itu sudah menguras Rp55-juta dari pundipundinya. Setahun lalu grand champion Indofish 2003, black ranchu, dibeli Rp15-juta meski kini klangenan itu sudah berpindah tangan.
Ever Tagoli bukan satusatunya hobiis yang sanggup membeli maskoki dengan harga menjulang. Kiking Zamorano mesti merogoh kocek Rp20-juta untuk mendapatkan ranchu side view bongsor asal Thailand. Pemilik perusahaan tekstil Seruling Mas di Bandung itu ingin mengandalkan ikan bercorak merah itu sebagai jago di setiap kontes. Prestasi perdana sudah direbut ketika ia menjadi grand champion di kontes Piala Pangkostrad.
Nandy, kolektor di bilangan Taman Cibaduyut Indah, Bandung, pun tak segan mengucurkan duit Rp9-juta untuk tossa berukuran 10 cm dari importir di Jakarta. Pada Bandung Open Goldfish 2003 sang klangenan memboyong gelar young champion.
Keberanian para hobiis membeli maskoki berharga tinggi itu sejalan tren maskoki yang kian merasuk. Di saat tren lou han sedang menurun, derajat maskoki melesat menuju puncak. Padahal waktu lou han berjaya selama 2 tahun terakhir, praktis kerabat ikan mas itu meluruk ke dasar bersamasama ikan hias tawar lain.
Kontes kian marak
Belakangan ini kontes maskoki kian marak diselenggarakan di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta. Kota-kota kecil seperti Malang dan Tasikmalaya tak ketinggalan mengikuti tren. Menurut YB Hariantono, ketua Klub Maskoki Jakarta, dibandingkan setahun lalu frekuensi kontes melonjak tajam. Jika 2 tahun terakhir dalam setahun belum tentu ada lomba, kini sejak medio 2003 hingga semester awal 2004, 8 kali kontes digelar.
Jumlah peserta di setiap kontes terus bertambah. Sebut saja saat pagelaran Aquavaganza di Jakarta Hilton Convention Centre Desember 2003. Menurut Andre Humanika, ketua panitia pelaksana, pesertanya membludak. Dari 190 akuarium yang disediakan seluruhnya terisi. Beberapa peserta luar kota terpaksa ditolak karena keterbatasan akuarium.
Setali tiga uang dengan penyelenggaraan kontes lain. Minimal setiap kontes menyedot 100 peserta: Bandung Competition Walikota Cup (135 peserta), Indofish (107 peserta), Fishlook Goldfish Contest (105 peserta), Bandung Open Goldfish (156 peserta), Kontes Star Wars (133 peserta), dan Piala Pangkostrad (189 peserta).
Sejalan meningkatnya jumlah penggemar maskoki itu, peluang memasok Carrasius auratus bermutu ramai-ramai dilirik. Menurut Iskandar dari Metro Lou han di Cileduk, Tangerang, sejak Juni—Agustus 2003 hanya dia dan 2 importir di Jakarta yang rutin mendatangkan maskoki dari Cina. Namun, kini jumlahnya meningkat mencapai belasan importir. Mereka tersebar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Ramai-ramai impor
Yang mendulang laba dari perniagaan maskoki adalah Danny Hutomo Lianto di Surabaya, Jawa Timur. Sejak Agustus 2003, pemilik Mawar Koi 21 itu rajin mengimpor antara lain ranchu, oranda, tossa, kaliko, dan butterfly. Semula pedagang koi itu hanya mendatangkan 80 maskoki berukuran 7—8 cm. Hasilnya, belum genap sebulan, 50% dari ikan impor asal Li Meng, Malaysia, itu laku terjual.
Lantaran cukup berprospek, maskoki asal Cina mulai diimpor 3 bulan berikutnya. Faktor harga dan kualitas membuat Danny berpaling ke Negeri Tirai Bambu itu. Setiap 3 pekan, 8—10 karton (1 karton berisi 20 ikan, red) rutin dipasok oleh rekanan di Beijing dan Sou Chou. Sejak akhir tahun frekuensi pengiriman meningkat menjadi setiap 2 pekan. Volume karton tetap sama. Untuk ikan berkualitas berukuran 10 cm dilepas Rp400.000—Rp500.000 per ekor.
Willi Law pemilik gerai 183 Goldfish di Plaza Maspion, Jakarta Utara, menanamkan modal Rp100-juta untuk berbisnis maskoki. Toko yang dibuka Januari 2004 selalu ramai dikunjungi pembeli. Setiap bulan sekitar 6—10 boks setara 500 maskoki berukuran 10—12 cm diimpor dari 2 farm, Tung Hoi dan Hang Lee Goldfih Culturist di Cina Selatan.
