Trubus.id — Kakao organik menjadi salah satu komoditas yang memiliki peluang bisnis besar. Keuntungan penjualan produk kakao organik lebih tinggi daripada cokelat konvensional.
Menurut Prof. Dr. Ir. Masyhuri, ahli agribisnis dari Universitas Gadjah Mada (UGM), petani yang rasional akan memproduksi kakao organik. Hal ini karena petani akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi jika menerapkan manajemen yang tepat.
Masyhuri mengatakan, produk kakao organik akan tumbuh seiring dengan kesadaran konsumen yang memerlukan kakao sehat. Oleh karena itu, perlu pembenahan sosialisasi sertifikasi organik sehingga semua petani mengetahui cara-caranya dan terbuka bagi semua petani.
Sosialisasi sertifikasi organik dilanjutkan dengan praktik sertifikasi organik itu. Sertifikasi perlu dilakukan secara berkelompok agar murah biayanya dan dilakukan bersama-sama agar lebih mudah.
Tentu saja menghasilkan kakao bermutu bukan perkara mudah. Para pekebun mendapat tantangan dari risiko serangan Conopomorpha cramerella. Serangga hama itu musuh utama dalam budidaya kakao Theobroma cacao.
Celakanya, hama itu tak pandang bulu menyerang buah. Buah muda pun tak luput dari incarannya. Petani dapat menerapkan inovasi pengendalian penggerek buah kakao antara lain dengan memanfaatkan daun sirsak. Jika mampu mengatasi beragam aral, pekebun berpeluang meraih laba besar.
Menurut Kadek Surya Prasetya Wiguna, S.E., produsen sekaligus eksportir cokelat organik, serapan produk cokelat dalam dan luar negeri amat tinggi. Pemilik Cau Cokelat itu menuturkan, indikatornya, konsumsi per kapita per tahun terus tumbuh.
“Jika pada 2020 0,4 kilogram per kapita per tahun, pada 2021 naik menjadi 0,5 kilogram per tahun,” kata Surya.
Belum lagi jika menyebut hari raya seperti Lebaran dan Natal, permintaan bisa naik hingga 100 persen. Surya menuturkan, dari sisi hilir atau serapan, sebetulnya tidak ada kendala. Justru sisi produksi yang menjadi kendala.
Ia menyebut serapan industri kakao dalam negeri bisa sampai 1 juta ton biji kakao kering saban tahun. Sementara itu, pasokan dari kebun paling banter hanya 600.000 ton per tahun.
“Dari sisi hulu atau budidaya butuh permajaan tanaman tua, pengendalian hama penyakit tepat, dan budidaya intensif agar produksi kakao meningkat,” kata Surya.
Pengusaha di Kabupaten Tabanan, Bali itu mengatakan, ceruk pasar ekspor sangat terbuka lebar. Singapura meminta rutin pasokan 5–15 ton cokelat organik per bulan. Sayang, pihaknya baru bisa memasok 3 ton per tahun.
Menurut Surya, kebun kakao organik di Indonesia masih sedikit. Pasalnya, kakao organik baru sekitar 1 persen dari produksi nasional. Surya menyebutkan pasar ekspor cokelat organik antara lain ke Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa tak kalah tinggi.
Tantangannya eksportir mesti menyesuaikan sertifikasi organik dengan negara tujuan. Misalnya, JAS Organic untuk memasok pasar Jepang, USFDA Organic untuk memasok pasar Amerika Serikat, dan EU Organic untuk memasok pasar Eropa.