TRUBUS — Beberapa hal yang harus diperhatikan agar berkebun porang mendapatkan hasil maksimal.
Riko Mahendra Devaputra mengandalkan pupuk kotoran kambing sebagai sumber hara porang sejak Januari 2021. “Pasar saat ini menghendaki porang tanpa residu pupuk dan pestisida kimia,” kata petani sekaligus pemasok porang di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur itu. Keperluan pupuk kandang mencapai 10 ton/ha seharga Rp20 juta per hektare (ha) per musim tanam. Harga itu sudah termasuk ongkos tenaga kerja.
Bandingkan dengan penanaman konvensional yang menggunakan pupuk NPK. Riko hanya merogoh kocek Rp5 juta per ha per musim tanam ketika memakai pupuk NPK. Jadi, biaya produksi terutama pupuk dan tenaga kerja membengkak saat menggunakan pupuk kandang. Oleh karena itu, Riko berharap ada perbedaan harga antara porang organik dan nonorganik dengan selisih harga Rp500—Rp1000 per kg.
Syarat tumbuh
Menurut peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Kacang dan Umbi (Balitkabi), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Dr. Ir. Yuliantoro Baliadi M.S., petani mesti memperhatikan empat hal yaitu, lingkungan, bahan tanam atau bibit yang baik, pemeliharaan, dan pemanenan. “Lingkungan meliputi kebun berketinggian tempat 0—1.200 meter di atas permukaan laut (m dpl). Yang ideal 400—600 m dpl,” kata alumnus Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, itu.
Tingkat pH tanah antara 5,5—7 dengan kelembapan lingkungan 60%. Menurut Baliadi, porang membutuhkan naungan. Penaung bisa tanaman tahunan seperti jati, sengon, jabon dengan tingkat naungan 40—60%. Habitat asli porang di hutan yang banyak naungan. Idealnya tanaman itu dibudidayakan dengan naungan. Curah hujan yang dibutuhkan 2.500 mm dalam satu siklus vegetatif porang atau sekitar 6 bulan.
Bahan tanam yang unggul meliputi pemilihan bibit yang baik. Baliadi menyarankan petani menggunakan benih katak karena melewati beberapa siklus hingga panen. Tujuannya pembelajaran tentang porang terutama bagi petani pemula. Jika ingin cepat panen bibit yang dipakai bisa dari umbi, tetapi biayanya lebih mahal. Pemeliharaan porang relatif sama dengan umbi-umbi lainnya.
Namun, yang perlu diperhatikan pengairan tak boleh berlebihan dan kekurangan. Air tidak boleh menggenang karena menyebabkan busuk pada umbi. Lahan juga tidak boleh kekeringan. Kalau kering sampai 3—4 hari, batang tanaman terkulai. Baliadi menuturkan bahwa yang harus pertama kali diperhatikan saat hendak membudidayakan porang adalah manajemen kawasan. “Harus segera dibentuk asosiasi petani porang di wilayah itu sebagai mediator untuk nota kesepahaman dengan pabrik,” kata Baliadi.
Harap mafhum, pasar porang saat ini hanya untuk dikirim ke pabrik. Tidak seperti umbi-umbi lainnya yang dijual ke pasar tradisional atau pasar swalayan. Sejauh ini porang baru bisa dikirim ke pabrik. Hindari menanam tanaman anggota famili Araceae itu sebelum mengetahui pasarnya. Pembentukan asosiasi memudahkan untuk membuka pasar. Baliadi berharap, ada teknologi yang bisa memisahkan kalsium oksalat dari umbi porang.
Waspada
“Itu salah satu kendala kenapa porang tidak bisa dipasarkan secara konvensional karena tidak bisa langsung dikonsumsi seperti umbi lain seperti singkong dan ubi jalar. Butuh pengolahan untuk menghilangkan kalsium oksalatnya sehingga tidak membahayakan kesehatan,” kata Baliadi. Berbisnis porang tak semudah membalikkan telapak tangan. Pengalaman pahit Riko terjadi ketika menjadi pemasok umbi Amorphophallus muelleri pada Juli 2021.
Ada petani yang menambahkan 2 genggam tanah dalam karung porang. Kejadian itu membuat Riko membeli dengan harga yang tak sesuai dengan bobot porang sesungguhnya. Hal itu menjadi masalah lebih besar ketika tanaman kaya gizi itu disetorkan ke pabrik. “Kadang saya beli dari petani saya potong sekitar 30 kg setiap ton. Saat di pabrik saya kena potongan 50 kg per ton. Jadi, saya rugi 20—an kg per ton,” kata lelaki kelahiran Maret 1987 itu. Tip dari Riko, bagi para pemasok baru hendaknya tetap waspada dengan meraba terlebih dahulu bagian bawah karung.
Jika ditekan terasa empuk dan ditengarai ada tanah, maka sebaiknya dibongkar dan dikeluarkan tanahnya. Intinya kita tetap harus hati-hati ketika membeli porang dari petani. Ketika memilih pabrik juga mesti selektif. pilih pabrik yang mau membeli porang secara tunai. “Kalau kita menjadi pemasok porang, nilai transaksi mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, tetapi untungnya hanya sedikit. Maka kalau pembayarannya tidak tunai, kita kesulitan untuk memutar modal,” kata lelaki yang juga beternak kambing itu. (Bondan Setyawan)