Tuesday, March 4, 2025

Duit dari Bit

Rekomendasi

Semula guru, kini malah terjun
bertani.

Tamu dari berbagai daerah datang untuk belajar dan studi banding tentang budidaya sayuran. (Dok. Trubus dan Srini Maria Margaretha)

Trubus — Lahan Srini Maria Margaretha, S.Pd. untuk budidaya sayuran sejatinya relatif kecil. Perempuan petani di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu hanya mengelola lahan 2.500 m² berketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Namun, Srini mampu meraup omzet besar hingga Rp4,6 juta per bulan dari penjualan beragam sayuran. Perempuan 57 tahun itu menanam bit merah, peterseli, dan rosemari secara organik.

Dari kebun itu Srini memanen rata-rata 10 kg bit merah per pekan. Ia menjual bit merah langsung kepada pelanggan. “Biasanya mereka mengolah bit menjadi jus untuk kesehatan,” ujar ibu 3 anak itu. Menurut Srini bit membantu mengatasi darah tinggi, menjaga kesehatan ginjal, dan sumber antioksidan tinggi. Ia menjual bit Rp25.000 per kg atau total omzet dari penjualan bit mencapai Rp1 juta per bulan.

Panen berulang
Srini juga memanen rata-rata 20 kg peterseli per pekan. Ia menjual peterseli kepada pelanggan Rp35.000—Rp40.000 per kg atau total omzet Rp2,8 juta per bulan. Dalam sepekan Srini menjual rata-rata 5 kg rosemari atau total omzet Rp800.000 per bulan. Srini memilih ketiga komoditas itu karena budidaya relatif mudah dan biaya produksi terjangkau. Selain itu, “Peterseli dan rosemari hanya sekali tanam, tapi bisa dipanen berkali-kali,” ujarnya.

Peterseli salah satu komoditas andalan Srini Maria Margaretha. (Dok. Trubus dan Srini Maria Margaretha)

Mantan guru Taman Kanak-Kanak itu belum pernah meremajakan penanaman peterseli dan rosemari. Waktu panen juga tak membatasi bit merah. “Kalau belum ada pesanan, panen bisa ditunda, malah kalau dibiarkan ukuran umbi menjadi lebih besar,” kata Srini yang menjadi petani sayuran sejak 2010 itu. Meski menunda panen, tapi tidak menyedot biaya produksi karena Srini membudidayakan bit merah secara organik.

Selain budidaya sayuran, Srini juga mengebunkan lengkeng new kristal di beberapa lahan miliknya total 125 pohon. “Sekitar enam bulan lagi ada yang mulai belajar berbuah,” tutur perempuan kelahiran 18 Desember 1960 itu. Itu hasil penanaman pada 2015. Beberapa pohon lebih cepat berbuah karena saat menanam umur bibit 1 tahun. Srini mengatur pola tanam lengkeng agar bisa panen sepanjang tahun. “Dengan begitu masyarakat bisa menikmati lengkeng kapan saja, tanpa bergantung pasokan impor dari Thailand,” ujarnya.

Rosemari banyak diminati karena banyak digunakan sebagai salah satu bumbu rempah. (Dok. Trubus dan Srini Maria Margaretha)

Ia menanam lengkeng varietas new kristal di antara guludan-guludan dengan jarak tanam minimal 6 m x 6 m. Ibu 3 anak itu memilih lengkeng new kristal karena dapat diatur pembuahannya. “Di satu sisi new kristal memiliki kelemahan sulit berbuah tanpa perangsangan. Namun, di sisi lain menjadi kelebihan karena bisa diatur masa pembuahannya,” katanya. Itulah sebabnya kini Srini mempersiapkan kawasan agrowisata petik lengkeng di Kabupaten Magelang.

Selain itu ia bermitra dengan 60 pekebun lain di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Dukun, Sawangan, Muntilan, dan Mungkid. Mereka mengelola lahan total 4 hektare dengan populasi 1.000 tanaman produktif. Menurut Srini penggemar agrowisata bisa memetik lengkeng di kebun pada Oktober 2018. Ia mengembangkan konsep agrowisata petik lengkeng agar para pekebun mitra dapat menikmati harga jual lebih tinggi karena menjual langsung ke konsumen akhir.

Srini Maria Margaretha mengembangkan bit merah sebagai sayuran berkhasiat. (Dok. Trubus dan Srini Maria Margaretha)

Meski belum panen buah, Srini juga meraup omzet dari penjualan bibit lengkeng new kristal. “Saya baru saja mendapat order bibit hingga Rp25 juta,” tuturnya dengan wajah semringah. Ia memang memperbanyak bibit dengan teknik grafting atau sambung pucuk. Srini menjual bibit lengkeng setinggi minimal 60 cm Rp75.000. Konsumen bibit berasal dari berbagai daerah seperti Kecamatan Dukun, Sawangan, Muntilan, dan Mungkid. Ia fokus mengembangkan lengkeng untuk meningkatkan nilai tambah lahan sayuran yang kini harganya cenderung turun. Untuk mengembangkan lengkeng di Kabupaten Magelang, Srini membentuk Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Merapi Jaya.

Keanggotaan lembaga yang didirikan pada 2015 itu lebih luas karena dapat diikuti petani laki-laki atau perempuan. Hingga kini sekitar 1.000 pohon lengkeng new kristal yang tertanam di kawasan Kabupaten Magelang. Alumnus jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tidar Magelang itu berharap pada masa mendatang lengkeng menjadi ikon baru kabupaten berjuluk De Tuin van Java itu.

