“Sehat semua, Ibu bisa cek sendiri, ” ucap salah satu pegawai di farm-nya. Tiga jam kemudian, Rini Soerojo Soemarno tiba di lokasi farm di Ciomas, Bogor, Jawa Barat. Ia kaget ketika melihat pemandangan aneh. Dalam tempo 2 jam saja minimal 600 ayam petelur mendadak terkulai lemas, kejang-kejang, lalu mati.
Pagi itu, 19 januari 2004 Rini Soerojo Soemarno tampak gelisah. Rasa cemas terpancar di raut mukanya setelah melihat tayangan di sebuah televisi swasta tentang serangan flu burung. Ia sangat khawatir kalau avian influenza (AI)—sebutan flu burung—bakal menyergap ayamnya.
Kegelisahannya berkurang ketika ada kabar kondisi ayam masih sehat. Namun, rasa resah tetap belum reda sehingga ia memutuskan untuk mengunjungi kandang siang itu juga. Dengan ditemani Nunik Budia Lenggana—putri sulungnya segera berangkat ke farm. Benar dugaannya, begitu tiba di lokasi, salah satu karyawannya langsung menyambut. “Banyak ayam yang mati mendadak, Bu. Pagi masih segar bugar malah ada yang bertelur,” kata Rini menirukan ucapan pegawainya.
Aneka ragam cara ia upayakan untuk mengendalikan serangan penyakit aneh itu. Sanitasi, vaksinasi, dan pengobatan pun dilakukan, toh belum bisa menyelamatkan ayam. Hingga akhir Januari 2004 sebanyak 40.000 ekor mati, tanpa ada yang tersisa. Kerugian ratusan juta rupiah pun harus diterima. Itu belum termasuk gaji 30 karyawan yang harus pulang kampung dan ongkos pakan yang mesti segera dibayar.
Usaha yang dirintis mantan direktur Hortikultura Departemen Pertanian sejak 30 tahun silam itu langsung bangkrut diterjang Othomyxovirus. Deretan ratusan kandang baterai tampak kosong melompong. Tak ada ayam “berteriak” minta jatah pakan. Derap langkah karyawan pun tidak lagi terdengar. Semuanya sunyi senyap.
Gulung tikar
Musibah serupa melanda ribuan peternak lain. Menurut kasubdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan Departemen Pertanian, Drh Agus Heriyanto, MPhil, flu burung menyerang ayam di 10 provinsi. “Penyakit flu burung diketahui positif telah menyerang Jawa, Bali, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur,” ungkapnya.
Di Bali, penyakit yang semula diyakini ND (newcastle disease) itu, diketahui pertama kali menyerang ayam petelur di Banjar Utu pada November 2003. “Saat itu ada laporan dari anggota kelompok, 200 ekor dalam satu kandang tiba-tiba mati tanpa sebab,” ungkap Drh I Made Aryawan, sekretaris kelompok peternak ayam petelur Sidi Karya, Banjar Utu itu.
Hari-hari berikutnya, beberapa peternak kembali melaporkan banyak ayam mati. Dalam waktu sebulan saja, lebih dari 100.000 ekor yang dimiliki 35 orang mati tiba-tiba. Gejalanya memang tidak tampak jelas. Ayam yang hari ini kelihatan sehat tahu-tahu besoknya mati. Bahkan, ada laporan ayam sedang makan atau baru saja bertelur mendadak mati.
Menurut Aryawan, akibat penyakit virus ganas itu sebanyak 300.000 ayam petelur mati. Kerugian yang dialami memang besar karena ayam yang mati umumnya masih produktif. “Kalau dihitung kerugiannya sekitar Rp4-miliar,” ucapnya.
Hal senada diungkapkan I Wayan Suana, ketua kelompok Utama Karya di Banjar Bolangan, Desa Babahan, Penebel. Dari populasi 500.000 ayam yang dipelihara 104 anggota kelompoknya, 50%-nya mati. Ia merugi Rp500-juta dari 150.000 ayam mati. Itu belum termasuk kredit Rp800-juta di bank untuk modal usaha dan Rp6-juta gaji 10 tenaga kerja. “Saya bingung mengatasi musibah ini. Karyawan terpaksa diberhentikan. Untuk membayar kredit, terpaksa menjual tanah,” keluh Suana, yang memiliki 7 unit kandang.
