Friday, January 17, 2025

Serapan Pasar Anthurium

Rekomendasi
- Advertisement -
Anthurium jenmanii berkarakter atau variegata memicu tren anthurium. (Dok. Trubus)

Bisnis anthurium terus tumbuh. Pasar menyerap jenis berkelas dan berkarakter, serta jenis hijauan.

Pehobi anthurium di Sukoharjo, Jawa Tengah, H. Lanjar. (Dok. Trubus)

Trubus — Lanjar menukarkan sebuah rumah di Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah, dengan Anthurium jenmanii berkelas. Nilai rumah itu Rp400 juta. Ia memperoleh 60 pot jenmanii eksklusif. Beberapa di antaranya indukan siap bertongkol. Tidak sampai sepekan setelah transaksi itu pembeli berdatangan ke tempatnya di Polokarto, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. “Dalam seminggu ada saja yang belanja senilai Rp10 juta—Rp15 juta,” kata pria 41 tahun, itu.

Perniagaan jenmanii menjadi penolong Lanjar ketika bisnis utamanya sebagai kontraktor nyaris mandek pada saat pandemi korona. Karantina dan pembatasan sosial menjadikan pendapatan merosot. Pemasaran rumah menurun drastis, penjualan di toko bahan bangunan miliknya merosot 87%. Begitu juga bisnis lainnya, yakni perjalanan religi. Padahal, Lanjar sudah membayar uang muka tiket pesawat, makanan, dan hotel di negara tujuan. Total uang yang terhenti di bisnis rohani itu Rp2,8 miliar. Itulah sebabnya bisnis anthurium membantu perekonomian Lanjar.

Anthurium bermutu

Kabar transaksi rumah barter anthurium itu keruan saja membuat heboh. Transaksi serupa segera menyusul. Kontraktor perumahan, pemilik restoran, dan pehobi tanaman hias di Kemuning, Kabupaten Karanganyar, Mohammad Syaiful Anam menyambangi Lanjar. Ia membeli 40 pot koleksi Lanjar dan membayar dengan kavling perumahan senilai Rp250 juta di Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar.

Barter rumah dengan anthurium, bisnis Syaiful Anam kembali lancar. (Dok. Trubus)

Syaiful wajah baru di dunia jenmanii sehingga tidak kesulitan menjual. Tiga hari pascatransaksi dengan Lanjar, Syaiful menjual beberapa pot anthurium. Ia menawarkan lewat media sosial. “Jual rumah berbulan-bulan tidak laku, begitu jual tanaman tidak sampai seminggu laku,” kata pengurus Nahdlatul Ulama Karanganyar itu. Pada Juli 2020, rumah tanam berukuran 3 m x 5 m di pekarangan samping rumahnya berisi jenmanii berbagai ukuran.

Kendaraan roda empat juga menjadi alat pembayaran untuk memboyong anthurium. Aparat desa di Kabupaten Karanganyar, Tarso, menggelindingkan dua mobil untuk memboyong lebih dari 100 pot anthurium berbagai ukuran. Yang pertama pada Juni 2020. Pria 50 tahun itu menyerahkan sebuah Isuzu Panther keluaran 1997 dan yang kedua, Suzuki Carry Futura bak terbuka. Pedagang sapi di Kemuning, Karanganyar, Gunawan Wibisono, lebih berani. Ia menukarkan Honda CR-V keluaran 2012 dengan sekitar 20 induk jenmanii kelas eksklusif.

Semua pelaku bisnis anthurium itu sepakat tren kali ini berbeda dengan musim gandrung pada 2005—2007. Pembeda utamanya, pehobi sekarang mengincar anthurium berkelas. Berkelas artinya mempunyai karakter unik, berdaun belang alias variegata, atau malah gabungan keduanya. Pehobi “lama” tidak sekadar mencari anthurium sembarangan, mereka tertarik koleksi unik. Pehobi baru lantas mengikuti preferensi itu. “Hal itu salah satu pemicu tren anthurium berkelas,” kata pehobi dan penyilang anthurium di Kota Salatiga, Jawa Tengah, Eddy Pranoto.

