Nama desa di Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro itu mencuat sebagai penghasil salak bermutu sejak penghujung tahun lalu. Awal Desember 2004, di kawasan agrowisata salak Kapas, 80 kultivar salak berlaga. Hasilnya, 5 juri dari BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Jawa Timur sepakat, salak milik Jumiati dari Wedi yang terbaik.
Wajar jika salak wedi menangguk gelar juara. Rasanya manis, bertekstur masir, dan renyah bila digigit. Tingkat kemanisannya memang paling tinggi, 16,80 brix, yang lain 16—16,60 brix. Penampilan salak wedi juga menarik, buah berbentuk segitiga panjang dan kulit buah cokelat mengkilap. Bila dibuka tampak daging buah putih kekuningan.
Keunggulan lain, produktivitasnya paling tinggi. Satu tandan berisi 31—36 buah. Padahal yang lain rata-rata hanya 21—30 buah per tandan. Bobot buah dan ukuran pun seragam. Yang dikirim ke panitia lomba rata-rata berbobot di atas 2 kg per tandan dengan panjang 8—9 cm per buah.
Salak unggul
Nama wedi muncul ke permukaan lantaran sebagian besar dari 10 nominator juara datang dari desa itu. Tanah agak berpasir dengan sumber air memadai menjadi penyebab keunggulan itu. Kemurahan hati alam itulah yang membuat salak wedi lebih mudah berbunga dan tidak pernah merana karena kekeringan.
Sejak puluhan tahun lalu pekarangan rumah di Desa Wedi rimbun dengan salak. Tak ada yang tahu pasti penanam pertamanya. Konon, salak wedi berasal dari Bangkalan, Madura. Nun dahulu kala, KH Cholil, seorang ulama kharismatik di Desa Kramat, Bangkalan, Madura, sangat mencintai salak. Makanya setiap santri yang lulus dan kembali ke daerah masing-masing dibekali biji salak untuk ditanam di desa kelahiran. Rupanya salah satu santri itu ada yang berasal dari Bojonegoro dan menanamnya di Desa Wedi. Dari situ penanaman meluas ke berbagai daerah di wilayah Bojonegoro.
Karena ditanam dari biji, maka salak yang tumbuh bervariasi. Nama salak yang dijumpai di sana juga beraneka ragam, tergantung selera pemilik. Ada yang menyebut salak nanas karena beraroma nanas, ada pula yang beraroma nangka sehingga disebut salak nangka.
Tiga kultivar
Toh, akhirnya aneka salak itu bisa dikelompokkan menjadi 3 kultivar. Pertama, kultivar lokal salak cokelat. Penampilan buah menarik, bentuk buah segitiga, warna kulit cokelat tua mengkilap saat sudah matang. Yang kedua kultivar penjalin alias salak gading. Sosok buah seperti kultivar lokal, bedanya ukuran lebih kecil dan warna kulit buah agak kekuningan. Ciri khasnya, saat muda ujung buah kehijauan.
Terakhir, kultivar budeng. Warna kulit hitam dan berbentuk bulat. Ukurannya besar dengan bobot mencapai lebih dari 100 g per buah. Dari ribuan tanaman di Bojonegoro, 40% salak yang ditanam kultivar lokal. Sisanya budeng dan gading masing-masing 25%. Dari hasil lomba buah itu terlihat kultivar lokal yang berwarna cokelat jauh lebih unggul dibanding yang lain.
Kini mereka mulai dikembangkan besar-besaran sebagai unggulan daerah. Diharapkan salak wedi dapat mengangkat nama Bojonegoro, seperti pondoh yang mencuatkan nama Sleman. (Ir Tri Sudaryono MS, Dr Mat Syukur, Baswarsiati MS, Ir Suhardi, Ir Wigati Istuti, peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Timur)