Jenis yang dijual oranda, red cap, ranchu, mutiara jambul, kaliko, dan tossa. “Sebulan paling sedikit 200—300 ikan terjual,” ujar alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara itu. Harga masing-masing jenis per ekor bervariasi: red cap, red white ranchu, red white tossa, dan tossa short tail Rp150.000; black ranchu Rp250.000; mutiara perak Rp300.000; red white ranchu dewasa Rp750.000.
Gaung tren maskoki juga merambah Malang, Jawa Timur. Gerai maskoki seperti Istana Ikan, hampir tak pernah senyap dari pengunjung. Maklum, Istana Ikan menyediakan berbagai jenis dan ukuran maskoki. Selain hobiis di sekitar Malang, Istana Ikan juga melayani pesanan ke Bali, Semarang, dan Surabaya. Menurut Luly Wijaya dari Istana Ikan, setiap bulan ia mengimpor 2.800 maskoki dari sebelumnya hanya 1.000 ekor pada impor perdana, Oktober 2003.
Diakui pemunculan importir baru bak jamur di musim hujan mengurangi porsi kue pemain lama. Persaingan mengeruk laba pun kian ketat. Iskandar dari Metro Lou Han, kini menurunkan harga jual maskoki impor meski volume tetap sama seperti tahun sebelumnya, 15—20 boks per bulan. Iskandar pun lebih selektif memilih, ia hanya membeli maskoki yang jarang ditangkarkan di sini, misal: mutiara lionhead, ranchu, pompom berjambul, red cap, dan panda butterfly.
Semua itu dipasok dari 2 mitra di Dangguan dan Fang Cun di Guangzhou, Cina Selatan. Kini masing-masing jenis berukuran 5—7 cm dijual Rp50.000 per ekor; 8—9 cm, Rp100.000 per ekor. Sembilan bulan lalu Is, sapaan akrab Iskandar, masih dapat menjual ukuran 5—7 cm Rp200.000 per ekor dan ukuran 8—9 cm Rp350.000 per ekor.
Kelahiran Jambi 45 tahun silam itu juga mengandalkan penjualan aksesori maskoki seperti akuarium, filter, pakan, dan obat-obatan. “Maskoki itu tidak seperti lou han yang tahan banting,” ujarnya. Is berhitung setiap penggemar maskoki minimal perlu merogoh kocek Rp200.000 di luar obat dan pakan agar bisa menikmati klangenan dalam waktu relatif lama. Perinciannya: 1 akuarium 60 cm x 30 cm x 32 cm, Rp75.000; filter air Rp30.000; lampu Rp 80.000; dan aerator Rp 15.000.
Yang lain, Tony Tjandra dari Bens Aquarium di Jakarta. Ia kini beralih haluan hanya mendatangkan ikan-ikan berkualitas kontes. Setiap bulan minimal 40 maskoki berukuran 8—20 cm dibeli dari Tung Hoi di Dangguan, Guangzhou, Cina Selatan. Yang dipilih jenis-jenis yang ada kelasnya di kontes seperti tossa, ranchu, dan oranda. “Setiap menjelang kontes biasanya banyak yang cari,” ujar Tony. Setiap ikan kualitas kontes minimal dijual Rp3 juta per ekor. Langkah serupa ditempuh oleh Pieter dari Tropis Aquarium di Jakarta. “Untuk kualitas kontes menjelang dan sesudah lomba ada kenaikan sampai 2 kali lipat, pembeli maupun harga,” ujar Pieter.
Lokal terdongkrak
Maraknya impor maskoki itu berimbas pula pada pedagang lokal. Dari hasil lacakan Trubus di sentra ikan hias di berbagai daerah, indikasi maraknya maskoki jelas terlihat. Di Pasar Ngasem, Yogyakarta, 10 toko ikan semua memajang maskoki seperti tossa, spencer, dan ranchu. Harga bervariasi tergantung jenis dan ukuran, rata-rata 8—10 cm: ranchu Rp25.000 per ekor, spenser dan tossa Rp15.000 per ekor. “Ranchu paling laku. Persediaan sering kosong,” ujar Suryadi dari Suryadi Aquarium.
Pemandangan serupa juga ditemui di pasar ikan hias Sumenep dan Barito di Jakarta. Menurut Ochi, pedagang spesialis maskoki di Pasar Sumenep, di lokasinya saja sudah 80% pedagang memajang akuarium maskoki. Jumlahnya beragam mulai dari 2—10 akuarium. Harga jual bervariasi, tergantung kepintaran merayu calon pembeli. Namun, untuk ukuran dewasa di atas 15 cm dijual Rp75.000—Rp150.000 per ekor untuk seluruh jenis. Harga itu melonjak 2 kali lipat untuk ikan pilihan. Hal senada ditemui di pasar ikan hias di Jalan Irian Barat (Irba) dan Jalan Kayun, Surabaya. Sekitar 70% dari semua toko (Irba, 45 gerai; kayun, 4 gerai) memajang maskoki.
