
Permintaan minyak cengkih meningkat. Para penyuling kesulitan meningkatkan produksi karena keterbatasan bahan baku.
Nama adalah doa. Orang tuanya memberi nama Sugiharto bermakna banyak uang (sugih bermakna kaya, arto berarti uang). Kini doa itu menjadi kenyataan. Sugiharto meraup omzet fantastis hingga Rp60 juta sebulan. Itu hasil perniagaan minyak cengkih. Penyuling di Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, itu menjual rata-rata 300 kg minyak kepada eksportir setiap bulan.

Harga jual Rp200.000 per kg. Harga itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga pada periode 2013—2014 yang hanya Rp70.000 per kg. Menurut Sugiharto biaya produksi untuk pembelian bahan baku, bahan bakar, ongkos penyulingan, dan sewa truk sekitar Rp34 juta. Artinya penyuling yang memanfaatkan dandang berkapasitas 400 kg itu memperoleh laba sekitar Rp26 juta setiap bulan.
Rendemen 1,5%
Sugiharto berpeluang besar menambah laba perniagaan minyak daun tanaman anggota famili Myrtaceae itu. Permintaan minyak lebih dari 750 kg per bulan. Jika hendak memenuhi permintaan itu, ia mesti menyediakan 50 ton daun cengkih setiap bulan. Namun, ia gagal memenuhi permintaan karena bahan baku terbatas (lihat boks: Aral Menyuling Cengkih halaman 16).
Penyuling cengkih sejak 2000 itu tidak menerapkan kriteria khusus dalam memproduksi minyak daun cengkih. “Yang pasti, daun kering karena tanda tua sehinggga rendemen yang didapat tinggi,” kata Sugiharto yang mengawali hari dengan berkeliling dari kebun satu ke kebun lain untuk mengumpulkan daun cengkih kering. Ia rata-rata mendapatkan 20 ton daun cengkih setiap bulan yang dibeli dengan harga Rp1.200 per kg.



Pria 45 tahun itu lantas menyuling 20 ton daun cengkih yang menghasilkan 300 kg minyak. Rendemen penyulingan 1—1,5%. Artinya untuk menghasilkan 1 kg minyak Sugiharto memerlukan 67 kg bahan baku. Penyuling lain di Karanganyar, Sugito, juga menangguk laba dari sulingan daun cengkih. Pria 42 tahun itu rutin mengolah 10 ton daun cengkih setiap bulan.
Ia memasukkan daun cengih kering yang terkumpul ke dalam mesin penyulingan. Saat musim hujan lama penyulingan 8 jam, sedangkan pada musim kemarau cukup 4 jam. Sugito menggunakan bahan bakar berupa kayu dan sisa daun bekas sulingan. “Bara api kayu lebih besar dibandingkan dengan kompor aspal sehingga proses pemasakan cepat,” kata Sugito yang menghasilkan 150 kg minyak. Dengan harga jual Rp200.000 per kg ia mendapat omzet Rp30 juta.
Permintaan besar
Para penyuling sejatinya hanya memanfaatkan daun kering yang luruh dari ranting. Tanpa pengolahan daun-daun tanaman kerabat jambu air itu hanya menjadi serasah. Sugiharto menuturkan penyuling mengumpulkan daun kering yang gugur secara alami. Sebagai gambaran pohon berumur 10 tahun menggugurkan daun hingga 15 kg per bulan pada musim kemarau.

