Bukan perkara mudah menemukan serama berkualitas di negeri jiran. “Saya butuh waktu 2 hari untuk mendapatkannya. Itu pun karena dibantu Chooi,” tutur Nuryassin, si empunya Faradina Farm. Chooi alias The Ling Toh adalah peternak kenamaan di Penang yang banyak mengenal para kolektor serama di Malaysia. Kalau bergerilya sendiri mencari serama bisa memakan waktu berminggu-minggu.
Buktinya Lie Ming di Modernland, Tangerang. Waktu kali pertama mendatangkan serama lelaki berperawakan kekar itu harus menginap di rumah pamannya di Penang selama 3 minggu. Padahal, daerah seputaran Pulau Penang dan Kedah tempat “bermain” Jojon—sebutan Lie Ming—waktu zaman lou han. Ia pernah berprofesi sebagai importir ikan berkepala nongnong itu.
Kecele
Malaysia memang tempat asal ayam terkecil di dunia itu. Peternak dan hobiisnya tersebar di bagian utara, seperti Penang, Kedah, Alorstar, Perlis, Johor, dan Kelantan. Di pusat ibukota, Kualalumpur, ada hobiis tapi dalam jumlah kecil. Namun, di negeri Mahathir Mohammad itu “Nyari serama tidak segampang lou han. Tidak ada papan nama atau sentra pusat penjualan. Jadi sulit jika tak mempunyai penghubung,” ungkap Jojon.
Dengan memanfaatkan kolegakolega, pemain lou han di Penang dulu, pada perburuan pertama berhasil dibawa 49 serama jantan dan betina. Menurut Jojon itu jumlah terbanyak dari 4 perburuan yang telah dilakukan sejak Agustus 2004 hingga Februari 2005. Perburuan berikutnya hanya sekitar 30-an ekor karena selain jumlahnya kian menyusut, selera Jojon makin tinggi. Ia tidak mau lagi membeli serama yang hanya bersosok kecil. Warna bulu juga menjadi bahan pertimbangan.
“Saya harus ngobok-ngobok kandang serama di Penang sampai Kelantan. Ingin tahu sampai berapa banyak saramaserama bagus di sana,” tekad Jojon. Waktu berminggu-minggu pun lagi-lagi dihabiskan untuk sekadar survey. Kerap ia “tertipu” informasi dalam petualangannya. Misal ketika memburu serama Sri Taiping di Paritbundar. Dua hari waktu terpakai tapi hasilnya nihil.
Sri Taiping populer setelah beberapa kali menjuarai lomba. Penasaran mendengar cerita orang di Penang, Jojon mengontak teman. Dari teman diperoleh informasi pemiliknya berada di dekat pintu keluar tol Jawi. Dengan tergesakesa Jojon menguber ke sana. Sebelum sampai ke tempat tujuan ia sempat melihat sosok Sri Taiping di kartu nama seseorang. “Saya rasa kualitasnya biasa-biasa saja,” ucap Jojon agak kecewa. Betul, setelah melihat Sri Taiping dengan mata kepala sendiri, pria penggemar ayam bangkok itu langsung pulang. Sosok fi sik dan warna bulu tak sesuai harapan Jojon. “Ayam cuma menang kecil,” katanya.
Banyak makelar
Kesulitan sama dialami Aris Hartanto dan Megananda Daryono. “Meski di Malaysia mulai banyak yang beternak serama, kita tidak mungkin menyambanginya satu per satu. Lagi pula ayam-ayam yang bagus biasanya sudah di tangan broker,” kata Aris Hartanto pemilik Boutique Hobiis show room di ITC Cempaka Mas. Oleh karena itu harga serama tidak murah seperti dari peternak.
Aris pergi ke Malaysia pada November 2004 bersama rekan-rekan sesama hobiis di Jakarta. Hasil perburuannya tidak tanggung-tanggung, 60 ekor dikapalkan ke tanah air setelah seminggu berada di negeri jiran. Kualitas serama yang dibawa Aris grade A dan B, berbobot 250—350 g per ekor. “Harganya bervariasi mulai dari Rp6-juta—Rp12-juta per ekor. Ada juga Rp2,5-juta untuk betina,” tambahnya.
Megananda Daryono, pemilik Mega Bird Farm mengakui serama di Malaysia semakin mahal. Penyebabnya, pertama mereka tahu, serama tengah ngetren di Indonesia. Kedua, banyak makelar sehingga si empunya ayam memperhitungkan harga jual berikut komosi untuk penghubung antara pembeli dan penjual itu. Padahal, “Makelar lebih dari 1, bisa 2 atau 3 yang semua harus diberi komisi,” tuturnya.
Berdasarkan pengamatan Jojon, harga serama di Malaysia sekarang sudah 3 kali lipat dibanding ketika mulai popular. “Jarang serama yang berkualitas dijual Rp10-juta, rata-rata di atas Rp20-juta. Betina lebih murah Rp4-juta per ekor,” papar Jojon. Meskipun begitu Jojon tidak bisa lari dari kenyataan. Permintaan serama yang tinggi dari kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta mengharuskan ia tetap rutin bertandang ke Malaysia.
Jalan satu-satunya hobiis seyogyanya mulai menangkarkan ayam berdada membusung itu. Toh induk-induk bagus sudah banyak didatangkan. “Dari segi kreativitas sebetulnya hobiis di Indonesia lebih unggul ketimbang di Malaysia. Jadi sangat mungkin serama yang lebih kecil (bobot kurang dari 250 g, red) keluar dari Indonesia,” ungkap Edy Landung, hobiis di Modernland, Tangerang. Cara itu pula untuk meluluhkan para broker di Malaysia yang berlaga tidak mau menjual demi mendapat harga tinggi. (Karjono/Peliput: Nyuwan SB)