Friday, March 7, 2025

Pertanian dalam Genggaman

Rekomendasi
Kebun nanas milik JM Ba di Kaohsiung menggunakan sensor cuaca.

Di Indonesia 120 juta orang menggunakan telepon genggam untuk mengakses media sosial. Sementara di Taiwan, gawai itu untuk bertani.

Trubus — Rumah tanam berukuran 540 m² itu sesak pengunjung. Mereka ingin mengetahui penggunaan kecerdasan buatan (AI) dan teknologi berbasis internet (IoT) untuk pertanian. Dengan teknologi itu petani memantau lingkungan di luar rumah tanam sekaligus memantau dan mengendalikan lingkungan mikro di greenhouse dari mana saja dan kapan saja. Petani boleh saja menyeruput secangkir kopi di kafe.

Dengan teknologi berbasis internet petani dapat memonitor dan mengendalikan lingkungan
budidaya tanamannya melalui tablet. (Dok. Huang Lin)

Namun, pada saat bersamaan ia dapat mengetahui kondisi tanaman di dalam greenhouse yang berjarak puluhan atau ratusan kilometer. “Petani dapat memantau dan mengontrol lingkungan serta mengetahui kondisi tanaman melalui telepon pintar atau tablet miliknya. Itu karena semuanya sudah terhubung melalui internet,” kata Fu Liang Hong, PhD dari Huang Lin, perusahaan yang mendistribusikan peranti pintar itu.

Peranti pintar

Pengunjung yang berjejal itu terjadi saat ekshibisi Pekan Pertanian Taiwan (Taiwan Agriculture Week). Di stan yang berbentuk greenhouse itu bergabung tiga perusahaan, yakni Huang Lin, Tamashokunin, dan Wang Tian. Mereka menampilkan teknologi pertanian era revolusi industri 4.0. Bertani secara cerdas itu sebuah keniscayaan karena penggunaan sensor, seperti sensor suhu dan kelembapan, tanah, dan radiasi sinar matahari.

Bahkan, peranti sensor derajat keasaman tanah pun kini tersedia. Para petani di Negeri Formosa memasang sensor itu di area budidaya. “Satu sensor suhu dan kelembapan berdaya jangkau 500 m2. Semetara satu sensor tanah dapat menjangkau seluas 2.000 m2,” kata Benson Wu dari Tamashokunin kepada Majalah Trubus. Sensor yang terpasang itu akan menangkap data kondisi yang terjadi pada saat itu juga.

Pembukaan Taiwan Agriculture Week 2018 dihadiri oleh pejabat
pemerintahan di Taiwan dan perwakilan dari berbagai negara termasuk
Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei, Didi Sumedi (X). (Dok. Trubus)

Contohnya sensor menangkap suhu di greenhouse 35°C. Data suhu itu akan terkirim ke suatu program komputer. Program itu sekaligus memiliki rekomendasi suhu ideal bagi tanaman. Jika suhu ideal bagi pertumbuhan tanaman 32°C, maka program itu akan mengirimkan data ke petani melalui telepon pintar bahwa suhu di greenhouse terlalu tinggi. Saat itu juga petani bisa mengambil tindakan untuk menurunkan suhu.

Dari jarak jauh petani mampu menghidupkan membuka atap greenhouse. Semua tindakan itu bisa petani kendalikan melalui telepon pintar tanpa harus datang ke rumah tanam. Menurut Fu Liang dari Huang Lin teknologi kecerdasan buatan dan teknologi berbasis internet itu juga berlaku untuk budidaya tanaman di luar greenhouse.

Sensor diperlukan untuk penerapan teknologi kecerdasan buatan dan berbasis internet.

Contohnya JM Ba, petani nanas organik di Kaohsiung, Taiwan. Ia memasang sensor tanah dan cuaca untuk memantau kondisi di kebun nanas. “Sensor tanah dibenamkan sedalam 30 cm untuk mengetahui kelembapan tanah,” kata Ba. Dengan sensor itu Ba dapat mengetahui waktu tepat menyiram tanaman sehingga pemanfaatan air dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Pemerintah Taiwan memang sangat mendorong petani untuk menerapkan teknologi dalam budidaya pertanian. Tenaga kerja yang mahal, lahan terbatas, dan kondisi lingkungan yang terkadang ekstrem membuat pemerintah Taiwan mendorong petaninya untuk melakukan budidaya secara cerdas, salah satunya dengan menerapkan teknologi kecerdasan buatan dan teknologi berbasis internet.

Tren mendatang

Menurut pekebun sayuran eksklusif dan konsultan pertanian modern di Bogor, Jawa Barat, Edi Sugianto, S.P. tren budidaya pertanian memang ke arah teknologi berbasis internet. Edi mengembangkan teknologi itu untuk budidaya sayuran hidroponik di kebunnya sejak 2017. “Peluang menerapkan teknologi itu di Indonesia sangat besar. Namun, aplikasi di lapangan tetap perlu petani yang memahami teknologi,” ujar alumnus Institut Pertanian Bogor itu.

Taiwan Agriculture Week 2018 diikuti oleh 159 peserta dari sekitar 17 negara.

Teknologi budidaya pertanian berbasis internet salah satu teknologi yang dipamerkan di acara Taiwan Agriculture Week 2018 di Kaohsiung, Taiwan. Pameran yang berlangsung pada 21—23 November 2018 dan diikuti oleh 159 peserta dari sekitar 17 negara itu menampilkan 4 tema pameran, yaitu teknologi pertanian, buah dan sayuran, bunga, serta alat mesin pertanian.

Salah satu yang dipamerkan di buah dan sayuran adalah teknologi memperpanjang daya simpan buah selama masa transportasi yang ditampilkan di stan Lytone Enterprise. Produk yang ditampilkan terdiri dari tiga bentuk: tablet, lembaran kertas, dan siker. Penggunaan produk itu selama masa transportasi buah dapat memperpanjang kesegaran buah 2—3 kali lipat.

Menurut Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei, Didi Sumedi, pameran Taiwan Agriculture Week sangat baik untuk diikuti oleh pebisnis dan peneliti secara rutin setiap tahun. “Itu karena tidak hanya bisa melihat teknologi terkini di bidang pertanian tapi juga bisa memberi inspirasi untuk mengembangkan hal-hal yang sama di Indonesia,” kata Didi. Salah satunya teknologi budidaya pertanian berbasis internet. Dengan teknologi itu pertanian pun dalam genggaman petani. (Rosy Nur Apriyanti)

Previous article
Next article
- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

“Magotisasi di Jatisari: Inovasi Warga dalam Pengolahan Sampah

Trubus.id–Setiap Rukun warga (RW) 01, Kelurahan Jatisari, Kecamatan Buahbatu, Kota Bandung, mendapatkan seperangkat alat pengolah sampah organik. Pengolahan sampah...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img