
Lahan subur saja membutuhkan pupuk hayati. Apalagi lahan marginal.
Ahli pupuk hayati di Jakarta, Ir Ali Zum Mashar MS, mengatakan, “Tanah subur pun tetap membutuhkan pupuk hayati.” Tanah dikatakan subur bila proses kimia, fisika, dan biologis di dalam tanah seimbang. Keseimbangan itu diatur oleh mikrob di dalam tanah. Oleh sebab itu, keberadaan mikrob di dalam tanah sangat penting. Sebab, subur tidaknya tanah tergantung kehidupan mikrobiologis di dalam dan atas tanah.
Pada tanah subur, mikrob akan menjaga keberlangsungan kesuburan tanah. Sementara pada tanah tidak subur, mikrob asal pupuk hayati mampu mengubah racun dan menjadikannya unsur bermanfaat untuk tanah dan tanaman. Beragam jenis tanah, seperti tanah mati, sakit, dan subur tetap membutuhkan asupan bahan organik. Menurut Ali jenis mikrob yang digunakan untuk beragam tanah itu tetap sama, yakni mikrob hasil kloning dari 18 jenis mikrob seperti cyano-bacter, azospirella, dan pseudonomy bacter.

Beda perlakuan
Mikrob itu mengubah sifat lingkungan di sekitar tanaman dan bersimbiosis mutualisme dengan tanaman. Meski jenis mikrob sama, “Pada masing-masing tanah beda perlakuan pendukungnya,” ujar Ali. Pada tanah beracun misalnya, tambahkan bahan organik mengandung mikrob 500 kg per ha. Cara lain, tambahkan molase atau gula sebagai pengaktif mikrob.
Alternatif lain, gunakan urine sapi atau Urea sebagai sumber nitrogen. Mikrob membutuhkan unsur nitrogen yang kaya protein untuk membentuk dinding sel. Prof Dr Ir Tualar Simarmata MS, guru besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran sepakat. Urea tetap diperlukan pada awal pemakaian pupuk hayati sebagai starter.
Pada tanah kering atau padang pasir, sebagai perlakuan awal, buat tanah menjadi lembap. “Kondisi lembap membuat bakteri nyaman,” ujar Ali. Lalu, tambahkan bahan organik yang mengandung bakteri untuk makanan mikrob dan pengikat air. Dosis 500 kg per ha. Bakteri akan pecah dorman, mencari air, dan berkembang biak. Itu akan mengembalikkan aktivitas bakteri dalam tanah dan tanah menjadi subur.

Sementara untuk tanah subur, mikrob akan menjaga kesuburan tanah secara berkelanjutan. Selain itu, mutu dan jumlah nutrisi di dalam tanah juga meningkat. Pemberian bahan organik pada tanah subur seperti dilakukan Endang Abdul Karim di Garut, Jawa Barat. Ia tetap memberikan pupuk hayati di lahannya meski lahannya tergolong subur.
Lahan berketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut (m dpl) itu terletak di lereng gunung Papandayan. Ia mengaplikasikan pupuk hayati itu pada beragam sayuran seperti kentang, cabai, kubis, dan tomat di lahan seluas 3 ha. Endang menanam kentang granola tumpang sari dengan cabai. Pada jarak tanam kentang 30 cm x 140 cm, ia menyisipkan tanaman cabai di antara dua baris kentang. Selain tumpangsari, ia juga menanam kentang secara monokultur dengan jarak tanam 35 cm x 100 cm.
Pupuk hayati yang ia berikan berupa biopestisida yang mengandung mikrob Gliocladium sp. Ia mengaplikasikan pupuk hayati itu pada media persemaian cabai dan tomat. Perbandingannya dengan tanah 1:2. Ketika cabai pindah tanam, pria berusia 33 tahun itu membenamkan 10 gram per tanaman ke lubang tanam. Sementara untuk kentang, pemberiannya ketika pertama kali tanam sebanyak 10 gram per tanaman. Untuk perawatan tanaman, Endang memberikan NPK 1,5 ton dan 10 ton pupuk kandang—per ha saat awal tanam. Ali menjelaskan, untuk penanaman ideal, pemberian bahan organik minimal 20%.

Produksi naik
Penggunaan pupuk hayati itu meningkatkan produksi kentang. Sebelum menambahkan mikrob Gliocladium sp, produksi kentangnya kurang dari 0,5 kg per rumpun. Setelah penggunaan pupuk hayati produksi naik menjadi 0,7—1 kg per rumpun. Dari lahan 3.300 m2, ia dapat memanen 8 ton, sebelumnya hanya 4 ton. Bahkan, pada musim kemarau ia dapat memanen kentang hingga 10 ton setara dengan 30 ton/ha.
Produksi itu tergolong tinggi. Sebab, rata-rata produksi kentang di Jawa Barat 15—20 ton per ha. Sementara untuk produksi cabai monokultur, ia memanen 1—1,2 kg per tanaman dan 0,5 kg per tanaman untuk cabai penanaman secara tumpangsari. Padahal produksi cabai rata-rata 0,8—1 kg per tanaman. Penggunaan pupuk hayati itu juga menghemat pupuk kimia 50%.
Menurut Prof Dr Ika Djatnika MS di Balai Penelitian Tanaman Hias, biopestisida hayati yang Endang gunakan mengandung Gliocladium sp. “Cendawan itu menghasilkan hormon giberelin dan auksin,” ujarnya. Hormon giberelin dan auksin berguna memacu pertumbuhan tanaman. Selain itu, penggunaan Gliocladium sp juga dapat mengatasi penyakit tular tanah. Akibat serangan tular tanah produksi kentang Endang turun 50%. Dengan tidak adanya keberadaan patogen tular tanah produksi kentang akan meningkat. Itu sebabnya produksi kentang dan cabai Endang menjadi tinggi.

Djatnika memilih Gliocladium karena tidak menimbulkan penyakit pada tanaman. “Bahkan bisa menekan patogen,” ujarnya. Menurut Djatnika ada 3 mekanisme Gliocladium menekan patogen. Pertama para serdadu kecil alias Gliocladium itu bersaing dengan patogen lain agar bisa mengusir patogen itu. Kedua, Gliocladium menghasilkan antibiotik alami seperti gliotoksin dan viridin. Yang terakhir, menginduksi resistensi tubuh tanaman agar lebih kuat sehingga tidak mudah terserang penyakit.
Pemanfaatan pupuk hayati pada tanah tak subur justru sangat penting. Sebab, proses biologis di tanah tak subur tidak berjalan. Ali pernah membuktikan penggunaan pupuk hayati mampu mengubah tanah bekas tambang yang tidak subur menjadi tanah subur. Ia mencobakannya di daerah Kerengpangi, Kalimantan Tengah. Daerah itu bekas penambangan emas.
Alumnus Teknologi Pertanian Universitas Jenderal Soedirman itu menambahkan 3 liter mikrob per hektar. Tanah kembali subur dalam waktu 3 tahun. Sementara untuk tanah berpasir, ia menggunakan 8 liter mikrob per ha. “Waktu pengembalian kesuburan tanah di padang pasir cukup singkat, hanya butuh 3 bulan,” ujarnya. Dengan demikian penggunaan pupuk hayati tidak hanya pada tanah marjinal, di tanah subur pun pemberiannya tetap dibutuhkan. (Desi Sayyidati Rahimah/Peliput: Riefza Vebriansyah)