Tuesday, March 4, 2025

Serbuan Shiitake Tirai Bambu

Rekomendasi

Itulah sebabnya Dra Astrid Sunarti mengubur sekarung Lentinus edodes kering berbobot 100 kg. ”Saya pusing harus diapakan?” ujar direktur PT Inti Jamur Raya di Lembang, Kabupaten Bandung.

 

Inti Jamur Raya salah satu produsen besar yang mampu memasarkan 4—6 ton segar shiitake per bulan ke Jakarta dan Bandung. Namun, sejak 3 tahun terakhir perniagaannya mengalami kesulitan. Ia terpaksa membiarkan 8 kumbung diganti dengan sayuran dan tanaman hias, seperti anggrek, kaktus, dan mawar. Sekarang hanya dua kumbung masing-masing berukuran 24 m x 8 m yang diisi 1.900 baglog shiitake.

Bukan hanya Astrid Sunarti yang kesulitan memasarkan shiitake di pasar ekspor dan domestik. Kondisi serupa juga dialami Imelda NR Adidarma, pekebun di Bandung. Wanita kelahiran Pontianak itu mengurangi produksinya 45—75% per hari. Pada 1991 pemilik Bionic Farm itu memanen 200 kg; sekarang, 50—110 kg per hari. Investasi yang dibenamkan Rp3-miliar belum juga kembali meski hampir 15 tahun ia mengusahakan shiitake.

Dominasi

Seretnya pasar shiitake—tidak diikuti jenis jamur lain seperti jamur kuping dan tiram—akibat shiitake asal Cina membanjiri pasaran. Salah satu importirnya adalah Hengki Yondreas di Solo, Jawa Tengah. Ia rutin mengimpor shiitake dari negeri seluas 9.600.000 km2 itu. Volume impor dalam 2 tahun terakhir 1—2 ton per bulan. Jamur itu didistribusikan ke kota-kota di Jawa Tengah seperti Surakarta, Solo, dan Jakarta. Konsumennya adalah restoran dan pasar swalayan.

Volume dan nilai impor Indonesia cenderung melambung. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan pada 2003 Indonesia mengimpor 615.511 kg dari keseluruhan jenis jamur dari negeri Tirai Bambu senilai US$393.359. Setahun kemudian volume impor menjulang menjadi 5.778.642 kg senilai US$5.547.089.Cina menjadi produsen shiitake terbesar dunia. Lebih dari 254 negara mengandalkan pasokan shiitake dari Cina. Sekitar 33,2% kebutuhan jamur dunia dipasok oleh raksasa dari Asia Timur itu; Indonesia, cuma 0,9%.

Sukses Cina mengembangkan shiitake lantaran mempunyai 4 strain berbeda yang adaptif di setiap musim. “Pada musim dingin ditanam jenis yang berbeda dengan shiitake musim panas,” ujar Imelda. Bandingkan dengan di Indonesia, yang berkembang adalah strain lawas. Harga shiitake asal Cina yang membanjiri Indonesia relatif murah. Hengki Yondreas, importir di Solo, Jawa Tengah, melepas 1 kg shiitake kering Rp70.000—Rp75.000.

Strain khusus

Saat ini harga shiitake segar di tingkat pekebun Rp45.000 per kg. Bandingkan dengan shiitake segar yang diimpor dari Cina, cuma Rp22.000—Rp25.000/kg. Menurut Astrid Sunarti, biaya produksi untuk menghasilkan 1 kg shiitake saat ini Rp20.000. Biaya itu belum memperhitungkan kenaikan harga BBM yang mempengaruhi ongkos produksi. Skala ekonomis budidaya 49 baglog per m2.

Jika rata-rata sebuah baglog menghasilkan 150 g segar, pekebun menuai 10 kg shiitake sekali produksi selama 3—4 bulan. Jamur asal Jepang itu juga dapat dikeringkan dan bertahan hingga 1 tahun. Saat ini harga sekilo shiitake kering mencapai Rp180.000—Rp200.000. Satu kilo shiitake kering diperoleh dari 10—15 kg segar. Pertanyaannya sekarang, mengapa shiitake asal Cina jauh lebih murah?

Pemerintah setempat turut campur dalam penyediaan mesin dan bahan baku. “Pekebun tinggal memelihara, biaya produksi hanya untuk upah pekerja,” kata Ganda, pemilik PT Inti Jamur Raya. Selain itu pemerintah setempat juga membantu mencari pasar. Dengan demikian pekebun tak perlu repot-repot memasarkan anggota famili Tricholomataceae itu. Setiap pagi pengepul menjemput hasil panen.

