Mulai akhir tahun lalu hingga beberapa bulan ke depan, sang raja buah memang sedang panen raya di berbagai sentra di Sumatera. Namun, jangan berkecil hati. Anda yang tinggal di Jawa pun bisa menikmati buah berduri itu. Bila perlu datang ke kebunnya langsung.
Perjalanan dari Jakarta menuju Leuwiliang, Bogor, p a g I menjelang siang itu beberapa kali disela kemacetan di beberapa pasar. Di beberapa tempat, Trubus melihat kedaikedai menjajakan durian. Kota Hujan memang salah satu sentra terkenal. Siapa tak kenal durian rancamaya atau parung?
Setelah menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam, akhirnya Trubus tiba di tempat tujuan. Tak terlalu sulit menemukan kebun durian berjarak 4 km dari pasar Leuwiliang itu. Maklum letaknya di tepi jalan. Begitu memasuki pintu gerbang belum terlihat deretan tanaman anggota famili Bombaceae itu. Hanya ada 2 pohon durian lokal yang tumbuh menjulang di kiri-kanan pintu gerbang. Padahal menurut sang pemilik yang mengundang, kebun seluas 1,5 ha itu melulu ditanami channee.
Lai merah
Sebuah jalan aspal sempit dan menanjak Trubus susuri. Di tengah perjalanan terlihat sebuah menara tinggi dilengkapi tali-tali. Ada juga tebing-tebing curam dan landai yang rumputnya rebah seperti habis diinjakinjak. Belakangan Trubus tahu, lokasi itu kerap dipakai untuk wisata alam.
Akhirnya mobil berhenti di sebuah lapangan tak begitu luas. Di dekat situ ada rumah peristirahatan nan asri yang dilengkapi kolam renang. Namun, bukan itu yang membuat takjub. Dari puncak bukit itu terlihat lembah di bagian bawah dialiri sungai yang berkelok-kelok. Hamparan sawah terbentang di kedua sisinya. Nun disana terlihat deretan rumah-rumah penduduk. Sebuah tempat menyenangkan untuk menikmati durian.
Sesosok pohon lai bertajuk rimbun menyambut begitu kaki menjejak ke lokasi penanaman durian yang terletak persis di hadapan rumah peristirahatan. Tanaman asal Kalimantan itu bakal jadi pusat perhatian kala memamerkan bunganya yang berwarna merah dan semarak. Makin ke dalam terlihat deretan pohon durian dengan jarak tanam cukup padat. Tajuk menjulang di atas 5 m. Maklum umur tanaman sudah mencapai 10 tahun.
Trubus melihat puluhan buah bulat gepeng dan berbelimbing—ciri khas channee—menggantung di dahan . Di beberapa tempat tercium bau buah matang. “Musim kali ini total populasi 60 pohon panen semua. Dari setiap pohon minimal dipetik 40 buah,” tutur Ir Syamsu Rizal, sang pemilik.
Terbengkalai
Hasil seperti itu tak terbayangkan waktu Rizal mengambil alih kebun dari pemilik lama pada 1999. Waktu itu di sana bak kuburan durian. Rumput tinggitinggi menutupi seluruh lokasi. Tanaman merambat membelit batang-batang durian. Perawatan kebun pun sempat terbengkalai lantaran Sarjana Teknik Sipil lulusan Universitas Gadjah Mada itu sibuk bekerja sebagai kepala divisi di perusahaan Bakrie.
Barulah setelah pria 35 tahun itu mengundurkan diri dari kantor dan memilih menerjuni agribisnis, harta terpendam itu dilirik kembali. Rumput dan belukar dibabati. Berkarung-karung pupuk bekas media pengembangbiakan cacing dibenamkan. Akhirnya pada 2000 panen perdana dicicipi. “Waktu itu kita ngga berani jual. Rasa buah masih campur aduk, ada yang manis, ada yang dingin. Warna daging bervariasi kuning dan pucat,” kata Rizal.
Berbekal pengalaman itu, ayah 2 anak itu berburu ilmu budidaya pada para pionir. Hasilnya tak mengecewakan. Panen berikutnya buah seragam. Daging kuning menyala, tebal, dan manis. Bau harum pun tercium. Namun, meski berhasil menembus beberapa gerai pasar swalayan, buah urung dijual lantaran belah karena telanjur matang.
Tahun berikutnya, ia tidak mau gagal lagi. Begitu beberapa buah jatuh pohon, semua langsung dipanen supaya tidak kematangan. Target pasar pun diubah—konsumen langsung yang disasar. Bersama istri dan beberapa pegawai, channee diboyong ke kawasan Senayan, Jakarta Pusat. Bak gula dikerubungi semut, mobil bak terbuka yang membawa channee segera dikerumuni konsumen. Maklum selama ini hampir tak ada channee dipasarkan.
