Rasa penat sedikit menyertai kala kendaraan akhirnya memasuki kota Kediri setelah menempuh perjalanan selama 3 jam dari Surabaya. Waktu itu penghujung Desember, bertepatan dengan musim panen podang yang jatuh pada November—Desember. Toh, mangga berkulit merah kekuningan itu seakan absen di kota yang berdiri pada 22 Maret 1954 itu.
Pemandangan yang didominasi hijaunya pepohonan dan deretan pabrik berangsur beralih rupa begitu kendaraan dipacu ke barat daya menuju Gunung Wilis. Deretan pedagang kakilima menjajakan mangga podang kerap ditemui. Satu dua pohon yang digelayuti buah ranum terlihat di rumah-rumah penduduk.
Warna merah kekuningan itu kian moncor begitu memasuki Kecamatan Banyakan di Kabupaten Kediri. Berpuluh keranjang bambu berisi mangga podang tumplek blek di pasar setempat. Makin sore, tumpukan itu kian bertambah hingga memenuhi badan jalan. Maklum lebih banyak pengepul yang datang membawa mangga. Padahal bulan itu penghujung panen raya. Tak terbayangkan luberan keranjang-keranjang itu saat di puncak musim.
Masih sama
Keramaian itu memuncak pada pukul 15.00—18.00. Begitu matahari memasuki peraduannya, keriuhan itu pun usai. Berpuluh keranjang Mangifera indica itu kini sedang dalam perjalanan menuju Surabaya, Tangerang, Jakarta, bahkan Singapura via Batam.
Wajar saja bila bekas pusat pemerintahan Kerajaan Kediri itu dibanjiri mangga podang. Menurut data Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur, di wilayah itu total populasi 500.000 pohon . Itu menyebar di 5 kecamatan, yaitu Semen, Tarokan, Grogol, Banyakan, dan Mojo. Populasi terbanyak terdapat di Kecamatan Banyakan. (Baca Trubus edisi Agustus 2003)
Di sana podang tak hanya ditanam di pekarangan. Ribuan pohon yang digelayuti buah ranum terlihat memenuhi bukit-bukit di wilayah itu. Pemandangan itu mengingatkan pada cerita seorang rekan, pegawai Kebun Raya Bogor, 9 tahun silam.
Waktu itu ia baru saja pulang dari Kediri. Sambil membawa oleh-oleh mangga berwarna kuning jingga, berukuran kecil, dan berbentuk lonjong, ia menuturkan pengalaman tak terlupakan menjelajah bukit yang dipenuhi anggota famili Anacardiaceae.
Penduduk setempat menyebutnya mangga kepodang—diduga diambil dari nama burung berbulu kuning itu. Belakangan suku kata pertama hilang sehingga tinggal podang saja. Kini pemandangan serupa hadir di depan mata. Bukit bak diselimuti lautan merah, persis seperti yang diceritakan teman dari Kebun Raya Bogor itu.
Kebun tua
Menilik sosoknya, pohon-pohon itu sudah berumur minimal 10 tahun. Bahkan ada yang meraksasa seperti beringin. Paling tidak umurnya 50 tahun ke atas. Meski pohon warisan, penanaman podang di sana monokultur. Yang di dekat pemukiman penduduk bercampur dengan tanaman lain, seperti singkong, palawija, dan petai.
Diduga dahulu kebun-kebun di bukit itu dikelola secara semiintensif. Di beberapa bagian terlihat tanaman berjejer rapi tanda dulu ia ditanam dengan jarak teratur. Percabangan dimulai pada ketinggian batang 1 m di atas tanah. Lahan pun berterassering. Sayang kini tanaman warisan itu tak terawat. Tajuk ngelancir ke segala arah, jauh dari batang utama.
