
Yoyon Priyono bergegas menempuh perjalanan ratusan kilometer dari peternakan sidat miliknya di Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung, menuju Jakarta. Beberapa hari sebelumnya ia mendapat telepon dari salah satu pelanggan yang mengeluhkan kabayaki produksinya berbau lumpur. Padahal, pelanggan itu sudah membeli 40 kg kabayaki produksi Yoyon dengan harga Rp450.000 per kg. Artinya, ia harus mengembalikan omzet yang ia peroleh sebesar Rp18-juta.
Kabar itu mengejutkan Yoyon. Maklum, baru kali ini ada pelanggan mengeluhkan kabayaki produksinya berbau lumpur. “Saya menerapkan sistem dan operasional produksi yang ketat untuk menjaga kualitas kabayaki yang saya produksi,” ujarnya. Untuk mencegah daging sidat berbau lumpur saat dicicip, Yoyon memuasakan sidat dari para peternak mitra hingga 7 hari dan setiap hari mengganti air dengan air baru.
Tujuannya agar semua kotoran dan lumpur dalam perut sidat habis. Efek puasa itu memang menurunkan bobot sidat hingga 10%. “Demi kualitas ya harus dilakukan,” ujarnya. Namun, Yoyon akhirnya teringat bahwa untuk memenuhi pesanan sang pelanggan yang komplain itu ia memesan kabayaki dari salah satu produsen di Sulawesi Selatan. Selain memproduksi sendiri, Yoyon juga bermitra dengan produsen lain karena kapasitas produksi Yoyon tidak mencukupi.
Ketika itu sang kolega mengabarkan jika untuk pengiriman kali ini sidat untuk kabayaki hanya dipuasakan selama 3 hari. “Saya menduga penyebab bau lumpur akibat masa puasa yang lebih singkat,” kata pemilik CV Yonadara Sukses itu. Menurut Ade Sunarma MSi, perekayasa di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi, Jawa Barat, bau lumpur pada sidat bisa terjadi bila sidat merupakan hasil tangkapan alam atau hasil budidaya di kolam tanah.
Di habitat aslinya di alam, sidat dewasa hidup di dasar sungai yang berlumpur, begitu juga di kolam tanah. Ade menuturkan memuasakan sidat sebelum diolah sebetulnya sudah tepat. Hanya saja waktu puasa terlalu singkat membuat kotoran di tubuh sidat belum terbuang seluruhnya. Cara lain, budidayakan sidat di kolam nontanah. Jangan sampai gara-gara aroma lumpur harapan meraih omzet menjadi hancur. (Imam Wiguna)