Dewi fortuna belum juga datang. “Kalau tahun sebelumnya durian ngga terjual karena kematangan, sekarang tidak laku karena begitu dibelah belum matang. Padahal yang datang ke sana banyak mania durian yang ingin mencicipi langsung di tempat,” kenang pria kelahiran Bandung itu sambil terkekeh.
Meski gagal, Rizal tak kecewa. Beberapa mania durian malah ingin datang langsung ke kebun. Makanya mulai saat itu pemilik perusahaan agribisnis dan jasa konstruksi itu membuka lebar pintu kebunnya buat mereka yang ingin menikmati langsung durian di tempat. Awal tahun merupakan waktu tepat menyantap channee sambil menikmati pemandangan alam di sana.
Jonggol
Masih di kawasan Bogor, ada kebun milik Erwin Budiman di Pasirpeuteuy, Cariu. Di sana mania durian bisa menikmati beragam jenis. Monthong, matahari, hepe, sunan, sukun, dan cipaku. Jumlah monthong memang lebih banyak karena mendapatkan bibitnya lebih mudah. Namun, soal kualitas buah, jenis lokal pun bersaing.
Trubus melihat matahari di dekat pondok peristirahatan dipenuhi buah berukuran setara monthong. “Malah pernah ada yang bisa mencapai 8 kg,” kata Jamal, penanggung jawab kebun. Daging buah tebal dan manis.
Lalu ada juga hepe yang berbiji kempes. Di bagian depan terlihat pohon D24 dan Mdur 88. Sayang andalan Malaysia itu belum berproduksi lantaran baru berumur 3 tahun.
Suasana kebun milik pengusaha tabulampot Malwin Jaya itu tak kalah menyenangkan dibanding kebun channee di Leuwiliang. Lokasi kebun berterassering menuruni bukit berpemandangan ke arah lembah yang masih asri. Sayang, waktu Trubus berkunjung pertengahan Desember silam durian di kebun itu banyak yang jatuh pohon. Meski begitu tak perlu kecewa. Di sana masih banyak kebunkebun durian yang layak disambangi. Salah satunya milik Midian Simanjuntak. Kebun seluas 20 ha itu melulu ditanami monthong.
Dari luar tak terlihat ada surga durian di sana. Sekeliling kebun memang dipenuhi lengkeng yang kini sudah berumur belasan tahun. Tajuk yang rimbun menghalangi pemandangan ke arah deretan Durio zibethinus yang berbaris rapi dengan jarak tanam 10 m x 10 m.
Mantan petinggi Bank Rakyat Indonesia itu sendiri yang menangani. Hasil kerja keras sejak 1987 kini sudah dinikmati. Setiap tahun ribuan buah matang pohon dipanen. Makanya bila berkunjung ke sana sudah pasti durian enak yang didapat.
Lokal wonosalam
Nun di ujung timur Pulau Jawa, kebun durian seluas 10 ha di Desa Kemasantani, Gondang, Mojokerto, bisa jadi pilihan lain. Panas. Memang itu yang bakal dirasakan begitu memasuki kawasan itu. Bagaimana tidak, bukit yang mengelilingi desa berjarak 35 km dari pusat kota Mojokerto itu gundul. Padahal dulu di sana hutan jati.
Toh, kepenatan itu langsung hilang bila kaki sudah menjejak di pintu masuk bertuliskan Kasumi Farm. Deretan r a m b u t a n r a p i a h sepanjang 200 m ke arah dalam menyambut. Lalu diikuti beragam jenis jambu, seperti camplong, delima, dan semarang.
Setelah melalui jalan setapak berbatu, baru terlihat hamparan 300 durian yang ditanam di beberapa blok di dua bukit berbeda. Kebanyakan monthong, sisanya channee dan jenis lokal: wonosalam. Yang terakhir berdaging kuning, tebal, dan terasa manis legit. Buah matang pohon sudah mulai bisa dicicipi pada November hingga Februari.
Di kebun milik K a s p i n — m a n t a n pegawai PLN—itu pengunjung bebas berkeliling sendiri. Bila ada buah jatuh, silakan diambil. Nantinya, setelah membayar durian bisa dimakan di rumah peristirahatan yang terletak selepas kebun jambu. Wajar bila musim panen tiba kebun berwaktu tempuh 1,5 jam dari Surabaya itu tak pernah sepi pengunjung.
Tak melulu durian, buah-buah lain yang ada di kebun seluas total 40 ha itu juga bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Jadi, kebun mana yang ingin Anda sambangi? Silakan pilih sendiri. (Evy Syariefa/Peliput: Nyuwan S Budiana)