Oleh karena itu, di sentra cengkih peluang menyuling daun sangat besar. Seiring penambahan umur pohon, maka jumlah daun yang gugur pun kian banyak. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan sentra cengkih tersebar di berbagai area (Lihat tabel: Sebaran Cengkih). Selain daun, bagian tanaman lain cengkih seperti bunga dan tangkai juga potensial menjadi minyak asiri.
Sekadar contoh, rendemen sulingan bunga cengkih mencapai 6—10%. Untuk menghasilkan 1 kg minyak hanya memerlukan 10 kg bunga cengkih nan harum itu. Harga jual minyak bunga cengkih skala ekspor mencapai Rp450.000 per kg. Sementara itu tangkai daun atau tangkai bunga berpeluang menjadi uang jika melalui proses penyulingan. Rendemen penyulingan tangkai 4—7 % atau 1 kg minyak berasal dari 14,2 kg bahan baku.
Harga jual minyak tangkai cengkih juga menggiurkan, yakni Rp250.000 per kg. Namun, jarang pekebun yang mengolah tangkai. Padahal permintaan minyak asiri cengkih amat besar. Pada umumnya pekebun memilih menjual bunga kering. Lihat saja Suliyanto, di Desa Karanggintung, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Ia merawat 50 pohon cengkih berumur 30—45 tahun.
Pada Juli—Agustus 2017, ia memanen sekitar 5 kg bunga cengkih kering per pohon atau 250 kg dari seluruh populasi tanaman. Pengepul memborong bunga kering itu Rp80.000 per kg. Dari hasil perniagaan itu Suliyanto memperoleh pendapatan Rp20 juta, belum termasuk ongkos operasional. Jumlah itu lumayan mengingat panen hanya dilakukan dua tahun sekali. Itu pun panen raya hanya berlangsung pada Juli dan Agustus. Andai saja menyuling bunga, Suliyanto memperoleh 25 kg minyak seharga Rp11.250.00. Artinya pendapatan Suliyanto jika mengolah bunga menjadi minyak bakal lebih kecil.

Menurut direktur utama PT Pemalang Agrowangi, Raeti, ceruk pasar minyak cengkih sangat terbuka. Sebab permintaan pasar tidak terbatas. “Permintaan yang datang ke kami saja apabila digambarkan bisa mencapai 10 kali lipat dari kemampuan produksi,” kata Raeti. Oleh karena itu, PT Pemalang Agrowangi menerima berapa pun minyak cengkih yang dikirim penyuling dari sejumlah daerah di tanah air seperti Jawa, Bali, dan Sulawesi.
PT Pemalang Agrowangi memberi harga Rp235.000—Rp250.000 per kg untuk minyak daun cengkih standar ekspor. Sementara minyak dari tangkai Rp250.000—Rp275.000. Perusahaan itu mensyaratkan minyak cengkih berkadar eugenol minimal 73% untuk daun, sedangkan minyak dari tangkai berkadar eugenol 80%. Raeti masih menerima minyak berkadar eugenol 60%, tetapi penyuling harus menerima kompensasi harga yang lebih rendah.
Ia menguji minyak kiriman pekebun menggunakan mesin gas kromatografi untuk mengetahui kemurniannnya. Perempuan pengusaha itu menerapkan cara itu untuk menjaga mutu minyak. Ketua bidang hubungan kerjasama dalam negeri, Dewan Asiri Indonesia itu menuturkan perniagaan ekspor minyak cengkih sangat bergantung pada musim. “Dalam setahun ada 4 bulan pasokan minyak tinggi, tetapi di sisi lain ada 8 bulan produksi terbatas,” katanya.
Empat bulan itu berlangsung selama Juni—September. Adapun delapan bulan pasokan terbatas terjadi pada Oktober—Mei. Ketika stok minyak melimpah maka Raeti bisa mengekspor 10 ton minyak cengkih setiap bulan. Namun, saat pasokon minim ia hanya mengekspor 1—2 ton minyak cengkih per bulan. Selain menampung minyak dari penyuling, ia juga mengolah minyak sendiri dengan bekerja sama dengan pekebun mitra di wilayah Banten.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian RI, mencatat Indonesia termasuk dalam daftar negara produsen cengkih dunia bersama Madagaskar dan Tanzania selama periode 2008—2012. Namun, jumlah ekspor dan impor cengkih berfluktuasi setiap tahun. Pada saat panen besar di dalam negeri, ekspor cengkih meningkat. Sebaliknya pada saat panen kecil impor cengkih meningkat.

Volume ekspor cengkih tertinggi selama periode 2010—2016 terjadi pada 2015 dengan jumlah 12.889 ton senilai US$ 46,48 juta. Pada 2015 Indonesia hanya mengimpor cengkih sebanyak 11 ton senilai US$127 ribu. Industri memerlukan minyak cengkih untuk bahan baku parfum, farmasi dan obat-obatan, serta produk makanan. (Andari Titisari)