Harapan itu menyeruak ketika kakaknya memberikan ramuan mahkota dewa, temu putih, temu lawak, dan daun salam. Tujuh bulan bergelut dengan penyakit maut, Hari kini tetap mentraining bonsai.
Semula hanya batuk yang tak kunjung sembuh disertai dada seperti tertekan. Itulah yang dirasakan Hari Sugiharto tepat di hari ulang tahun ke-49 pada 4 Januari 2003. Dokter di Malang yang memeriksa, menyatakan Hari menderita batuk karena kebanyakan mengisap rokok. Meski batuk belum reda, ayah 4 anak tetap bolak-balik Malang-Jakarta.
Pekerjaannya sebagai trainer bonsai—membentuk bakalan hingga menjadi bonsai—mengharuskan ia menyambangi 2 kota itu untuk mengunjungi klien. Sebulan berselang sakitnya seperti tak berkesudahan. Dadanya makin nyeri. “Seperti ada yang mengganjal,” ujar kelahiran Malang 50 tahun silam itu. Bobot tubuhnya melorot menjadi 40 kg dari sebelumnya 57 kg. Dengan tinggi 165 Hary tampak kurus kering.
Pasrah
Kondisi itu mendorong anak ke-9 dari 10 bersaudara segera merontgen thoraks seperti saran dokter. Hasilnya diserahkan kepada dr Sandi Agung, ahli paru-paru di Kasin, Malang. Lantaran hasil rontgen kurang jelas, Sandi yang melihat ada fl ek-fl ek mendiagnosis Hari mengidap tumor paruparu. Pada 7 Maret 2003 Hari diopname selama 10 hari di Rumah Sakit Panti Nirmala, Malang. Indra penglihatannya tak berfungsi normal. Pandangannya remang-remang.
Setelah rontgen ulang barulah diketahui ayah 4 anak itu mengidap kanker paru. Ia pasrah melewati hari-hari yang meletihkan itu. Di luar kamar tempat Hari menginap, dr Sandi menemui Sri Winarti. “Ibu, suami Anda mengidap kanker paru-paru yang tak ada obatnya. Dioperasi pun sudah tak bisa. Ada sebuah obat harganya mencapai Rp3- juta. Itu pun hanya mampu menghambat pertumbuhan sel, bukan mengobati. Tolong jangan kasih tahu suami Anda,’’ katanya seperti diulangi Sri.
Perempuan mana yang tak terpukul mendengar orang terkasihnya bakal terenggut maut? Sang suami telah tiba di senja kala kehidupan? Ulu hatinya bagai dihantam godam. Terasa menyesakkan. Semua sanak kerabat dikumpulkan di rumah sakit. Sedu sedan Sri berkepanjangan meratapi nasib. Di tengah berbagai perasaan yang berkecamuk ia hanya bisa pasrah. Kebiasaan suaminya merokok kembali terlintas di benak perempuan kelahiran Malang 14 Juli 1959 itu.
36 batang sehari
Setiap hari minimal 3 bungkus rokok dihabiskan Hari. Di sela-sela membentuk bonsai, kepulan asap rokok sambungmenyambung keluar dari mulutnya. Kebiasaan itu ia jalani sejak masih belia, duduk di bangku Sekolah Dasar. Lebih dari 30 tahun ia mengisap rokok. Kini kenikmatan semu yang diperoleh dari sebatang rokok mengantarkannya pada kanker paru-paru mematikan. Andai waktu bisa diputar ulang, ingin saya lebih keras menghentikan kebiasaan itu, batin istrinya.
Penelitian di berbagaai negara—termasuk Indonesia—menunjukkan, 80% kanker paru-paru akibat kebiasaan merokok atau mengisap asap rokok. Dari sebatang rokok terdapat 4.000 racun mematikan. Yang bersifat karsinogen antara lain vinyl khlorida yang lazim sebagai bahan pembuatan pipa PVC dan kadmium (bahan accu), benzopyrene (sebagai pengawet).
Dalam kehidupan sehari-hari yang disebut kanker paru adalah tumor ganas primer dari sel dinding epitel bronkus alias saluran napas. Oleh karena itu i a j u g a d i s e b u t karsinoma bronkus (lihat Infografis: Hanya Rambut dan Kuku yang Terbebas, halaman 22—23).
Dalam suasana haru biru, kakak Hari menyarankan untuk memberikan ramuan benalu teh. Sekitar 1 ons benalu teh dimasukkan ke dalam kelapa muda hijau yang telah dibuka ujungnya. Kelapa itu lalu dipanaskan di atas pasir yang diletakkan di atas lempengan seng. Di bawahnya bara arang terus menyala hingga air kelapa mendidih. Segelas air tersisa diminum 3 kali. Meski sepekan mengkonsumsi ramuan alami itu, belum ada perubahan yang berarti.
Kakaknya pun mengganti racikan. Segenggam mahkota dewa, satu jari rimpang temu putih dan temu lawak, serta 3 daun salam dimasukkan ke dalam 2 gelas air. Resep itu dimasak hingga mendidih dan tinggal segelas. Rebusan warisan leluhur diminum 3 kali pada pagi, siang, dan sore masing-masing segelas. Sri Winarti selalu membuat racikan baru 1 jam sebelum diminum. Konsumsi ramuan tradisional dilakukan 2 jam setelah minum obat dokter. Supaya cita rasa lebih enak ia menambahkan gula batu secukupnya.
Mahkota dewa
Sebulan kemudian Hari erasakan sakit semakin berkurang. Bobot tubuh naik 1 kg pada April 2003. Dokter heran dengan perubahan itu. ’’Jaga terus berat badan. Jangan sampai turun. Itu tanda kesehatan Anda membaik,’’ kata dr Sandi Agung pada kontrol kedua. Kepercayaan pada mahkota dewa semakin kuat. Phaleria macrocarpa itu menjadi buah bibir di asar Gadang. Sri yang belanja kebutuhan sehari-hari di sana kerap kali mendengar pembicaraan tentang keampuhan buah dewa itu.
Sejak itu Sri hanya memberikan ramuan mahkota dewa untuk sang suami. Malahan sulung 7 bersaudara itu menghentikan check up yang biasa dilakukan setiap bulan. Bobot tubuh alumnus STM Ukir Jepara itu terus meningkat. Agustus 2003 Hari sudah mulai aktivitas mentraining bonsai di Jakarta. Kini ia berbobot 51 kg indikasi kesehatan membaik.
Pria 50 tahun itu tampaknya masih trauma dirontgen. Itulah sebabnya ia enggan melakukannya untuk memastikan kondisi paru-paru. Jika ia kini beraktivitas seperti semula bukankah anugerah luar biasa? Untuk menjaganya, segelas ramuan mahkota dewa, rutin diminum setiap hari. (Sardi Duryatmo/Peliput: Destika Cahyana)