Pesta boleh saja usai, tapi pekerjaan besar baru dimulai. Apa yang akan kita lakukan setelah menemukan 21 buah unggul baru? Akankah buah-buah unggulan itu menjadi primadona masa depan di tanah air sendiri dengan mengalahkan buah-buah impor? Perlu komitmen dan kerjasama yang erat dan berkesinambungan dari semua stakeholders terkait. Langkah awal telah dimulai oleh Trubus, maka langkah berikutnya menjadi kewajiban kita semua untuk menindaklanjutinya.
Popularitas meningkat
Mata rantai sejak ditemukannya jenis buah unggul baru perlu dilanjutkan dengan penetapan pohon induk unggulan, pembibitan, sertifikasi, penanaman di kebun dalam skala komersial, penanganan panen, dan pascapanen yang baik. Harapannya produk tiba di tangan konsumen dalam keadaan baik. Bila salah satu mata rantai ini gagal berperan baik, maka cita-cita kita untuk menjadikan buah nusantara sebagai raja di negeri sendiri hanya merupakan impian belaka.
Pengalaman yang lalu memberi pelajaran berharga. Popularitas meningkat dialami para pemenang. Sontak tiap orang ingin merasakan, menanam, dan memanennya. Namun, antusiasme masyarakat untuk mendapat buah dan bibit tidak diiringi penyediaannya. Penyebabnya, pendatang baru biasanya berasal dari satu pohon induk yang belum diperbanyak dan tumbuhnya nun jauh di daerah. Alih-alih kita baru dapat merasakan buahnya setelah dikebunkan dalam skala besar. Butuh waktu 4—5 tahun sampai berbuah.
Masalah klasik lain yang terus berulang adalah penyediaan bibit. Bibit okulasi baru bisa didapat satu tahun kemudian. Hal sama bila kita rajin berseminar untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan brilian, tetapi selesai seminar kita lalai menindaklanjuti dengan aplikasi di lapang. Lambat-laun orang melupakan sang juara, dan pada akhirnya hanya tinggal kenangan karena tidak beredar di pasaran.
Bibit sulit didapat
Ketika jambu air citra menjadi pemenang lomba awal 1990-an, masyarakat kesulitan mendapatkan bibit. Sedangkan, peraturan Departemen Pertanian untuk perbanyakan bibit perlu proses panjang. Semua jenis bibit yang akan diperbanyak dan dijual ke masyarakatharus melalui prosedur pelepasan sebagai varietasunggul. Untuk mendapat sertifi kasi, pohon induk harus diregistrasikan terlebih dahulu. Akhirnya, momentum emas untuk menjual bibit terlewat, karena calon pembeli terlalu lama menunggu.
Proses yang terlalu lama itu membuat orang lupa jambu air citra. Saat itu tercatat bibit tersebar 1.000 batang. Setelah itu tidak terdengar lagi kabarnya dan tidak ada yangmenanam dalam skala kebun komersial. Pada 1998 seorang Thailand berhasil mengebunkan citra di negeri Gajah Putih. Setelah citra menjadi komoditas ekspor di sana, barulah kita seperti kebakaran jenggot dan buru-buru menanam dalamjumlah besar untuk mengejar ‘ketertinggalan’. Terbukti pada LBUN 2003, citra masih mampu bertenggerdi urutan ke-2 top hits jambu-jambu air diIndonesia dengan menyisihkan belasanpendatang baru.
Buah olahan
Perlombaan menyertakan peserta berdasarkan kriteria buah meja berkualitas baik. Buah yang enak dikonsumsi segar (fresh fruits), berpenampilan cantik, danunggul dibandingkan jenis buah serupa. Selera masyarakat Indonesia yang diwakili oleh para juri, adalah buah yang (sangat) manis, dan berukuran besar alias jumbo. Sifat lain yang disukai adalah biji kecil (atau tidak berbiji), warna kulit dan daging buah cerah (kuning hingga merah), berserat halus, dan aroma harum. Semua kriteria ini menjurus kepada idiotype buah meja yang dikonsumsi segar.
Peluang peserta lain adalah buah olahan. Mungkin kelompok ini perlu juga dilombakan. Pisang misalnya, tidak hanya enak dimakan sebagai buah meja, tetapi banyak jugadimakan setelah diolah (plantain) seperti pisang goreng, pisang rebus, kolak, dan sale pisang. Belum lagi yangdiproses menjadi tepung untuk bahan makanan bayi ataukue.
Sebagian besar jenis buah tropika lainnya juga akan lebih komersial dan bermanfaat bagi pengembangan industri olahan seperti: jus, puree, keripik, manisan, dan dodol. Kelompok buah lainnya yang perlu juga mendapatkan tempat dalam lomba adalah buah-buahan yang dinilai berdasarkan zat yang dikandungnya seperti bahan obatobatan, essence, dan minyak asiri.
Buah olahan memang kurang menarik dari segi penampilan, tetapi potensi pasar sangat besar dan sangat mungkin menjadi motor penggerak perkebunan berskala komersial. Perputaran modal yang besar justru akan terjadi pada jenis buah-buahan yang dapat diolah menjadi aneka macam produk dalam skala industri. Karena itu layak juga untuk melombakan jenis-jenis buah yang memang potensial sebagai bahan baku produk olahan.*** *) Dr Ir Mohamad Reza Tirtawinata, MS, pakar dan praktisi buah di Bogor