Gila lebih ditujukan untuk dirinya, orang awam yang terjun di kenari. Nama itu ternyata bertuah pada Ahad 31 Juli 2005. Roda Gila benar benar berkicau nyaring, menggelinding meninggalkan lawan-lawannya. Dua gelar direbut dalam sehari. Benarbenar gila!
Kontes Piala Budiono yang berlangsung di Ndalem Suryowijayan, Yogyakarta, menjadi saksi kehebatan Roda Gila. Kenari jantan itu turun berturut-turut di 2 kelas: reguler dan best of the best. Kontes reguler yang rutin diselenggarakan setiap bulan diikuti kenari-kenari yang belum pernah masuk nominasi 10 besar.
Setiap 8 sangkar digantung di langitlangit pendopo setinggi 3,5 m. Total jenderal ada 88 peserta sehingga masingmasing juri menilai 11 kali selama 10 menit. Penonton dilarang bersuara, diam sembari menikmati merdunya suara peserta.
Di babak penyisihan Roller milik Dwi , hobiis di Yogyakarta, menjadi yang terbaik. Posisi kedua diraih oleh Sadron milik Ardi. Roda Gila tampaknya menerapkan strategi jitu. Kenari berumur 14 bulan itu tak terlalu ngotot sehingga hanya duduk di peringkat ke- 3. Toh dengan prestasi itu Roda Gila mengantongi tiket ke babak fi nal yang diikuti oleh 10 peserta terbaik. “Roda Gila memang punya karakter jelek, malas di awal-awal lomba,” ungkap Romi Dhanova membuka rahasia.
Roda Gila membuktikan merdunya suara di babak fi nal. Ia amat gacor mempe rdengarkan suara dengan volume dan variasi lagu yang menawan. Juri pun mengganjar dengan nilai 39,58 dan menjadi kampiun di kontes reguler. Ia menyingkirkan 2 rival terberatnya, Lesus (38,33) dan Buto Ijo (37,65). Yang dinilai oleh ke-4 juri adalah volume, variasi lagu, panjang-pendek suara, kerajinan, penampilan, dan gaya. Lesus sebenarnya berpotensi menjadi jawara, sayang gaya dan penampilannya kalah. “Beberapa kali Lesus menabrakkan diri ke dinding sangkar. Artinya dia tidak stabil di tangkringan. Karena itulah poin di gaya dan penampilan kurang,” ujar Argo Pambudi, juri lomba.
Sedangkan Roda Gila meraih nilai tertinggi di variasi lagu, mencapai 8,10. Buto Ijo lain lagi. “Di awal-awal dia memang rajin bersuara, tapi lama-kelamaan malas,” ujar Dr Edi Boedi Santoso, ketua juri. Kemenangan Roda Gila dan Lesus sudah diduga mayoritas penonton. Gading yang diunggulkan Radiono malah melempem di babak puncak. Kenari itu seperti kehabisan tenaga pada akhir pertandingan. Padahal, di babak penyisihan ia bertengger di urutan ke-4; fi nal, posisi ke-8.
Persaingan ketat
Kesepuluh peserta fi nal akhirnya bertarung lagi di kontes best of the best yang dilangsungkan setiap semester. Kontes best of the best ke- 2—yang pertama pada Desember 2004 pun berjalan meriah. Apalagi peserta adalah 10 terbaik dari kontes reguler bulanan sejak Januari 2005. Sayang karena berbagai sebab, hanya 25 peserta yang berlaga. Toh hal itu tidak mengurangi kerasnya persaingan. Dengan serius 4 juri yang terdiri dari Edi Boedi, Kian Shing, Gunawan, dan Agus Yuniarto tekun mencermati kicauan setiap peserta.
Sejak babak penyisihan Roda Gila langsung menunjukkan dominasi. Mengantongi total nilai 39,58 ia bertengger sebagai nominator pertama di babak fi nal. Di belakangnya menyusul Paris dan Lesus. Gundala, satu satu kenari hasil silangan antar holland yang sukses di kontes reguler, menyodok di tempat ke-4.
Pukul 14.30 babak fi nal best of the best Piala Budiono Cup digelar. Sepuluh jawara terbaik berlaga. Sahut menyahut kicauan burung langsung terdengar sehingga penonton terkesiap menikmati kemerduannya. Pertarungan ketat terjadi di gantangan nomor 1 dan 2 yang masing-masing ditempati Roda Gila dan Paris. Namun sekali lagi, Roda Gila membuktikan kegilaannya. Ia menjadi kampiun babak best of the best setelah pagi harinya menjadi jawara babak reguler.
“Staminanya bagus, bertanding sejak pagi tapi kualitas suaranya tidak berubah banyak, walaupun sedikit menurun dari kontes pertama,” ujar Gunawan, salah seorang juri. “Roda Gila unggul di variasi lagu dan volume. Sebaliknya Paris punya kelebihan di gaya dan panjang lagu,” imbuh Kian Shing, juri lainnya.
Romi Dhanovan setengah tak percaya. Sebab, sebulan sebelumnya klangenan miliknya itu gagal masuk 10 besar kontes reguler. “Ternyata cocok dengan namanya, Roda, kadang-kadang menang, kadang-kadang kalah,” ujarnya sambil tertawa.
Pria asli Yogyakarta itu memang intens merawat koleksinya. Setiap hari selama 2 jam, Roda Gila dijemur. Agar irama dan lagu kicauan tetap orisinal, ia selalu menggantung sangkar burung ciblek di samping Roda Gila. Ciblek digunakan sebagai pemaster lantaran kenari terkenal sangat plin-plan, mudah menirukan suara-suara di sekitarnya. “Kalau tidak ada ciblek di sampingnya, suara Roda Gila lama-lama bisa seperti kenari biasa,” ujar hobiis itu. (Laksita Wijayanti)