Monday, September 9, 2024

Perburuan Tawi di Ujung Timur

Rekomendasi
- Advertisement -

Pasar Jibama di tengah kota Wamena sejak 5 bulan terakhir seakan tak pernah tidur. Pagi, siang, hingga malam selalu ramai dikunjungi orang dari berbagai pelosok. Trubus menjumpai pengolah buah merah dari Jayapura rutin 2 kali seminggu datang ke sana. Dari Jayapura ke Wamena hanya bisa ditempuh dengan pesawat selama kurang lebih 45 menit. “Saya butuh buah merah,” ungkapnya sambil bergegas menghampiri para pedagang pengumpul yang baru turun dari kendaraan.

Buah merah memang identik dengan Wamena, kendati tawi—sebutan buah merah di Wamena— tersebar hampir di seluruh Papua. Wajar jika para pengolah minyak buah merah di Jayapura mengambil bahan baku dari Wamena. Sebut saja Maria Maniagasi di Abepura dan Roslina Tasrif di Sentani. “Saya tidak berani mengambil buah merah dari sentra lain selain Wamena,” ungkap Maria Maniagasi yang lebih populer dengan panggilan ibu Rambah. Alasannya di Wamena tradisi makan Pandanus conoideus itu berakar.

Apalagi hasil penelitian Drs I Made Budi MS menunjukkan tawi dari dataran tinggi seperti Wamena (1.500 m dpl) mempunyai kandungan betakaroten lebih tinggi dibanding yang tumbuh di dataran rendah. “Buah merah dari Wamena mengandung 900 ppm, sedangkan dari daerah lain berkisar 0—50 ppm,” tutur Made. Padahal, disinyalir betakaroten adalah senyawa yang berperan sebagai antiradikal bebas pengendali beragam penyakit seperti kanker, hipertensi, dan paru-paru.

Carter pesawat

Pengolah di Wamena demikian banyak. Setiap hari dibutuhkan sekitar 20 truk atau 5.000—6.000 buah merah untuk memproduksi 1.000 liter minyak. Mau tidak mau untuk mendapatkan buah merah harus berebut,” tutur Machmud Yahya, pengolah di Jl. Raya Bhayangkara, Wamena. Menurut pemilik CV Papua Cendrawasih Industries itu ketersediaan buah merah sebetulnya masih mencukupi kebutuhan pasar sekarang ini. Hanya saja bahan baku itu tersebar di daerah yang tidak terjangkau transportasi darat.

Itulah sebabnya Machmud setiap minggu harus mencarter pesawat demi kelangsungan dapur pengolahannya. “Sekali carter Rp7,5-juta,” ungkapnya. Ia memang berburu buah merah lintas kabupaten, tidak hanya di Wamena atau Tolikara, tapi juga ke Kabupaten Yaokimo di ketinggian di atas 1.700 m dpl. Menurutnya Tagime dan Kelila (keduanya di wilayah Kabupaten Wamena) dan Bogondini (Tolikara), meski jalannya rusak berat masih bisa dilewati kendaraan khusus seperti Hartop. Sementera Karubaga, Paro, Kenyam, (semua di Wamena), dan Pasema, Kualamdua, Anggruk (ketiganya di Yaokimo) menggunakan pesawat.

Berdasarkan perhitungan Machmud mencarter pesawat tak rugi. Sekali angkut bisa untuk stok 1 minggu. Pria kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 44 tahun silam itu setiap hari mengolah 1 truk buah merah berkapasitas 250—300 buah. Artinya 1.750—2.000 buah merah ia bawa pulang. Nah, harga di daerah “terpencil” itu hanya Rp30.000 per buah; di Pasar Jibama Rp50.000. Dengan begitu alumnus Pondok Pesantren Walisongo, Ponorogo itu bisa menekan anggaran pembelian hingga Rp35-juta—Rp42-juta.

Belum lagi, saat datang ke lokasi mantan guru sekolah dasar di Walesi, Wamena, itu sambil berjualan berbagai kebutuhan sehari-hari seperti garam, penyedap rasa, sepatu, dan pakaian. “Saya tidak banyak mengambil untung, cuma sekadar memenuhi kebutuhan mereka. Di sana tak ada yang bisa dibeli, buat apa mereka punya uang hasil penjualan buah merah juga,” t u t u r n y a . Harap mafh um, d e n g a n t e r s e d i a ny a garam dan penyedap rasa saja bagi mereka seakan berada di surga dunia.

Musim bergilir

Pengolah lain tak se-“nekat” Machmud. Mereka hanya mengandalkan pasokan dari pedagang pengumpul. “Saya melayani 4 pengolah di seputar Wamena secara bergantian. Kalau stok mereka masih ada, buah merah langsung dibawa ke Pasar Jibama. Bahkan bila memungkinkan diolah sendiri, lalu dijual dalam bentuk minyak,” ujar Kristina. Ibu 2 putra yang tinggal di Wamena itu berburu buah merah hanya di Kelila, sebab di masing-masing daerah sudah ada pengumpulnya.

Menurut Kristina jumlah pengumpul mencapai puluhan, sehingga persaingan untuk mendapatkan buah merah demikian ketat. Makanya di pagi buta, pukul 03.00 ia sudah bergegas menunggu angkutan agar sampai di tempat tujuan masih pagi. Jika terlambat, niscaya pulang dengan tangan kosong. “Setiap hari yang bisa saya bawa rata-rata 10 ikat masing-masing berisi 5 buah,” katanya. Jumlah itu terus menurun sejalan dengan musim panen.

Di Kelila panen raya berlangsung November—Januari. Memasuki Februari panenan mulai surut. “Kami memang tidak sampai ke Kenyam, Paso, atau Pasema, karena harus menggunakan pesawat,” ujar Yurika, pedagang pengumpul dari Bogondini. Dengan jalan kaki dari Kenyam ke kota Wamena perlu waktu 4 hari 3 malam. Padahal, di daerah yang sama sekali tak ada fasilitas komunikasi itu buah merah berlimpah. Saking banyaknya buah dibiarkan membusuk.

Senadadengan t e m u a n Machmud di sentra-sentra buah merah. “Di Pasema dan Paso mau berapa pun tinggal angkut. Di sana buah merah sampai menggunung,” ungkapnya. Harga di sentra-sentra seperti ini jauh lebih murah, buah berbobot 7—9 kg paling Rp30.000; di kota Wamena mencapai Rp70.000—Rp80.000 per buah. Jika para pengolah berani masuk ke kantong-kantong nun jauh dari fasilitas transportasi, Machmud menjamin para pengolah tak akan kelimpungan mendapatkan bahan baku.

Toh musimnya dari masing-masing daerah tidak sama. Misalnya, di Tagime Juli—September; Karubaga, Januari—Maret; Paso, Oktober—Desember, Bogondini, Desember—Februari. Meskipun begitu, pengembangan penanaman harus dilakukan mengingat pasar buah merah kian luas. “Potensi lahan di KabupatenTolikara ada 10.000 ha. Tahun ini sedang ditanam seluas 150 ha,” kata Ir Yusmin Timang, kepala Dinas Kabupaten Tolikara. Menurutnya daerah ini cocok karena ketinggiannya memadai mulai 1.600 mdpl—3.000 m dpl. (Karjono)

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Melalui Edukasi dan Promosi, Komunitas Acteavist Indonesia Aktif Kenalkan Teh ke Generasi Muda

Trubus.id–Komunitas Acteavist Indonesia aktif memperkenalkan teh ke generasi milenial melalui edukasi dan promosi.  Salah satu penggagas Acteavist Indonesia, Cakra...
- Advertisement -
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img