Trubus.id — Meskipun volume penjualan vanili hanya 50 kg, Riady Halim tetap mampu mengantongi Rp375 juta. Hal ini karena pekebun di Cikidang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, itu menjual polong vanili kering.
Satu kilogram vanili kering berasal dari 5 kilogram segar. Pemuda 28 tahun itu mengantongi harga rata-rata Rp7,5 juta–Rp8 juta per kg kering dari pembeli di Singapura, Amerika Serikat, Jepang, dan Belanda.
Sejak 2020 Riady rutin mengekspor polong harum ke berbagai negara itu. Volume ekspor ke setiap negara tujuan bervariasi antara 5–10 kg. Secara bergiliran, pemuda kelahiran Jakarta, 29 Desember 1994 itu memasok empat negara.
Riady memperoleh pasar ekspor dari relasi sesama juru masak dan praktisi kuliner. Ia tertarik mengekspor karena permintaan vanili murni di pasar domestik masih terbatas rata-rata hanya 1 kg.
Polong-polong vanili untuk ekspor itu bukan hanya berasal dari kebun sendiri, tetapi juga lima petani mitra di Sukabumi. Riady membeli polong segar Rp300.000–Rp350.000 per kg dari petani mitra.
Petani itu lantas mengeringkan polong di bawah sinar matahari selama 3 bulan hingga kadar air menyusut dari semula 85% menjadi 30–35%. Pasar ekspor menghendaki polong sepanjang minimal 20 cm, warna hitam mengilap, aroma harum tajam, polong gemuk, dan kelembapan 35%.
Polong hasil budidaya petani itu berkelas A dan memenuhi standar ekspor. Pasar ekspor juga menerima polong berkelas B yang panjangnya hanya 18 cm. Menurut Riady, ciri polong kelas B adalah warna sedikit kecokelatan dan kelembapan 25%. Harga vanili kelas B hanya Rp5 juta per kg.
Selain syarat itu, Riady menyebutkan pembeli juga menginginkan adanya sertifikat organik. Kunci menjaga kualitas itu ada pada proses pengeringan. Proses sejak panen hingga siap ekspor membutuhkan enam bulan.
Menurut Riady, biaya produksi 40% sehingga memperoleh margin memadai. Permintaan sejatinya tinggi, bisa 1.000 kg per tahun. Namun, Riady belum mampu melayaninya meski telah bermitra.