Sudah menyebar
Berdasarkan data Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan, Bali, sampai awal Februari 2004, penyakit itu mewabah di 5 desa, seperti Babahan, Senganan, Penebel, dan Jatiluwih di Kecamatan Penebel, serta Desa Blungbang di Kecamatan Kerambitan. Di sana populasi ayam petelur tercatat sekitar 2-juta ekor. “Total kerugian ditaksir Rp5,4 -miliar,” kata kepala Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan , Ir I Gusti Putu Suandi.
Selain di Kabupaten Tabanan, virus flu burung juga menyerang kabupaten lain di Bali. Menurut I Wayan Sukra, pemilik peternakan UD Sukra di Desa Bugbug, sejak Oktober 2003 sejumlah 30.000 ekor ludes. Akibatnya, ia rugi lebih dari Rp400-juta dan terpaksa memberhentikan 30 karyawan. Hal sama juga dialami peternak lain di Desa Bugbug yang menderita kerugian puluhan juta rupiah. Pun usahanya terpaksa ditutup. (Nyuwan SB/Agus Rochdianto, koresponden di Bali)
Kisah Panjang Pembawa Bencana
Rasa mencekam dan khawatir melanda masyarakat di dunia, termasuk Indonesia akibat serangan flu burung. Tak hanya pada unggas, mereka khawatir Orthomyxovirus itu menular pada manusia. Inilah kisah panjang avian influenza menerpa unggas.
1918 1919
- World Health Organization (WHO) mencatat, keganasan flu burung pertama kali merenggut korban 50-juta orang di seluruh dunia. Wabah serupa muncul pada 1957—1958 dan 1968—1969.
1997
- Seorang bocah meninggal karena flu burung di Hongkong. Empat bulan kemudian 5 orang menyusul tewas akibat serangan penyakit ini. Sepuluh orang lain masih terinfeksi.
2003
- Korea Selatan menyatakan adanya kasus flu burung di salah satu peternakan di Yangsan, 350 km dari ibukota Seoul.
- Bersamaan itu pemerintah Kamboja melarang impor ayam, itik, dan telur dari Vietnam. Korban akibat flu burung bertambah menjadi 6 orang di Vietnam dan 1 orang di Thailand. Korban terakhir pria berusia 13 tahun meninggal di rumah sakit penyakit tropis di kota Ho Chi Minh, Vietnam. WHO melaporkan ada bocah perempuan berusia 8 tahun positif mengidap penyakit itu. Korban meninggal menjadi 12 orang di Thailand dan Vietnam.
- Di Indonesia, penyakit mematikan itu muncul pertama kali di beberapa peternakan ayam di Jawa Tengah. Tercatat 4,7-juta ayam mati dilaporkan ke Departemen Pertanian pada Agustus 2003. Penyebab kematian newcastle desease alias tetelo jenis vilogenik viscetrotopic.
- Otoritas Agrifood and Veterinary Authority (AVA) Singapura melarang impor burung dan unggas dari Indonesia pada Oktober 2003.
- Bulan-bulan berikutnya wabah itu mulai menyebar ke beberapa peternakan di Jawa Barat danLampung.
2004
- Penyakit flu burung kian merebak ke berbagai daerah. Sebanyak 10 provinsi melaporkan adanya serangan penyakit mematikan ini.
- Setelah melalui serangkaian uji laboratorium, DepartemenPertanian mengumumkan secara resmi adanya wabah flu burung jenis H5N1 pada akhir Januari 2004.
- Akibat serangan penyakit ini kerugian peternak ditaksir hingga ratusan miliar rupiah. Penyakit itu pun menyerang itik dan puyuh. Namun, hingga kini belum ada laporan kematian pada manusia akibat serangan penyakit itu. (Nyuwan SB)