Namun, bila Erwinia carotovora sudah berulah, bencana besar dipastikan menghampiri pekebun sansevieria. Dalam hitungan 2 x 24 jam seluruh kebun luluh-lantak diterjang bakteri ganas itu.
Itulah yang dialami Rahardian Kusuma—sebut saja begitu namanya—pekebun di Cianjur. Gara-gara serangan E. carotovora, pendapatan Rp800-juta yang sudah di depan mata melayang begitu saja. Ribuan Sansevieria lorentii, S. trifasciata futura, dan moonshine yang ditanam di lahan seluas 2 ha lodoh seperti tersiram air panas. Tak satu pun bisa dipanen.
Bencana itu bermula dari satu titik cokelat kehitaman yang basah di beberapa pelepah daun. Hanya dalam hitungan 2 malam, titik itu menyebar ke seluruh tanaman. Kebun pun kian porak-poranda ketika Fusarium moniliforme ikut-ikutan menginfeksi. Cendawan itu memang gemar bersemayam dalam kondisi lingkungan lembap basah. “Ketika daun basah karena ada serangan bakteri, fusarium pun menyerang,” kata Lanny Lingga, pemilik nurseri Seederama di Cisarua, Bogor.
Gejala
Hasil penelusuran Trubus ke beberapa kebun, saat ini erwinia dan fusarium memang tengah menjadi momok. Serangan keduanya nyaris terjadi di seluruh sentra penanaman utama seperti Cianjur, Sukabumi, dan Bogor.
Serangan erwinia ditandai bercak basah yang membuat daun busuk—makanya penyakit itu kerap disebut busuk basah. Bercak itu lantas membesar dan mengendap, berbentuk tidak teratur berwarna cokelat kehitaman. Jaringan yang sakit tampak basah berwarna krem atau kecokelatan, dan terlihat berbutir-butir halus. Di sekitarnya terjadi pembentukan pigmen cokelat tua atau hitam.
Pada kondisi udara lembap dan suhu tinggi, pembusukan kian cepat. Sementara gejala fusarium berupa bercak bertitik-titik. Nantinya bercak itu mengering dan keras tanpa bau, serta meninggalkan bekas berupa lingkaran di luar bagian yang terinfeksi.
Penyakit lain yang juga mengincar, busuk akar rimpang akibat serangan Sclerotiorum rolfsii. Kulit akar rimpang menjadi keriput, tunas muda busuk dan mengering, berwarna cokelat kehitaman. Pada permukaan kulit yang keriput tumbuh miselium berwarna putih, halus, dan teratur seperti bulu. Lalu muncul butir-butir di atasnya. Mula-mula warnanya putih kemudian berubah menjadi cokelat muda sampai tua.
Lazimnya, ganyangan S. rolfsii itu diikuti oleh serangan botrytis pada daun. Namun, pekebun sedikit berlega hati lantaran makhluk renik itu lazimnya menyerang tanaman di daerah beriklim dingin.
Pupuk berlebih
Diduga kultur teknis tidak tepat jadi musabab merebaknya penyakit-penyakit itu. “Misal pemupukan berlebihan, terutama yang mengandung unsur N tinggi,” ujar Lanny. Selama ini orang beranggapan, sansevieria perlu dipupuk dengan N tinggi sebanyakbanyaknya. Padahal, lidah mertua cuma butuh hara minimal untuk tumbuh. Menurut pengalaman master Farmakologi dari University of New South Wales itu jumlah N maksimal 9 kg per 5 liter air. Maklum dari hasil ekstrak daun ditemukan bahwa kebutuhan N pada anggota famili Agavaceae itu hanya 1,7—3% dari total kebutuhan hara.
Pemupukan dengan bahan organik berasal dari kotoran hewan berkaki 4 dihindari. Kandungan nitrogen pada rabuk alami itu berupa ureum dosis tinggi. Lantaran sansevieria adalah “penyantap” N dalam bentuk ureum—juga amonium, sementara tanaman lain dalam bentuk nitrat—maka seluruh ureum tandas diserap.
Akibatnya, tanaman mengalami “overdosis” N ditandai dengan daun yang lebih lembek karena jaringan terlalu banyak mengandung air. Dalam kondisi itulah tanaman menjadi rentan serangan bakteri dan cendawan. Musabab lain, bakteri dan cendawan menginfeksi melalui luka akibat goresan alat pertanian atau menular dari bibit luar.
Fumigasi
Untuk mengatasi momok itu pekebun tidak tinggal diam. Lanny menolak semua bibit dari luar. Penanganan bibit pun lebih hati-hati. Calon tanaman itu ditanam di media sangat kering terdiri dari campuran sekam mentah dan pakis yang tidak menyimpan air. Penyiraman cukup seminggu sekali. Maklum kebutuhan air sansevieria sangat sedikit, hanya 25 ml per minggu per tanaman.
Saat penyakit menginfeksi, buang seluruh bagian daun yang terserang untuk menghambat penyebaran. Itu dilanjutkan dengan penyemprotan bakterisida. Dosis 1 ml per l bahan aktif atau 1 g per l bahan aktif. Frekuensi penyemprotan setiap 7 hari. Sebagai tindakan pencegahan cukup 14 hari sekali. Gunakan air per-pH netral. Pekebun lain ada yang mencoba mengatasi dengan mengoleskan kapur ke bagian sakit. Cara itu hanya efektif jika populasi tanaman sedikit.
Bila serangan telanjur parah, tanaman lebih baik dibakar agar tidak menyebar ke kebun lain. Setelah itu tanah disterilisasi sebelum ditanami kembali. “Jadi, sebetulnya yang paling baik dan murah ialah dengan tindakan preventif,” tutur Lanny. Sebelum penanaman, tanah yang sudah diolah difumigasi lebih dulu. Selain itu sanitasi kebun mesti selalu dijaga. (Evy Syariefa)