Pagi menjelang siang pada penghujung Januari 2005 itu suasana di Kampung Bojong, Desa Sayar, Kecamatan Kepandean, Serang, begitu riuh. Hari itu Trubus beserta beberapa mania durian memburu raja buah di “sarangnya”. Tanda-tanda Kampung Bojong—sekitar 1 jam perjalanan dari pintu tol Cilegon Timur—sebagai sentra durian terlihat sejak rombongan memasuki mulut desa.
Di kiri-kanan jalan desa yang berbatu terlihat deretan jongko-jongko penyedia kadu—sebutan buah Durio zibethinus di sana. Beberapa kali kendaraan yang membawa rombongan disalip motor yang membonceng keranjang berisi buah berduri. Sebuah mobil bak terbuka sarat durian terparkir di salah satu jongko besar.
Nano-nano
Aroma khas anggota famili Bombaceae itu langsung menguar begitu jendela mobil dibuka. “Wah, harumnya…,” kata Yacoba Weroe. Sambil menikmati aroma si raja buah, perempuan enerjik yang kerap disapa Ibu Yon itu terkenang pada si meong dan si apel. Kelezatan 2 durian itu membuatnya “jatuh cinta” pada durian-durian asal Kepandean.
Tak salah memang. Begitu tiba di lokasi, Trubus dan rombongan langsung disuguhi beragam jenis kadu. Lantaran berasal dari pohon berbeda, bisa dipastikan sosok dan rasanya “nano-nano”. Misal saja si kasur. Penampilannya menarik dengan bentuk bulat memanjang dan berkulit hijau muda. Durinya lancip dan langsing bersusun padat. Waktu dibelah, terlihat daging berwarna kuning menarik. “Waw, luar biasa,” cetus Onny Untung, pemimpin redaksi Trubus. Daging si kasur tebal, manis sedikit pahit, dan berbiji kecil. Sayang, aroma kurang tajam.
Lidah kian dimanjakan waktu giliran si kelipatan yang dibelah. Citarasa daging buah yang kuning, manis pahit sedikit gurih seperti mengandung susu. Si kelipatan pun tebal dan berbiji kecil. “Makan 1 juga cukup,” kata Rudi Sendjaja. Toh, itu tak mengurungkan pemilik toko buah Segar di Muarakarang, Jakarta Utara, itu untuk mencicipi si pendil. Durian berbelimbing itu berdaging kering, manis, dan bertekstrur lembut.
Jenis lain yang tak kalah enak si bayedepa yang manis sedikit pahit, si salak bercitarasa manis legit dan kering, atau si galeng yang harum dan manis. Pilihan lain si buyung yang berbiji hepe, berdaging tebal, dan harum. Setiap durian di Kepandean memang punya sebutan masing-masing. Konon supaya si buah berduri tidak jatuh menimpa kepala orang yang lewat di bawah pohon. Penyematannya tergantung selera si pemilik pohon. Apapun namanya, “Pokoknya semua enak-enak,” kata JK Soetanto, pemilik perusahaan agribisnis PT Bogatani.
Favorit
Dari 20-an jenis yang dicicipi si kelipatan dan si cengkol jadi favorit. Lezatnya si cengkol masih terasa meski buah ludes dilahap. Daging buah yang bercitarasa perpaduan pahit dan legit, lengket di lidah dan tenggorokan. “Ini paling cocok buat mania durian. Kalau sudah makan yang ini, durian lain lewat,” cetus Soetanto.
Pantas jika beberapa anggota rombongan langsung memesan buah duri berbelimbing itu untuk oleh-oleh pulang ke rumah. Sosok kecil, tidak jadi masalah. Saat memilahmilah durian untuk oleh-oleh itulah suara gedebuk mengagetkan semua orang. Si pendil jatuh dan langsung diserbu Henky Setiawan Umar—pengusaha cat yang mania durian. Lembaran Rp10.000 kontan dibayar meski rekanan Soetanto di PT Bogatani sudah memborong jenis-jenis lain.
“Pesta kadu” di penghujung Januari itu berlokasi di kebun milik Halili dan Syamsul Ma’arif. Kakak beradik itu sudah belasan tahun menerjuni “dunia” raja buah-buahan. Saat ini mereka mengelola 4 kebun—semua di Kepandean—berisi ratusan pohon tua berumur puluhan tahun. Trubus melihat pohon si kunir setinggi 20 m. Untuk memeluk batangnya dibutuhkan 5 orang. Seluruh durian, dipanen jatuhan. Begitu jatuh langsung ludes di kebun.
Maklum, sudah banyak penggemar durian yang jadi pelanggan. “Malah Pak Bupati Serang juga sering memesan,” kata Halili. Biasanya sambil menikmati durian di saung-saung sederhana, mereka berpesta ayam dan ikan bakar. Segelas kopi pahit pun selalu menyertai.
Hampir setiap hari selama musim panen, Januari—Maret, saung-saung di sana dipenuhi pengunjung. Di penghujung Januari itu, kala hari merembang petang, Trubus dan rombongan bergegas meninggalkan lokasi. Tangan kiri dan kanan dipenuhi tentengan durian. Sambil berpacu menuju Jakarta, aroma sang raja buah pun menyeruak di dalam kendaraan. (Evy Syariefa)