Gayung pun bersambut. Setelah dibesarkan selama 6 bulan dan berbunga, anggrek produksinya diserbu konsumen. Puluhan juta rupiah ditangguk Vonny setiap bulan.
Kejelian melirik peluang bisnis itulah yang mengantarkan Vonny amat kesohor di antara penganggrek. Padahal ia terhitung pendatang baru. Kelahiran Kediri 37 tahun lalu itu baru menggeluti anggrek pada November 2002. Kalau bukan karena kejelian, tidak mungkin ia meninggalkan jabatan asisten manajer umum sebuah pabrik kertas di Surabaya. Puluhan juta gaji dan fasilitas sebagai karyawan kini tergantikan dari perniagaan anggrek.
Lihatlah saat akhir pekan. Puluhan pedagang dari berbagai kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Sumatera mengular antre di Vonny Orchids—farm milik Vonny Asmarani. Mereka memborong anggrek-anggrek berbunga. Sebagian membeli anggrek remaja untuk dibungakan. Segmen anggrek berbunga memang diincar Vonny lantaran memberi laba terbesar. Saat ini segmen anggrek berbunga mendominasi—sekitar 70%—dari omzet Vonny Orchids.
Pameran
Saat akhir bulan tiba, setidaknya 21.500 pot anggrek berbunga terjual. Itu dibeli oleh lebih 100 pedagang langganan. Masing-masingpedagang mengambil 100 pot/2 minggu. Belum lagi pembeli luar kota yang mengangkut minimal 1 truk berisi 1.500 pot/bulan. Harga dendrobium Rp20.000—Rp75.000 dan phalaenopsis, Rp75.000—Rp250.000 per pot.
Strategi yang dipasang Vonny memang jitu. Menyadari dirinya pendatang baru, ia rajin berpameran di berbagai kota. Selalu menghadirkan anggrek bermutu, menjadikan Vonny Orchids lekas dikenal. Tentu saja itu diiringi tingginya omzet yang diraih. Contoh saat mengikutipameran di Malang Orchids Show April 2004. Penganggrek yang mengikuti pameran rata-rata hanya memperoleh Rp20-juta. Sedangkan Vonny lebih dari itu.
Usai mengikuti pameran itulah ia kian dikenal. Permintaan pun mengalir deras. Sampai-sampai komisaris sebuah kelompok bermain di Surabaya itu kewalahan memenuhi tingginya permintaan. “Tak jarang para pedagang—terutama pelanggan baru—harus inden 2—4 bulan sebelumnya untuk memperoleh anggrek bermutu,” kata anak ke-2 dari 4 bersaudara itu.
Bila permintaan tidak dapat dipenuhidari hasil kebun, Vonny terpaksa mencari ke nurseri lain. Itu dilakukan sendiri meski 5 karyawan siap membantu. “Anggrek yang diminta selalu mengikuti tren. Bila diserahkan ke karyawan, khawatir tidak dapat memilih jenis yang sesuai permintaan pasar,“ katanya. Demi memuaskan konsumen pula, ia pernah menyeleksi tanaman di sebuah nurseri di Cianjur, Jawa Barat, hingga dinihari. Iaselektif memilih tanaman di tengah dinginnya malam yang menusuk tulang.
Sukses itulah yang menyebabkan Vonny tak pernah menyesal meninggalkan jabatan manajer umum. “Mengurusi anggrek saya merasa enjoy, tak pernah stres,” katanya.
Serius
Lahan 5.000 m2 di Pacet, Mojokerto, lokasi nurseri Vonny. Di sanalah ia mendirikan greenhouse model tunnel berukuran 380 m2.
Dari greenhouse itulah anggrek Vonny menyebar ke berbagai kota. Menurutnya, pangsa pasar anggrek masih terbuka. “Pasokan tidak berimbang, jauh di bawah permintaan,” ungkapnya.
Meski belum pernah dihitung pasti, tetapi diperkirakan hanya 25—30% permintaan yang bisa dipenuhi. “Tinggal, kita harus jeli melihat peluang itu,” cetus pengusaha konveksi bermerk Vbest itu. Untuk mengisi peluang terutama di Pulau Sumatera, ia membangun kebun seluas 1 ha di Provinsi Banten.
Tidak mulus
Vonny bukan Bandung Bondowoso yang meraih sukses hanya dalam semalam. Pada awal terjun ia menemui batu sandungan. Ribuan anggrek bulan 4—6 bulan yang dibesarkan di lahan berketinggian 400 m dpl bermasalah. Daun tanaman menguning sehingga pertumbuhan terhambat. Untuk memulihkan perlu waktu panjang. Dari seniornya ia disarankan menaikkan kelembapan dengan sering menyiram. Di atas greenhouse ditutup jaring net untuk menurunkan terik matahari dan suhu di dalamnya.
Untung ia tak patah arang. Belajar kepada para senior salah satu kiat untuk mengatasi kendala yang dihadapi. Seiring waktu, kemampuan beranggrek kian memadai. Anggrek yang ditumbuhkan dari bibit mulai dijual berupa seedling, remaja, dan berbunga. Komunitas pot (kompot) tidak dijual karena terus dibesarkan. “Menumbuhkan bibit dari botol merupakan fase paling riskan. Bibit yang telah melewati fase itu tidak segera dijual,” ungkap pehobi golf itu. Setelah berdaun 4—6 alias seedling baru dijual. Yang tidak terjual dibesarkan terus hingga remaja atau berbunga.
Strategi pemasaran, keahliannya sewaktu berkarier di berbagai perusahaan, amat membantu menangani anggrek. Ia berusaha mengikat pembeli agar kembali berbelanja dengan pelayanan memuaskan. Setiap konsumen besar atau kecil selalu disapa. Pekerja harus selalu tersenyum meski ada pembeli tidak puas.
Meski saat ini penjualan belum seluruhnya hasil kebun sendiri, Vonny tetap yakin, menanam sendiri jauh lebih untung dibandingkan dengan berdagang. Satu setengah tahun ke depan, Vonny mengharapkan kebunnya di Pacet, Mojokerto dan Banten sudah berproduksi maksimal sehingga ia hanya menjual produk sendiri. (Syah Angkasa)