Cikal bakal Taman Sringanis bermula dari keterpurukan Endah Lasmadiwati. Dahulu perempuan penyuka kuliner itu seorang penari dan pelatih tarian bali profesional. Ia menekuni profesi itu sejak 1973—1990. Bakat menari perempuan ramah itu ia dapatkan dari sang ayah yang juga penari. Ia bahkan menguasai 17 tarian bali dan memiliki 350 murid. Ketika itu Endah kerap tampil di panggung-panggung kesenian bergengsi.
“Boleh dibilang era 1980-an merupakan era kejayaan bagi industri tari, teater, dan film,” tuturnya. Namun, menjelang 1990-an dunia pentas seni merosot tajam. Tarian tradisional warisan nenek moyang tak lagi menjadi penampilan yang paling ditunggu di sebuah pagelaran seni. Pentas seni hanya sebatas pengisi hiburan pada acara peresmian sebuah gedung, acara kantor, dan pernikahan.
Berbagi ilmu
Kondisi itu membuat hati Endah gundah gulana. Kemarahan dan kekecewaan menghampirinya setiap saat. Kesedihan berlarut perlahan memperburuk kondisi kesehatannya. Endah kerap terserang sakit kepala, kantuk berkepanjangan, dan keputihan hebat. Badannya pun lesu sehingga tak lagi lincah. Kulit telapak tangan melepuh dan gatal. Gangguan kesehatan dan stres yang luar biasa itu lambat laun membuat tubuh Endah hampir lumpuh.
“Jalan kaki sejauh 5 meter saja sudah terengah-engah,” ujarnya mengenang. Ia berulang-ulang berobat ke dokter untuk menggapai kesembuhan. Namun, usaha itu belum juga menuntaskan penyakitnya. Kesembuhan tak kunjung datang. Endah baru memperoleh kesembuhan usai menjalani meditasi. Ia juga berpuasa dengan tidak menyantap makanan berbumbu selama setahun.
Untuk menyembuhkan gatal di kulit, ia menghaluskan daun sirih, lalu mengambil air perasannya untuk menyeka kulit yang gatal. Dengan pengobatan terpadu itu Endah memperoleh kesembuhan. Ia pun bertekad membangun klinik agar berguna bagi sesama. Itulah sebabnya pada 1992 ia mendirikan Klinik Taman Sringanis. Nama itu kombinasi nama mertua dan kakak mertua, Ni Ketut Taman dan Ni Ketut Sringanis. (Andari Titisari)