Tujuh spesies sidat terserak di 15 provinsi di tanahair. Sebagian melimpah, sebagian terbatas, sisanya langka.
Musim hujan saatnya para sidat belia sebening kaca yang sohor dengan sebutan glass eel bermigrasi. Ketika itulah anakan yang baru menetas di samudera berbondong-bondong memasuki sungai yang menjadi firdaus bagi sidat-sidat liliput itu. Semakin panjang garis pantai, semakin banyak muara sungai, semakin beragam pilihan destinasi.
Iklim tropis dengan suhu harian 25—320C, matahari bersinar sepanjang tahun, dan minus salju sangat kondusif untuk perkembangan sidat di alam. Apalagi kondisi geografis Indonesia dengan 13.000 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km menjadi surga bagi sidat. Itu sebabnya keragaman spesies sidat di tanahair terbilang tinggi.
Identifikasi Dr Melta Rini Fahmi SPi MSi dari Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BP2BIH), Depok, Jawa Barat, menemukan 7 dari 16 spesies sidat dunia hidup di perairan Indonesia.“Itu artinya dua per tiga sidat tropis dunia ada di sini,” kata Melta. Bandingkan dengan negara-negara Eropa yang hanya memiliki 1 spesies sidat Anguilla anguilla, Amerika (A. rostrata), atau Jepang (A. japonica).
Di Indonesia sidat tersebar dari Aceh hingga kepala burung Papua Barat. Bahkan di beberapa muara sungai, Melta Rini mengidentifikasi 3—4 spesies. Contohnya di Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, hidup 4 spesies sidat. Jenis dengan penyebaran terluas adalah Anguilla marmorata, ada di Banda Aceh sampai Kaimana, Papua Barat. Di Indonesia Barat, A. bicolor bicolor ada di Banda Aceh sampai Mentawai.
Sementara di timur laut—Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara—jenis A. bicolor pacifica tersebar di 6 kabupaten atau kota. Spesies A. interioris tergolong agak penyendiri, hanya ada di Mentawai, Poso, dan Kaimana. Ada lagi spesies “jago kandang” A.borneensis dan A. celebensis, yang masing-masing hanya ada di Kalimantan dan Sulawesi. Namun, ada juga spesies A. nebulosa nebulosa yang tersebar di Bengkulu, Jawa Barat, dan Lombok Timur.
Kesamaan ketiga tempat itu adalah menghadap ke Samudera Hindia. Secara kasat mata, bentuk-bentuk sidat itu amat serupa sehingga identifikasi tidak sekadar mengandalkan mata telanjang. Periset kelahiran Batusangkar, Sumatera Barat, itu pun mengandalkan peranti semi multipleks reaksi polimerase berantai (SM-PCR) untuk identifikasi. Berdasarkan hasil identifikasi itu, Melta menganjurkan pembatasan penangkapan sidat di Mentawai, Poso, dan sepanjang daerah aliran sungai Mahakam.
“Daerah-daerah itu menjadi tempat bertelur dan pembesaran berbagai spesies sidat baik endemik maupun nonendemik,” kata periset berusia 38 tahun itu. Dengan pembatasan tangkap, sidat punya waktu untuk tumbuh dan berkembangbiak sehingga pembudidaya tidak perlu khawatir kehabisan bibit pada masa mendatang. (Argohartono Arie Raharjo)