Pertanyaan bertubi-tubi itu dilontarkan Presiden Soekarno pada 27 April 1952. Saat itu Putra Sang Fajar meletakkan batu pertama gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor. Presiden resah lantaran pertambahan penduduk tak diimbangi dengan persediaan pangan yang memadai.
Empat puluh delapan tahun kemudian, pada 1 November 2000 putri pertama Bung Karno, Megawati Soekarnoputri mengkampanyekan ketahanan pangan. Di atas KRI Dewa Ruci yang berlabuh di Tanjungpriok, Jakarta Utara, Megawati—saat itu menjabat wakil presiden—meneken prasasti ketahanan pangan.
Pertama
Terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, baik jumlah dan mutu, aman, merata, serta terjangkau masyarakat dikenal sebagai ketahanan pangan. Pemantapan pangan memang merupakan pilar kokohnya suatu bangsa. Itu kembali ditegaskan Juanda, sekretaris Dewan Maritim, dalam Kongres Pangan Indonesia pada 12—13 Januari 2003.
“Negara besar membutuhkan pemimpin bijaksana, jenderal yang cerdas, perwira andal. Bisa menyediakan makanan dan minuman bagi rakyatnya,” ujar Juanda. Kongres pangan pertama itu diselenggarakan oleh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia dan Institut Pertanian Bogor.
Kongres dihadiri praktisi pertanian, akademisi, dan pelaku agribisnis berlangsung di auditorium Departemen Pertanian di Jakarta. Pada hari pertama tampil sebagai pembicara ahli filsafat Mudji Sutrisno, ekonom Mubyarto, mantan Menteri Kehutanan Muslimin Nasution, dan pengamat keamanan Juanda. Hari berikutnya, dari 7 calon presiden yang diundang hanya Siswono Yudhohusodo yang hadir.
Perhatian politik
Penyelenggaraan kongres 2 bulan sebelum pemilihan umum, dinilai sebuah pilihan tepat. Menurut ketua Kongres, Dr Bayu Krisnamurthi, perhatian politik terhadap pertanian harus direbut. Sebab, keputusaan-keputusan penting diambil oleh DPR, DPRD, presiden, kabinet, bupati, dan walikota. “Pangan harus mendapatkan perhatian dari setiap komponen,” ujar Bayu.
Di negara yang mengklaim diri agraris, perhatian pengambil keptusan terhadap pertanian amat minim. Kondisi itu bertolak belakang dengan negara-negara Eropa yang notabene negara industri. “Di Eropa tak ada partai petani. Tetapi semua partai kalau tak mempunyai platform pertanian, tidak akan menang Pemilu. Di Indonesia setiap partai dan pemimpin harus mempunyai visi pertanian yang jelas,” ujar Bayu.
Sayang, ketertarikan politik terhadap bidang pertanian cuma retorika. Wajar bila peran penting pertanian kurang tercermin dalam pengambilan keputusan publik. Padahal, jumlah petani pemilih dalam setiap pemilu sangat besar. Saat ini setidaknya terdapat sekitar 39,75-juta jiwa petani yang akan menjadi pemilih dalam pemilu 2004. Bila melibatkan keluarga, jumlah itu semakin besar.
Rusak
Banyak masalah pangan dan pertanian yang sekaligus merupakan masalah bangsa. Sekitar 70% dari masalah itu berada di luar sektor pangan dan pertanian. Contohnya pajak, retribusi, dan kredit. Sedangkan 80% masalah, di luar usaha tani tingkat petani. Itulah perlunya masyarakat pertanian mempunyai wadah untuk memperjuangkan nasibnya. Peserta kongres sepakat membentuk Majelis Pangan Indonesia.
Lima belas tahun terakhir pertanian Indonesia memang mengalami kerusakan akibat diterapkannya sistem ekonomi liberal. Dampaknya, “Masalah pangan dewasa ini menjadi gawat. Kebijaksanaan pertanian tidak memihak petani produsen,” ujar Prof Dr Mubyarto, salah satu pembicara kongres.
Sejatinya Indonesia mempunyai potensi pangan amat besar. Ada 945 jenis tanaman sumber pangan asli Indonesia. Dari jumlah itu 77 jenis di antaranya sumber karbohidrat. Namun, potensi besar itu belum termanfaatkan. Praktisi perbenihan yang turut menghadiri kongres, Elda D Adiningrat menyebut Indonesia sebagai raksasa yang tengah tidur. Kecukupan pangan penduduknya masih diimpor.
Pasar besar
Menurut Siswono, tanpa langkah yang tepat ketergantungan pangan impor bakal meningkat. Saat ini Indonesia importir beras terbesar di planet Bumi (2-juta ton per tahun). Bahan pangan yang juga diimpor antara lain gandum 4,5-juta ton per tahun, jagung 1 juta ton, dan kedelai 0,8-juta ton. Padahal, komoditas itu dapat dikembangkan di Indonesia.
Pasar pangan Indonesia jelas amat besar. Sebab, “Jumlah penduduk yang besar, 213-juta jiwa pada 2003 dengan laju pertumbuhan 1,25% menuntut penyediaan pangan yang terus bertambah,” ujar Menteri Pertanian Prof Dr Bungaran Saragih. Celakanya, kekayaan sendiri tak pernah ditengok, sehingga Indonesia hanya dijadikan pasar empuk bagi negara produsen pangan lain. (Sardi Duryatmo)