Trubus.id– Desa Mata Redi di Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, dulunya adalah desa tanpa aliran listrik. Warga mengandalkan pelita minyak tanah untuk penerangan dan melakukan aktivitas hingga malam hari.
Kemiri menjadi salah satu hasil kebun utama yang menopang kehidupan masyarakat di desa ini. Namun, proses pengolahan kemiri masih dilakukan secara manual dan memakan banyak waktu serta tenaga.
Setiap 10 kilogram kemiri harus dipukul satu per satu untuk memisahkan cangkangnya. Proses ini melibatkan lima orang dan menghabiskan waktu hingga 12 jam.
Kehadiran listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mengubah cara warga mengolah hasil panen. Energi matahari yang ditangkap oleh panel surya kini menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi desa.
Kemiri yang telah dijemur kemudian dimasukkan ke dalam lemari pembeku bersuhu minus 15°C—17°C selama minimal 12 jam. Pembekuan membuat cangkang kemiri rapuh dan biji tetap utuh ketika dipecah.
Dengan kandungan minyak sebesar 55—60%, kemiri dari Mata Redi harus dijaga kualitasnya. Biji yang membeku akan lebih mudah dipisahkan dari cangkangnya dengan mesin.
Setelah proses pembekuan, kemiri masuk ke mesin pemecah yang digerakkan oleh listrik dari PLTS. Dalam waktu satu jam, mesin ini dapat menggantikan kerja lima orang selama setengah hari.
Kemudian kemiri dikeringkan dalam oven listrik bersuhu 40—50°C selama 3—4 menit. Proses ini lebih cepat dan tidak tergantung cuaca seperti sebelumnya.
Teknologi ini tidak hanya mempercepat pekerjaan, tapi juga meningkatkan hasil kemiri utuh. Jika sebelumnya hanya 20% yang utuh, kini bisa mencapai 40—50%.
Kemiri pecah dua juga naik menjadi 50—55%, sementara biji kemiri yang rusak turun hingga kurang dari 10%. Kualitas yang lebih baik ini berdampak langsung pada pendapatan warga.
Harga kemiri biasa hanya sekitar Rp30.000—Rp37.000 per kg. Sementara kemiri utuh bisa mencapai Rp40.000—Rp45.000 per kg di Pulau Jawa.
Persentase kemiri utuh yang tinggi menambah keuntungan bagi petani. Produk mereka kini diminati hingga ke luar Pulau Sumba.
Produk kemiri BUM Desa Hali Dewa telah dipasarkan ke Surabaya dan Yogyakarta. Selain berkualitas, kemiri dari Mata Redi memiliki kadar minyak tinggi yang disukai pasar.
Permintaan kemiri dari Mata Redi saat ini mencapai 1—2 ton per bulan. Namun kapasitas produksi BUM Desa masih terbatas di angka 100 kg per minggu.
Keterbatasan ini disebabkan kapasitas rumah pengering surya yang belum mencukupi. Meski begitu, warga sudah menikmati manfaat ekonomi yang signifikan.
Biaya pemrosesan kemiri di BUM Desa juga terjangkau. “Untuk setiap kilogram hanya dipungut Rp1.000,” kata Mama Inez.
Biaya itu sudah termasuk pembekuan dan pemecahan dengan mesin milik BUM Desa. Selain mendapat harga jual sama dengan pengepul kota, warga juga tak perlu keluar ongkos transportasi.
BUM Desa juga berperan sebagai pembeli hasil panen masyarakat. Jarak ke kota Waikabubak yang sebelumnya ditempuh 25 km kini tak perlu lagi dilalui.
Usaha pengolahan kemiri menjadi tulang punggung ekonomi baru Desa Mata Redi. “Ini adalah bagian dari upaya BUM Desa memutar roda ekonomi warga dengan energi bersih,” ujar Aziz Setyawijaya.
PLTS berkapasitas 95 kilowatt peak (kWp) yang dibangun di desa ini merupakan bagian dari Program MENTARI. Program ini adalah kerja sama Pemerintah Indonesia dan Inggris untuk mendorong transisi energi rendah karbon.
Dulu, untuk sekadar mengisi daya ponsel saja, warga harus berjalan 6 km ke desa tetangga. Kini, listrik dari matahari tak hanya menerangi rumah, tetapi juga menambah penghasilan dan harapan hidup yang lebih baik.