Segmen hijauan

Bisnis anthurium bukan melulu jenis yang berkelas seperti variegata. Bahkan, jenis nonvariegata juga diminati. Peminat di luar Jawa memilih jenis “hijauan”, yaitu jenmanii nonvariegata atau nonkarakter. Harga terjangkau menjadi salah satu faktor. Menurut Eddy Pranoto segmen hijauan justru mengalami pergerakan terbanyak dan pergeseran harga terbesar. “Anakan 3—4 daun yang tadinya hanya Rp10.000 per pot sekarang menjadi Rp25.000—Rp50.000,” kata pengusaha lanskap itu.

Segmen itulah yang diterjuni Tarso. Jenis karakter atau variegata justru tidak banyak mengalami kenaikan harga. Jenis-jenis itu ajek mahal sejak dahulu. Rekan bisnis Lanjar, Sapto Agus Purwanto menyatakan, di sekitar Palur, Karanganyar, muncul ratusan pedagang anthurium dadakan yang kerap mengirim ke berbagai kota di tanah air. Senada dengan Sapto, Tarso memprediksi bahwa tren anthurium yang menggeliat setelah Lebaran 2020 kali ini memberi penghasilan tambahan bagi puluhan warga di sekitarnya.

Kolektor di Karanganyar, Jawa Tengah, Akapurabin. (Dok. Trubus)

Menurut Tarso tren kali ini tidak lagi Solo-sentris maupun Jawa-sentris. Pehobi di luar Jawa pun tertular gandrung raja daun. Singkat kata, bisnis anthurium membuka peluang pasar yang besar. Pedagang di Jenawi, Karanganyar, Prapto Sidomukti (39) melihat pehobi marak menekuni jenis karakter maupun variegata.

Bersepeda motor, Toti mencari bahan dagangan sampai Madiun dan Ngawi, keduanya di Provinsi Jawa Timur. “Orang tertawa melihat saya mondar-mandir membawa anthurium. ‘Itu barang tidak ada harganya ngapain kamu bawa-bawa’ kata mereka. Mereka yang dulu tertawa sekarang ikut-ikutan menjual anthurium,” katanya.

Ia memanfaatkan media sosial dan sukses menjual ke luar Jawa seperti Banda Aceh, Palembang, Bengkulu, Samarinda, Makassar, dan Palu. Toti mengirim seedling alias tanaman belia berdaun 3—5 helai. Sebelum Lebaran 2020, ia sempat terkendala langkanya penerbangan. Untung kondisi kini berangsur normal.

Tidak menjual

Lantas apa yang membuat orang kembali menggemari anthurium sampai rela merogoh kocek jutaan rupiah? Eddy Pranoto menduga Covid-19 menjadi pemicu. Karantina dan pembatasan sosial untuk mengendalikan penyebaran virus itu menjadikan banyak orang mencari kegiatan di rumah. Merawat tanaman hias seperti anthurium menjadi satu dari beberapa alternatif kegiatan. Wilayah Solo Raya yang mencakup enam kabupaten dan satu kotamadya menjadi sentra anthurium jenmanii sejak lama.

Proses pengemasan anthurium sebelum dikirim melalui kargo udara. (Dok. Prapto Sidomukti)

Di sana—terutama Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Sragen—banyak kolektor anthurium unik. Apalagi, “Pehobi anthurium berkelas tidak mengenal tren. Ada tren atau tidak, kalau melihat tanaman bagus pasti saya beli,” kata kolektor di Kabupaten Karanganyar, Akapurabin. Pur, panggilan akrabnya, tergolong kolektor “garis keras”. Ia rajin belanja tapi enggan menjual. Kalaupun ada yang menawar, ia sengaja memberi harga tinggi agar calon pembeli mundur.

