Friday, January 17, 2025

Rupiah dari Rendang Daun

Rekomendasi
- Advertisement -

Dahulu bekal dari ibu untuk hidup di rantau, kini jadi sumber pendapatan. Itu arti rendang pucuk ubi buat Mya Amelia Harma.

Mya Amelia Harma mengolah daun singkong menjadi rendang bercitarasa khas dan siap santap.

Trubus — Rendang buatan Mya Amelia Harma itu berwarna kehitaman dan bertekstur kering. Makanan lezat itu bukan terbuat dari daging sapi, melainkan pucuk daun singkong. Meskipun terbuat dari daun singkong, citarasa rendang itu tetap istimewa, yakni khas rendang dari tanah Minang. Mya menuturkan, rendang daun singkong merupakan lauk khas Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.

Warga Sijunjung mengenal rendang daun singkong itu dengan sebutan rendang cukbi (pucuk ubi). Mya lantas mendaulat nama itu sebagai merek dagang. Perempuan 25 tahun itu memproduksi 300 kemasan rendang cukbi setiap bulan. Setiap kemasan berisi 125 gram rendang cukbi. Mya menjual makanan olahannya itu tergantung varian rasa. Ia menjual cukbi rasa orisinal Rp23.000 per kemasan, rasa pedas Rp24.000, dan petai Rp25.000. Mya meraup pendapatan rata-rata Rp7-juta sebulan.

Berkualitas

Bahan baku rendang berasal dari daun singkong jurai.

Mya membuat cukbi dengan bahan baku pilihan dan resep asli. “Semua proses produksi mulai dari pemilihan bahan baku hingga pengemasan dilakukan di Sijunjung,” ujarnya. Perempuan pehobi memasak itu menjaga betul kualitas dan citarasa rendang cukbi. Oleh karena itu, ia sangat hati-hati dalam memilih mutu bahan baku dan bumbu yang digunakan. Misalnya pemilihan daun singkong dan kelapa sebagai bahan utama.

Mya menggunakan daun singkong dan kelapa khusus. Sarjana Agribisnis alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menuturkan, daun singkong paling baik untuk bahan baku utama berasal dari pucuk yang masih segar dan lunak. Jenis daun singkong yang dipakai pun tidak boleh sembarangan. Mya memilih daun singkong yang memiliki helai daun panjang. “Warga Sijunjung menyebutnya daun singkong jurai,” kata Mya.

Proses produksi rendang cukbi menggunakan kayu bakar untuk mendapatkan cita rasa khas.

Adapun untuk bahan santan ia menggunakan kelapa yang benar-benar tua agar menghasilkan banyak minyak. Mya mencampur semua bahan dengan aneka jenis rempah, seperti cabai, lengkuas, serai, bawang merah, dan bawang putih. Yang menarik, Mya menggunakan kayu bakar selama proses memasak. Oleh karena itu, rendang cukbi buatan Mya terasa lebih nikmat.

Ia menuturkan banyak kendala saat memulai produksi cukbi seperti mendapatkan rasa yang pas. Pada awal usaha rasa cukbi yang ia produksi terlalu pedas. “Saya harus menyesuaikan tingkat kepedasan berdasarkan selera konsumen,” katanya. Cukbi paling nikmat disantap bersama nasi hangat. Bisa juga dimakan langsung sebagai camilan. Mya sengaja mengolah cukbi menjadi 3 varian rasa yakni orisinal, pedas, dan petai.

Rasa orisinal cocok bagi konsumen yang tidak menyukai pedas maupun petai. Sementara rasa pedas paling pas untuk konsumen yang menyukai pedas, tetapi tidak menyukai petai. Adapun rasa petai cocok bagi penyuka pedas dan petai. Rendang cukbi buatan Mya bisa tahan hingga 3 bulan. Untuk memperoleh rendang bercitarasa jempolan, Mya dibantu dua orang karyawan yang terampil memasak rendang.

Awal usaha

Mya Amelia Harma mengemas rendang cukbi dengan desain menarik.

Proses memasak rendang perlu waktu lama hingga 10 jam berwarna kehitaman dan kering. Rendang yang dimasak dalam waktu singkat, hanya 4 jam dan masih bersantan disebut kalio. Biasanya kalio berwarna cokelat terang. Mya awalnya tidak berniat berniaga rendang cukbi. Perjalanan bisnis perempuan berdarah Minang itu bermula saat menempuh pendidikan diploma Ekowisata di Institut Pertanian Bogor. Mya yang menghabiskan masa remaja di Sijunjung itu harus menjalani hidup baru di perantauan.

Layaknya anak rantau ia kerap rindu menyantap masakan rumah. Oleh karena itu, sang ibu kerap mengirim rendang daun singkong ke Kota Bogor, Jawa Barat. “Sekali kirim bisa 1 kg cukbi,” kata Mya. Ia lantas menyantap rendang itu bersama dengan teman-teman satu kos. Rupanya kelezatan rendang daun singkong membuat teman kos Mya ketagihan. Beberapa teman bahkan berpendapat rendang daun singkong lebih enak daripada daging sapi.