Bak efek domino, penangkar lokal pun ikut kecipratan rezeki. Menurut Matroji, penangkar di Kampung Kalibata, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, sejak Desember terjadi lonjakan harga jual. Tossa dan butterfly ukuran 10—12 cm grade A di tingkat pengepul kini dihargai Rp3.000 dari sebelumnya Rp1.000—Rp1.500 per ekor. Harga melonjak Rp5.000 per ekor saat dijual eceran. Di lokasi Matroji yang memiliki 2 karamba jaring apung, kini terdapat 3 kelompok peternak seluruhnya berjumlah 90 orang.
Sayuti, penangkar di Tulungagung, Jawa Timur kini mampu melepas 5.000 maskoki per bulan ukuran 6—10 cm untuk jenis lionhead dan mata balon ke pedagang Jakarta, Yogya, Semarang, Bali, Surabaya, dan Malang. “Enam bulan lalu paling-paling bisa menjual 3.000 ekor per bulan,” ujar Sayuti. Untuk grade A dijual Rp5.000—Rp7.000; apkir Rp1.000—Rp1.500. Seluruhnya dipasok dari kolam berukuran 50m2.
Lokal berkualitas
Frekuensi impor yang kian meningkat belakangan mulai mengundang kegerahan di antara para importir itu sendiri. “Banyak importir yang mengambil ikan dari satu sumber menyebabkan harga di sana menjadi lebih tinggi,” ujar Tony. Pria yang kerap bolakbalik ke Cina itu menggambarkan farm Tung Hoi di Cina Selatan sudah menaikkan harga jual hingga 30% lantaran banyak diserbu importir tanah air. Imbasnya hobiis pun perlu lebih dalam lagi merogoh kocek.
Menurut Kepala Karantina Ikan Bandara Soekarno-Hatta, Drs Widodo, dalam 3 bulan terakhir terhitung Desember 2003 hingga Februari 2004 terjadi lonjakan frekuensi impor maskoki. Untuk 3 bulan tersebut rata-rata 14 kali per bulan dengan volume 4—6 boks per sekali kirim. Maskoki asal Cina paling dominan. Berturut turut diikuti oleh Thailand dan Jepang.
Salah satu upaya memangkas harga dan volume impor adalah menangkarkan maskoki lokal. Itu diperoleh dengan mendatangkan indukan impor yang unggul. Upaya itu kini sudah dilakukan oleh para hobiis seperti Ever Tagoli dan Bahardiman di Bandung, Ir Fatono Wiredja di Bogor, YB Hariantono dan Tony Tjandra di Jakarta.
“Ke depan mungkin kita akan memikirkan hanya induk maskoki saja yang boleh diimpor,” ujar Dr Sumpeno Putro, MBA, Direktur Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran Departemen Kelautan dan Perikanan saat ditemui Bertha Hapsari dari Trubus. (Dian Adijaya Susanto/Peliput: Sardi Duryatmo, Nyuwan Susila Budiana, Bertha Hapsari, & Evy Syariefa F)
Ranchu Rp95-juta
Itu ranchu mercy,” celetuk Gunawan menunjuk kampiun ranchu top view pada kontes Piala Pangkostrad di Plaza Maspion, Maret 2004. Pendapat itu seolah dibenarkan oleh beberapa hobiis yang ikut nimbrung melongok keelokan ranchu asal Thailand. Sebutan mercy meluncur begitu saja setelah beredar desas-desus harga klangenan itu menembus angka Rp125-juta. Maklum harga itu nyaris sebanding dengan nilai baby benz compresor yang kadang ditemui lalu lalang di jantung ibukota.
Pieter, sang pemilik, membeli ikan itu di atas Rp95-juta. “Ranchu itu sudah 2 bulan saya incar, sejak membeli ranchu lain di Thailand,” ujar pemilik Tropis Aquarium di Jakarta itu. Ranchu itu sebenarnya hasil tangkaran dari Naito Farm di Negeri Matahari Terbit. Ia lalu diboyong ke Bangkok untuk dibesarkan.
Anatomi tubuh bagus, tampak berotot, dan corak merah ngejreng menjadi kelebihan ranchu berukuran 20 cm itu. Sebab itu pula torehan prestasinya pun mengkilap. Selama di Thailand, ranchu itu menggondol 2 gelar grand champion. Salah satunya kontes ranchu bergengsi, Thai Ranchu Show di Samprang pada 14 Desember 2003. Di sana ia sukses merebut gelar grand champion.
Atas keberhasilan itu ia sontak menjadi buah bibir. “Hobiis top view di Thailand selalu bercita-cita bisa memiliki ikan seperti itu,” ujar Pieter. Fancy Club, media ikan hias bergengsi di sana memberi penghargaan dengan memajangnya sebagai cover sampul. (Dian Adijaya S/ Peliput Bertha Hapsari)