Menurut Prof Dr Chang, ahli jamur dari Cina, sentra pengembangan shiitake terdapat di Provinsi Canton, Fujian, dan Jiangshi. Pemerintah Cina menerapkan sistem inti rakyat yang diawasi oleh pemerintah. Tahun 1980-an cara seperti itu pernah diadopsi oleh PT Dieng Jaya, produsen shiitake di Wonosobo, Jawa Tengah. Diterapkan dengan menyediakan baglog pada pekebun dan hasilnya diberikan pada Dieng. Namun, sistem itu berhenti, karena perusahaan tutup.

MAJI (Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia) menerapkan sistem koperasi dengan menjual baglog pada pekebun yang sampai sekarang masih berjalan. ”Itu masih kurang efektif, karena belum ada campur tangan dari pemerintah,” ujar Kudrat, ketua MAJI.

Banjir shiitake dari Cina membuat sejumlah pekebun mengurangi produksi, bahkan berhenti sama sekali. Itu seperti yang dialami Dicky Angkawijaya, pekebun di Sukabumi, Jawa Barat. Sejak 3—4 tahun lalu ia berhenti mengebunkan shiitake di kumbung 40 m x 10 m.

Semula pria yang 10 tahun menekuni shiitake itu memiliki 7 kumbung penanaman dengan produksi mencapai 200 kg per hari. Produksi itu terserap restoran Cina dan Hero Supermarket. Bahkan ia sempat mengekspor 100 kg shiitake segar ke Singapura, meski terjadi hanya sekali. “Konsumen banyak yang mengeluh kekurangan shiitake kualitas bagus dari saya. Soalnya hasil panen yang bagus saya ekspor ke sana,” ujar Dicky.

Daya beli rendah

Menurut Agoes Poernomo, pekebun di Blitar, Jawa Timur, sulitnya mencari pasar karena daya beli masyarakat rendah. Serapan di Blitar hanya 5 kg segar sehari. Padahal, total produksinya mencapai 10 kg per minggu yang dijajakan ke pasar tradisional 2 kg sepekan dan selebihnya terserap pasar swalayan.

Masa kejayaan shiitake di Indonesia terjadi pada 1997. Saat itu raksasa shiitake PT Inti Mekar Sejati (IMS)—terbesar di Asia Tenggara—setiap hari memproduksi 12 ton segar. Sekitar 70% diekspor, selebihnya mengisi pasar domestik. Dari produksi itu IMS meraup laba Rp300-juta per bulan saat harga jual Rp15.000 per kg segar atau Rp35.000 per kg kering. Itu setelah dikurangi biaya produksi Rp150-juta per bulan atau Rp15-juta per hari masuk kocek perusahaan.

Namun, pada 2004 perusahaan itu gulung tikar akibat kesalahan pengelolaan, bukan akibat kesulitan memasarkan. Sayang pangsa pasar besar yang ditinggalkan Inti Mekar Sejati tak tergarap optimal. Malahan sebaliknya, ”kue” itu direbut para produsen shiitake Cina yang terus berekspansi. ”Seharusnya pasar tambah terbuka. Tapi harga Cina murah,” ujar Astrid. Bila harga shiitake Cina masih berada di kisaran Rp22.500—Rp25.000/kg basah, tentu saja impor dari sana akan terus bertambah.

Sebenarnya masih terbuka peluang untuk mengembalikan kejayaan itu. Bayangkan saja pada 2002 pasar dunia mampu menyerap 2,7-juta ton shiitake. Untuk merebut kembali dibutuhkan kerjasama yang baik antara pekebun dan pemerintah. ”Sekarang bahan bakar sulit diperoleh dan harganya meningkat. Sebaiknya pemerintah memberikan subsidi. Soalnya jamur mampu memberikan devisa yang cukup baik bagi negara ini,” ujar Adi Yuwono, pakar jamur. (Lastioro Anmi Tambunan/Peliput: Vina Fitriani dan Rahmansyah Dermawan)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Meningkatkan Produktivitas dan Kesehatan: Unsoed Teliti Green Super Rice dan Beras Hitam

Trubus.id–Dosen Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof. Dr. Ir. Suwarto, M.S., mengembangkan varietas unggul padi Green Super Rice (GSR). Menurut...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img