Larutan itu kemudian disimpan dalam jeriken plastik dan diperam selama 3—4 hari. Itulah racikan pestisida nabati ala Muhammad Ngali untuk mengatasi serbuan walangsangit saat padi mulai mengeluarkan bulir-bulir.
Petani di Desa Karacak, Leuwiliang, Kabupaten Bogor, itu memang sudah sejak 10 tahun memakai ramuan itu untuk melindungi 2 ha sawahnya. Hasilnya manjur. Dengan dosis 1 tutup jerigen per 2—3 liter air yang disemprotkan, walangsangit menjauh dari sawah. “Setiap 2.500—3.000 m2 membutuhkan sekitar 5 tutup jerigen larutan,” papar Ngali—sapaan akrabnya.
Menurut ayah 2 putra itu, ia juga memanfaatkan umbi gadung untuk mengatasi hama lain, tikus. Umbi itu ditumbuk halus. Agar satwa pengerat itu tertarik, olahan Dioscorea hispida itu disulap menjadi butiran kelereng nan kenyal dengan sedikit bau-bau amis. “Cara pakainya taruh beberapa butir dekat lubang tikus. Jika tikus makan ia akan mandul,” ujar ketua Kelompok Tani Karya Mekar itu.
Dipicu organik
Nun di Desa Matua, Dompu, Nusa Tenggara Barat, 2 kelompok tani sejak 2002 memanfaatkan tumbuhan di sekitar desa sebagai pestisida nabati. Untuk mengatasi ulat daun Plutella xylostella dan aphids yang kerap menyerang kacang panjang dan kedelai, mereka membikin ramuan sederhana. Bahannya terdiri dari 3 kg gadung; 0,25 jeringan; 1 kg kulit batang tuba; 0,25 kg kulit kawusi; 0,25 kg daun tembakau; 0,05 kg bawang putih; dan 7—10 liter air. Semua bahan ditumbuk dan dicampur menjadi satu. Sebelum dipakai larutan itu disimpan selama 3—4 hari agar terfermentasi.
Untuk lahan kacang panjang seluas 2.000 m2 dipakai komposisi 350 ml larutan dicampur 5 liter air. Agar pestisida melekat kuat pada larutan ditambah zat perekat, berupa sabun detergen. “Dari pengalaman pemakaian pestisida nabati bisa menekan ongkos produksi sampai 40%,” ujar Siti Nur Rahma, pendamping Kelompok Tani Doronaru dan Ngawa itu. Staf Yayasan Sambirio itu mencontohkan saat pekebun memakai pestisida kimia, mereka hanya memperoleh pendapatan Rp300.000 per 2.000 m2. Jumlah meningkat menjadi Rp420.000 saat pestisida nabati dipilih.
Ramainya pemanfaatan pestisida nabati untuk mengendalikan hama dan penyakit tak lepas dari maraknya pertanian organik. “Kita sendiri sudah banyak meneliti pestisida nabati yang ramah lingkungan dan cocok untuk pertanian organik. Beberapa di antaranya sudah terbukti ampuh mengendalikan hama,” ujar Dr Ir Molide Rizal, MS, kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Bogor. Salah satunya ekstrak cengkih yang mengandung metil eugenol. Zat turunan dari eugenol itu manjur berperan sebagai fungisida.
Nimba Azadirachta indica pun diketahui efektif. Tanaman yang dipakai daun dan buahnya itu mengandung bahan aktif azadirachtin, meliantriol, salannin, dan nimbi. Kombinasi bahan aktif itu disinyalir mampu mengurangi serangan ulat tanah Agrotis epsilon, belalang, aphids, dan ulat grayak Spodopthera exigua. “Nimba efektif menghambat perkembangan organ reproduksi serangga baik sebagai racun perut maupun kontak,” papar Ir Agus Kardinan, MS dari Balittro. Total ada sekitar 40 jenis serangga yang bisa ditanggulangi nimba.
Produksi mahal
Menurut data Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan dan Direktorat Jenderal Perkebunan, hingga 1994 teridentifi kasi sekitar 40 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati. Jumlah itu baru 2,6% dari total 1.500 tumbuhan di seluruh dunia yang berpotensi sama. Dibandingkan Filipina, eksplorasi tumbuhan pestisida nabati lokal masih jauh tertinggal. Hingga 1987 saja para peneliti di negeri mantan rezim Marcos itu sudah mengoleksi sekitar 100 tumbuhan.
Dari lacakan Trubus meski pestisida nabati diminati, sulit menemukannya terpajang di toko-toko saprotan. “Kalau pesan bisa sebulan atau lebih, baru datang. Seringkali terpaksa membuat sendiri,” ujar Iskandar Waworuntu, pekebun organik di Yogyakarta. Padahal, merek yang sudah beredar cukup banyak. Sebut saja Bio Pestisida Pasti, Pest Neem, Nimba, Insect Killer Organik, dan Mitol 20 EC. Semua produk itu rata-rata memakai nimba sebagai bahan dasar. Kecuali Mitol 20 EC dengan ekstrak cengkih.
Pangkal seretnya pemasaran pestisida nabati terkait erat dengan biaya produksi dan ketersediaan bahan dalam jumlah memadai. Pest Neem, misalnya, ongkos produksinya mencapai Rp40.000 per liter. “Produksi mahal karena biji nimba diambil dari Lombok. Belum lagi bahan pelarutnya yang juga mahal,” ujar Ir Budi Saketi, MM dari PT Rekayasa Sumber Daya Hayati (RSDH), produsen Pest Neem di Purwakarta, Kabupaten Bandung itu.
Bisa dibayangkan harga yang harus diterima konsumen. “Kami menjual Rp7.000—Rp8.000/100 ml,” papar alumnus Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada itu. Harga itu memang masih dianggap terlalu tinggi bagi pekebun kecil. “Apalagi pekebun bisa membuat sendiri. Jadi pasarnya benar-benar terbatas,” tutur Budi. Wajar bila produk pestisida nabati hanya menyumbang 5% dari total pendapatan PT RSDH.
Sulitnya mengumpulkan bahan baku dirasakan membuat tersendat penyebaran pestisida nabati. Contoh Lembaga Pertanian Sehat (LPS) di Sukabumi yang melepas merek VIR-X dan VIR-L. VIR-X, bioinsektisida NPV untuk membasmi ulat grayak Spodopthera exigua misalnya, dibuat dari ekstrak ulat Spodopthera exigua yang diinfeksi. “Mencari ulat yang terinfeksi: merah dan bernanah sungguh sulit,” tutur Ida Farida Ssi, staf litbang LPS. Padahal, permintaan yang masuk cukup besar mencapai 2.000—3.000 bungkus/bulan. Setiap bungkus berisi 20 g ekstrak ulat yang dijual seharga Rp20.000. (Dian Adijaya S/Peliput: Evy Syariefa Firstantinovi & Hawari Hamiddudin)