Mya sangat bangga dengan pujian itu. Pada 2013, Mya melanjutkan studi program sarjana di Departemen Agribisnis IPB. Selama menjalani pendidikan itu Mya mendapat mata kuliah perencanaan agribisnis. Setiap mahasiswa ditantang untuk memaparkan ide bisnisnya. “Saya lantas teringat pada rendang daun singkong dan membuatnya sebagai ide bisnis,” kata Mya. Tak disangka ide sederhana itu memperoleh sambutan hangat dari teman kuliahnya.

Rempah-rempah alami sebagai bumbu rendang.

Ia kemudian membawa rendang cukbi ke kampus untuk dicicipi teman-temannya. “Sejak itu saya semakin yakin bahwa rendang daun singkong layak dikembangkan menjadi bisnis yang serius,” katanya. Pada 2015 Mya mendapat tugas kelompok dalam mata kuliah praktek kewirausahaan. Mya memanfaatkan praktik bisnis selama 6 bulan itu untuk mengasah insting bisnisnya. Ia mulai belajar resep cukbi dari sang ibu serta rutin berkonsultasi bisnis dengan dosen.

Jerih payah Mya dan teman-temannya akhirnya membuahkan hasil. Mereka terpilih sebagai kelompok dengan produk bisnis terbaik dan berhak memperoleh hadiah sebesar Rp500.000. Namun, setelah mata kuliah kewirausahan selesai Mya dan teman-teman berhenti memproduksi. Seorang dosen menyayangkan keputusan itu dan menyarankan Mya untuk melanjutkan bisnis cukbi. Akhirnya dengan modal Rp500.000, ia membeli wajan dan timbangan.

Mya memulai bisnis kecil-kecilan itu di rumah kos. Ia melakukan promosi dari mulut ke mulut dan mengikuti bazar untuk menggaet konsumen. Sejak itu permintaan cukbi berdatangan. Mya memproduksi 1 kg cukbi setiap pekan dan menjualnya Rp20.000 per 100 gram dan Rp10.000 per 50 gram. Namun, lagi-lagi proses produksi itu harus berhenti. “Pemilik kos enggan rumahnya menjadi tempat produksi cukbi,” kata Mya. Meski sempat kecewa dengan perlakuan itu ia tak patah semangat.

Bangkit

Proses pengemasan rendang cukbi.

Pada akhir 2015, Mya memperoleh angin segar. Seorang kerabat menawarkan rumahnya untuk menjadi tempat produksi cukbi di Kota Bogor. Semangat Mya kembali menggelora. Ia lalu bergegas mendaftarkan produknya ke Dinas Kesehatan Kota Bogor untuk memperoleh sertifikat PIRT (Perizinan Industri Rumah Tangga) dan mengikuti pelatihan bisnis. Mya membeli bahan segar di pasar tradisional di seputaran Kota Bogor. Dalam sebulan ia memproduksi 100 kemasan, masing-masing berbobot 100 gram dan 50 gram.

Mya mematok harga Rp23.000 untuk ukuran 100 gram dan Rp13.000 untuk ukuran 50 gram. Ia mendesain kemasan sedemikian rupa sehingga produk besutannya itu berpenampilan menarik dan elegan. Pada Juli 2016, Mya mengajukan proposal bisnis dalam program Pedoman Penumbuhan Wirausahawan Muda Pertanian (PWMP). Mya berhasil masuk dalam 10 besar dan memperoleh hadiah sebesar Rp35-juta. Memasuki 2017, produksi cukbi lambat laun makin bertumbuh. Mya memproduksi hingga 300 kemasan setiap bulan. Bobot setiap kemasan sekitar 125 gram. Mya memasarkan produk besutannya lewat media online, media sosial, dan bazar.

Mya Amelia Harma (tengah) merintis bisnis rendang
daun singkong atau cukbi.

Berkat tangan dingin Mya pamor rendang daun singkong menanjak. “Dahulu masyarakat menganggap remeh rendang daun singkong karena dianggap kurang berkelas,” kata Mya. Kini warga Sijunjung menyadari nilai ekonomi olahan daun singkong itu. Sejumlah rumah makan pun mulai ramai menyajikan rendang pucuk daun singkong. Bahkan beberapa hajatan pernikahan kerap menghidangkan lauk khas Sijunjung itu. Soal rasa tak perlu diragukan. “Rasanya persis rendang daging sapi,” tegasnya. (Andari Titisari)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

BPS Ungkap Data Perdagangan Durian Indonesia Sepanjang 2024

Trubus.id–Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menyampaikan data terkait ekspor dan impor durian Indonesia pada ...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img