Hampir semua pelaku bisnis anthurium yang Trubus kunjungi merupakan penggemar. Selain menjual, mereka juga terus berburu koleksi baru. Gambarannya, menurut Tarso, kalau baru menjual tanaman seharga Rp1 juta, maka ia akan mencari jenmanii unik bernilai sama.

“Tapi yang terjadi sering kali saya baru jual sejuta (rupiah) tapi setelah itu malah belanja lima juta (rupiah),” kata pedagang mobil bekas itu. Kecintaan terhadap koleksi itu juga ditampakkan Lanjar. Pagi itu, Lanjar menunjukkan salah satu koleksi kebanggaannya berjuluk mangkuk korona—artinya mahkota lantaran bentuk daun roset. Ketika Trubus bertanya, apakah ia akan menjual koleksi itu kalau ada yang menawar senilai Rp5 juta, Lanjar terdiam sesaat. Anak pertama dari dua bersaudara itu akhirnya berujar, “Tanaman ini mau saya besarkan dulu.”

Di Kota Bogor, Jawa Barat, Purwo Agung mewanti-wanti agar reporter Trubus tidak memotret induk jenmanii kobra katalog variegata kebanggaannya. Tanaman itu baru ia peroleh dari seorang pehobi di seputar Jakarta pada 2018. “Saya simpan di tempat khusus, tidak sembarang orang boleh melihat,” kata karyawan swasta itu. Meski demikian, anakan hasil potong bonggolnya yang baru berdaun tiga lembar sudah ditawar seharga Rp25 juta. Walau pendatang baru, Agung turut meramaikan bursa raja daun dengan menjual anakan kobra batik seharga Rp10 juta.

Baca juga :Aroid Dalam Lintasan Zaman

Hukum pasar

Ketua Komunitas Anthurium Solo Raya, HM Eko Eriyanto. (Dok. Trubus)

Kolektor di Cemani, Kabupaten Sukoharjo, Muhammad Eko Eriyanto menyebut perniagaan anthurium didominasi oleh para “kolekdol”. Itu akronim bahasa Jawa koleksi sisan ngedol alias mengoleksi sekaligus menjual. “Niat awalnya mengoleksi, tapi kalau calon pembeli mengajukan harga yang cocok kami bisa saja menjual,” kata ketua Komunitas Anthurium Solo Raya itu. Beberapa koleksi tetap ia pertahankan, hanya anakan dari biji ataupun hasil potong bonggol yang dijual.

Kolektor dan penyilang anthurium di Tawangmangu, Karanganyar, Aris Suharto, melihat tren saat ini murni berasal dari pehobi. “Awalnya calon pembeli melihat barang bagus dan tertarik. Setelah membeli lalu pamer di media sosial. Teman-temannya tertarik lalu ikut membeli,” kata ayah 3 putra itu. Selanjutnya tren itu “menular” ke saudara, keluarga, atau tetangga. Efeknya berlaku hukum pasar, permintaan bertambah sementara pasokan ajek menyebabkan harga naik. Semua sepakat bahwa harga kali ini tidak akan meledak di luar nalar seperti fenomena 2007.

Salah satu pengendalinya adalah teknologi informasi dan kemudahan komunikasi. “Orang bisa membandingkan jenis barang dan harga yang ditawarkan penjual di media sosial. Kalau terlalu mahal ya tidak jadi beli,” kata Aris. Faktor lain adalah luasnya pilihan. Jika ingin anthurium yang indah tapi lebih terjangkau, hookeri daun pink bisa menjadi pilihan. Masih terlalu mahal? Jenis hijauan juga tersedia. (Argohartono Arie Raharjo/Peliput: Hanna Tri Puspa Borneo Hutagaol)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

BPS Ungkap Data Perdagangan Durian Indonesia Sepanjang 2024

Trubus.id–Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menyampaikan data terkait ekspor dan impor durian Indonesia pada ...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img