Tandan yang datang dipotong dan disortir menjadi sisiran berisi 12—16 buah. Buah Musa paradisiaca terpilih dicuci, ditiriskan, lalu dikemas rapi dalam kotak kardus berbobot 11 kg. Dari sanalah setiap minggu dikirim 11 ton pisang mas ke Jakarta. Sejatinya PT Sewu Segar, pengepul besar di Jakarta, meminta 15 ton per pekan.
Begitulah aktivitas setiap Ahad di gudang patungan milik 3 kelompok tani: Sumber Jambe, Raja Mas, dan Sumber Agung di Desa Kandang, Kecamatan Senduro, Lumajang, Jawa Timur. Mereka seolah ketiban rejeki sejak pengepul dari Jakarta berburu langsung ke Jawa Timur 6 bulan silam. “Dulu kami kerepotan menjual pisang. Pernah menjual ke pengepul di Surabaya, tapi permintaannya kecil,” kata Lili, penyuluh pertanian Kecamatan Senduro sekaligus pembina 3 kelompok tani itu.
Maklum, di pasar tradisional pisang dijual tanpa sortir. Harga yang diterima pekebun hanya Rp6.000/6 sisir setara Rp1.000 per sisir. Dengan datangnya pengepul dari Jakarta, harga terdongkrak naik, Rp10.000 per 6 sisir atau setara Rp1.650 per sisir. “Keuntungan bertambah 50%,” kata Lili. Kini yang dijual ke pasar tradisional ialah pisang tak lolos sortir. Jumlahnya hanya 10% dari total produksi.
Menurut Lili, pisang yang diterima PT Sewu Segar harus tua dan seragam. Bentuknya tak boleh bersudut, tapi bulat lonjong mulai dari pangkal sampai ujung. Warna hijau mulus tanpa cacat. Yang paling penting penampilan harus bersih dan bebas hama.
Masuk swalayan
Walau bukan tergolong buah eksklusif, pisang selalu diminati sejak dulu. Sejak akhir 1990-an beberapa jenis pisang naik kasta masuk pasar swalayan. Sebut saja cavendish, sejenis pisang ambon kuning. Bedanya, rasa cavendish sedikit lebih asam. Masuknya cavendish ke pasar swalayan diikuti jenis pisang lain. Trubus menemukan pisang barangan, mas, tanduk, kepok, uli, dan raja sere dijajakan di pasar swalayan.
Tingginya permintaan itu dirasakan oleh Dudin Umarudin. “Permintaan selalu naik. Apalagi di setiap akhir pekan dan mendekati bulan puasa, bisa 30—40%,” kata asisten manajer bagian fresh product Giant Cimanggis. Saat ini saja, hypermarket itu mendapat pasokan cavendish 4.320 ton per bulan. Jenis lain tak ketinggalan, seperti barangan, tanduk, mas, kepok, uli, dan raja sere selalu ludes. Cavendish dijual Rp5.500 per kg, pisang raja Rp8.250 per sisir.
Permintaan tinggi juga dialami Ibrahim Ronny Kusnadi, pengumpul pisang di Bogor. Ia kesulitan memperoleh buah yang berkualitas, sehingga harus mengurangi pasokan ke swalayan di Jakarta seperti Alfa, Superindo, dan Diamond. “Total permintaan 2 ton per 2 minggu. Saya hanya sanggup 5—6 kuintal,” kata pria 52 tahun itu. Menjelang puasa dan hari raya besar lain, permintaan naik 4—5 kali lipat.
Sebetulnya tak hanya pasar lokal yang mengincar pisang. Pasar dunia pun memburu pisang Indonesia. Negara-negara Uni Emirat Arab seperti Kuwait, Qatar, dan Saudi Arabia sejak setahun lalu mencari pasokan. “Mereka minta 4 kontainer cavendish dan ambon per minggu,” kata Musthofa Salim, pemilik PT Masindo Karya Prima, eksportir buah tropis di Jakarta Timur. Sayang, Musthofa tak sanggup memenuhi permintaan itu karena sedikit sekali pisang yang dikebunkan.