Di perbukitan berketinggian antara 200—300 m dpl itulah PT Bukit Doho Indah mengelola 4.000 pohon di lahan 150 ha. Jumlah itu memang jauh dari populasi ideal 30.000 pohon dengan asumsi 1 ha diisi 200 pohon. Wajar bila di banyak bagian kebun terlihat kosong karena tanaman mati atau ditebang.
Toh, kebun tua itu kini mempercantik diri. Rumput-rumput dibabati. Lingkaran tanah di bawah tajuk bersih dari gulma. Pupuk kandang pun rutin dibenamkan. Tajuk tanaman mulai dibenahi. Tanah yang kosong dipersiapkan untuk penanaman baru. Maklum, tujuan akhir pengelola, kebun itu bakal jadi lokasi wisata khusus mangga podang.
Varietas unggul
Lantaran dikembangbiakkan dari biji keanekaragaman buah sangat tinggi. Setiap pohon memiliki karakter berbeda. Ukuran buah bervariasi dari yang sebesar telur sampai sekilo isi 4 buah. Warna kulit: kuning,jingga, merah jingga, dan merah. Rasanya, ada yang manis, manis segar, bahkan masam sama sekali.
Dari hasil eksplorasi selama 2 hari ditemukan 3 jenis yang paling potensial berdasarkan informasi dari penduduk setempat. Yang pertama berkulit merah jingga seperti udang rebus. Daging yang jingga menarik, terasa manis segar. Bila ia ditanam di dataran rendah, rasa manis kian muncul.
Teksturnya agak keras sehingga tak mudah genjur kala matang. Ia masih layak konsumsi meski sudah 7 hari disimpan di udara terbuka. Itulah podang urang (bahasa Jawa, urang = udang, red). Lantaran keistimewaan itu ia sudah dilepas sebagai varietas unggul nasional.
Penduduk setempat kerap menikmatinya dengan cara unik. Mangga dikupas seperti mengupas pisang dengan menyayat kulit di empat sisi. Lantaran berserat, daging tak hancur meski ditarik dari arah ujung ke pangkal buah. Begitu kulit terbuka, daging buah digigit hingga habis. Ehm…nikmat sekali, apalagi kalau makan langsung di kebun.
Jenis lain berkulit kuning, berkadar air tinggi dengan rasa mangga khas. Masyarakat setempat menyebutnya podang lumut karena hingga matang ia cuma berwarna kuning polos tanpa merah. Meski penampilan kurang menarik, sifat juicy-nya cocok untuk mangga olahan, misal dibuat jus.
Mulai dikembangkan
Bicara soal penampilan, podang berwarna merah cerah-lah yang paling menawan. Ukuran buah memang terbilang kecil, tapi produktivitas tinggi. Satu dompol digelayuti sekitar 10 buah. Dari kejauhan pohon yang digelayuti buah-buah matang kelihatan seperti diguyur hujan berwarna merah. Yang ini tentu cantik bila dijadikan tabulampot atau penghias pekarangan. Sayangnya, meski penduduk sudah mengenal perbedaan jenis-jenis itu, selama ini podang masih dipasarkan secara campuran.
Melihat potensi itu tak salah bila PT Bukit Doho Indah berniat untuk terus mengembangkan. Penampilan menarik podang jarang ditemukan pada mangga lokal lain yang lazimnya berwarna hijau. Merahnya podang hanya bisa disaingi gedong gincu dan apel merah.
Berdasarkan pengalaman, pemilik pohon pun tak pernah kesulitan memasarkan. Mereka tinggal menunggu pengepul datang mengambil. Setelah mencapai jumlah tertentu, buah diboyong di Pasar Banyakan. Dari sana buah melanglang hingga ke negeri Singa. Dengan penampilan dan rasa yang khas ia memang cocok untuk pasar ekspor. Supaya kualitas buah seragam, kini mulai digalakkan pengembangbiakan secara vegetatif. (Dr Ir Mohammad Reza Tirtawinata, MS, pengamat dan praktisi buah-buahan)