Kelompok tani
Srini menggeluti pertanian karena “terpaksa”. Pada 2010 ia aktif mendampingi masyarakat bersama organisasi sosial. Sebagai bekal untuk materi pendampingan, Srini mengikuti program yang diselenggarakan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah. Dalam program itu Srini bersama para petani lain melakukan studi banding ke Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

Aneka komoditas sayuran
produksi KWT Merapi Asri. (Dok. Trubus dan Srini Maria Margaretha)

“Di antara peserta studi banding itu hanya saya yang bukan petani,” tuturnya. Ia juga belajar budidaya sayuran organik di Pusat Pelatihan Organization for Industrial and Cultural Advancement (OISCA) di Karanganyar, Jawa Tengah. Srini kebingungan saat panitia studi banding menugaskan para peserta untuk membuat rencana tanam. “Mereka kan petani beneran. Kalau saya mau tanam apa wong saya bukan petani,” ujar istri Sukamta Leksy Wibowo itu.

Karena bukan petani tulen, salah seorang anggota staf Dinas Pertanian lalu menyarankan Srini untuk mengoordinir para perempuan petani dengan membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT). Selanjutnya KWT membuat rencana tanam. Srini menyambut baik ide itu. Sebagai aktivis kegiatan sosial ia juga ingin perempuan lebih berdaya, berperan aktif, dan tak sekadar membantu para suami.

Ia aktif mendatangi rumah warga hingga mengikuti acara arisan dan pertemuan ibu-ibu untuk mengajak kaum perempuan di dusunnya bergabung dalam KWT. Ia memanfaatkan kegiatan itu untuk menyampaikan materi tentang peluang membudidayakan sayuran yang berpotensi ekspor. Dari berbagai upayanya itu Srini berhasil mengumpulkan 28 perempuan petani yang bersedia bergabung.

Berkat kiprahnya mengembangkan buncis perancis untuk ekspor, Srini Maria mendapatkan bantuan rumah kemas sebagai sarana pengemasan aneka jenis sayuran. (Dok. Trubus dan Srini Maria Margaretha)

Pada Juli 2010 KWT resmi berdiri dengan nama KWT Merapi Asri. Sebagai langkah awal program KWT, Srini memberi contoh dari kebun sendiri dengan mengebunkan buncis perancis di lahan 400 m². Ia memilih komoditas itu karena perawatannya relatif mudah. Dari lahan itu Srini mengekspor perdana hasil panen sebanyak 25—30 kg buncis perancis ke Singapura melalui pengepul sayuran asal Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Ekspor
Dua bulan berselang para anggota KWT lain mengikuti jejak Srini mengebunkan buncis baby—sebutan lain buncis perancis. Jumlah anggota KWT pun terus bertambah menjadi 42 orang. Tambahan anggota itu tak hanya berasal dari Dusun Gowokringin, tapi juga dusun tetangga, seperti Dusun Gowoksabrang dan Gowokpos. Bahkan ada juga anggota dari Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Luas areal tanam buncis pun bertambah luas. Srini menanam buncis di lahan 1 hektare. Total luas areal tanam buncis seluruh anggota KWT mencapai 4 ha. Srini mengatur jangka waktu penanaman setiap pekan agar pasokan kontinu. “Ketika itu sekali tanam sebanyak 5 kg benih,” ujar ibu tiga anak itu. Dari luas areal tanam itu Srini dan anggota KWT mampu memanen rata-rata 100 kg buncis per hari.

Srini Maria juga mengembangkan lengkeng new kristal untuk meningkatkan pendapatan
para petani. (Dok. Trubus dan Srini Maria Margaretha)

Sebanyak 70% hasil panen termasuk grade A untuk pasar ekspor. Cirinya panjang buncis seragam antara 10—12, bentuknya lurus, dan mulus. Buncis ukuran itu dapat diperoleh bila panen pada umur 30 hari setelah tanam. Srini menjual buncis grade A dengan harga Rp10.000 per kg. Sebanyak 10% dari hasil panen masuk grade B karena buncis berukuran terlalu besar. Harga jual grade B Rp5.000 per kg.

Adapun sisanya masuk grade C karena ukuran terlalu kecil, bentuk tidak lurus, dan ada cacat. Harga jual grade C hanya Rp1.500 per kg. Ia menjual buncis grade B dan C ke pengepul di pasar tradisional. Sayang, pemenuhan ekspor buncis baby itu hanya berlangsung hingga 2013. “Ketika itu pembayaran dari eksportir bermasalah. Mereka selalu menunda pembayaran,” ujar Srini. Akibatnya, para petani kesulitan memperoleh modal untuk masa tanam berikutnya.

Sejak itu KWT beralih mengebunkan komoditas sayuran lain yang diminta pasar, seperti daun bawang, bunga kol, wortel, selada, bit merah, peterseli, dan rosemari. Sayangnya belakangan ini harga sayuran pun anjlok sehingga para petani kerap merugi. Kini Srini hanya fokus mengembangan bit merah, peterseli, dan rosemari karena harganya ajek. (Imam Wiguna)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Tip agar Tidak Mudah Lemas Saat Puasa

Trubus.id–Perbanyak konsumsi sayuran, buah, dan herbal sesuai fungsi dan dosis yang dianjurkan membuat badan bugar dan tidak mudah lemas...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img