Pekebun untung
Masuknya pisang non-cavendish ke pasar swalayan membuat pekebun untung. Sebut saja Mujiono Firmansyah, pekebun di Lumajang. Dulu ia hanya memasok 50 kg/2 minggu. Kini setelah pengepul dari Jakarta masuk, ia sanggup memasarkan 9 karton setara 99 kg per minggu. “Anda hitung sendiri, hasil kebun saya bisa diserap 4 kali lipat,” kata Jiono, panggilan akrab Mujiono. Pun Nanang Khosim, pekebun tetangga Mujiono. Dari 1.000 pohon yang ditanam di lahan 1 ha, 20—30% habis diserap pasar setiap minggu.
Lantaran tergiur permintaan itu, saat ini sebanyak 125 pekebun di Lumajang sedang mempersiapkan lahan 50 ha untuk pisang mas. Hitung-hitungan Trubus dari 1 ha lahan yang ditanami 1.000 pohon dapat dipanen 750 kg per bulan setelah 11 bulan penanaman. Dengan harga Rp10.000/6 sisir, total omzet sebulan Rp1,24-juta. Laba mencapai 30% dari omzet. Belum lagi untung dari pisang afk iran. Jumlah pisang apkir itu mencapai 30 kg/minggu setara Rp129.600/bulan.
Tak hanya pekebun di Lumajang yang merasakan manisnya menanam pisang. Nun di Pulau Harimau, Desa Rimo Balak, Lampung, ada Parasman Pasaribu. Di pulau itu Pras—sapaan akrab Parasman—mengebunkan pisang di lahan seluas 20 ha yang ditumpangsarikan dengan jagung, cokelat, dan kayu. Setiap bulan ia rutin mengirim 30 ton pisang ke pengepul yang ada di Jakarta. Dari perniagaan itu dalam sebulan Pras mengantongi keuntungan antara Rp5-juta—Rp7,5 juta.
Menurut pria kelahiran Batunabolon, Sumatera utara, itu harga pisang ditentukan berdasarkan kualitas dan jenis. Rames—pisang berukuran kecil—dijual seharga Rp 6.000/tandan. CR—kualitas sedang dengan 1 tandan berisi 7 sisir—laku Rp10.000 per tandan. Jenis pisang super seperti ambon, kepok, raja sere, raja bulu, dan tanduk Rp 12.500/tandan berisi di atas 7 sisir. Pembagian kualitas menggunakan istilah tersebut sudah mendarah daging di benak masyarakat Lampung.
Kerikil tajam
Manisnya berkebun pisang bukan tanpa hambatan. Sampai saat ini total produksi anggota famili Musaceae itu belum bisa ditingkatkan. Kendalanya macam-macam, kondisi musim yang tak menentu misalnya. “Musim kemarau jadi hujan, sebaliknya hujan jadi kemarau. Akibatnya produksi berkurang,” kata Pras. Permintaan 2,2 ton per minggu hanya dipenuhi 1 ton per minggu. Musim kemarau juga mengakibatkan bobot buah menyusut hingga 30%. Belum lagi serangan penyakit. Lima bulan lalu, Pras terpaksa menebang 100 pohon dan membakarnya karena serangan sigatoka.
Kendala lain dihadapi pekebun Lumajang ialah abu Gunung Bromo. Abu yang terbawa oleh hembusan angin mengakibatkan warna buah kusam. Belum lagi serangan hama dan penyakit yang terus saja menyerang. “Kami dipusingkan ulat penggulung. Daun utama rusak sehingga tanaman kurang sehat,” kata Lili.
Bibit tak seragam, buah muncul tak serempak, fusarium, dan jenis penyakit pisang lain adalah jurang besar yang siap menenggelamkan para pekebun. Toh, itu semua tidak menyurutkan langkah. Aktivitas bongkar muat pisang di Desa Kandang, Kecamatan Senduro, Lumajang bakal tambah kerap setelah perluasan areal. (Lastioro Anmi Tambunan)