Menggeluti agribisnis setelah pensiun bukan sekadar mengisi waktu luang. Dharmayugo Hermansyah meraih laba.
Trubus — Kapan mulai beragribisnis? Dharmayugo Hermansyah memilih beragribisnis sebelum pensiun. Menjabat eselon 2 di salah satu lembaga negara, keseharian Dharma—nama panggilannya—jauh dari dunia bercocok tanam. Meski demikian, warga Tebet, Jakarta Selatan, itu berencana menghabiskan hari tua dengan bertani. Tentu saja, “Komoditasnya harus menguntungkan agar bisnisnya berjalan,” kata pria kelahiran Jakarta 57 tahun silam itu.
Sejak 2010 ia berupaya mencari informasi dari Trubus dan mencoba komoditas yang menguntungkan. Setahun berselang pada 2011 alumnus Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, itu menanam 300 bibit pepaya kalina di lahan sewaan di Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Tujuh bulan pascatanam, ia mulai mendulang omzet Rp6 juta dari 3 kuintal panen per pekan.
Air isi ulang
Mulai bulan ke-13, frekuensi panen meningkat menjadi dua kali sepekan sehingga omzetnya pun hampir berlipat dua. Memasuki bulan ke-25, masalah muncul. Hujan berhenti lebih dari 4 bulan sehingga tanaman anggota famili Caricaceae itu layu dan mogok berbuah. Ayah 2 anak itu pun berencana membuat sumur untuk menyiram. Upayanya hampir berhasil kalau saja warga setempat tidak memprotesnya.
Menurut Dharmayugo Hermansyah warga setempat khawatir sumur buatannya itu menyedot banyak air sehingga sumur warga kering. Sejatinya Dharma menjelaskan maksudnya. Bahkan, Dharma mempersilakan warga ikut mengambil air dari sumurnya. Namun, upaya dialog itu gagal, karena perwakilan masyarakat ngotot melarang pembuatan sumur. Demi menyelamatkan pohon pepaya yang tengah berbuah lebat, pehobi fotografi itu membeli air dari pemasok air minum isi ulang.
Keruan saja cara itu terlalu mahal sehingga Dharma terpaksa mencabut semua tanaman asal Meksiko bagian selatan itu. “Mungkin itu cara Tuhan menyuruh saya berhenti menanam pepaya,” ujarnya.
Pasalnya tidak lama berselang, banyak tanaman yang daunnya berfaedah antimalaria itu mati akibat serangan cendawan atau kutu. Pengalaman konon guru yang terbaik. Dharma juga belajar dari pengalaman beragribisnis perdana saat menanam pepaya. Tengkulak kerap membohonginya untuk menekan harga dengan membebankan biaya angkut. Oleh karena itu, pada 2013 ia menanam pohon jabon Anthocephalus cadamba yang sifatnya tahunan tanpa perlu sering menengok kebun.
Tumpangsari
Saat menanam pepaya, Dharma harus ke kebun minimal sebulan sekali. Waktu tempuh Tebet-Parungkuda rata-rata 4—5 jam atau pergi Pulang total 8—10 jam. Saat pohon jabon berumur hampir 2 tahun, seorang petani di Parungkuda bertanya apakah Dharma menanam kapulaga. Sang petani bahkan memberikan nomor telepon seorang pengepul di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Setelah terhubung, lelaki yang gemar memancing di laut itu pun meluncur ke Ciamis lalu membeli 3.000 tunas kapulaga malabar seharga Rp3.000 per tunas.
Pegiat agribisnis itu membudidayakan kapulaga di antara tegakan jabon yang tingginya mencapai 7—8 meter. Amomum compactum itu memang lazim hidup di bawah tegakan. Saat panen 1,5 tahun kemudian, ia mendapat 6 ton basah setara 1,5 ton kering dari 300 rumpun tanaman anggota famili Zingiberaceae itu.
Dharma mendapat harga Rp72.000 per kg kapulaga kering sehingga meraup omzet Rp100-an juta. Minus biaya bibit, perawatan, dan panen, ia mengantongi laba 30% dari omzet senilai lebih dari Rp30 juta. Dharma juga sempat menanam jahe kecil (emprit) dalam 6.000 polibag di bawah tegakan jabon. Pada bulan ke-6, jahe terserang busuk akar sehingga ia memanen muda dan hanya mendapat harga Rp30.000 per kg. “Seandainya panen pada umur optimal, saya bisa mendapat harga dua kali lipat,” katanya.
Kini Dharma menanam 300 kapulaga jenis sabrang yang harganya digadang-gadang Rp200.000—Rp300.000 per kg. Ia juga menanam singkong, pisang kepok, dan jagung pulut. Ia memasarkan kepada teman, sanak, atau kerabat untuk menghindari tengkulak. “Ketika saya membawakan jagung pulut banyak keluarga terkejut. Mereka belum pernah merasakan jagung selembut itu,” ujarnya. Pisang dan singkong pun ia pasarkan dengan cara sama.
Keluarga mendukung
Pada 2016 Dharmayugo memanen pohon jabon di kebunnya. Umur pohon kerabat kopi itu sudah 6 tahun berdiameter batang rata-rata 30 cm lebih sehingga ia mendapat lebih dari 40 m3. Ia sempat terperosok ketika menjual jabon dari kebun. Lantaran iming-iming harga lebih baik kalau menjual langsung ke pabrik, ia mengirim kayu anggota famili Rubiaceae hasil panennya kepada pemasok di pabrik. “Setelah itu kalau saya menagih alasan dia macam-macam,” kata Dharma.
Dharmayugo memperoleh banyak pengetahuan agribisnis dari Majalah Trubus yang terbit perdana pada Desember 1969. “Saya mengenal dunia pertanian dari Trubus,” kata Dharmayugo.
Selain dari majalah yang dilangganinya, amtenar alias pegawai negeri itu juga mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan Trubus. Tujuannya menambah wawasan dan relasi. Kegiatannya mondar-mandir ke kebun dan mengikuti pelatihan itu mendapat dukungan istri dan anak-anaknya. “Mereka lebih suka saya mengurus kebun karena hasilnya jelas dan kecil kemungkinan berbuat macam-macam,” katanya sembari tersenyum.
Ia lebih menikmati berpeluh dan belepotan tanah ketimbang berpakaian rapi dan kongkow di kafe. Pengalaman bergaul dengan petani membuat Dharma menekankan perlunya pembentukan organisasi untuk memasarkan produk pertanian. “Petani sangat lemah dalam pemasaran. Mereka juga tidak bisa membaca pasar untuk menentukan komoditas yang harganya bakal tinggi,” katanya.
Pada era sekarang, informasi makin mudah sehingga hambatan pemasaran lebih mudah dipangkas, salah satunya dengan memasarkan langsung kepada konsumen. Tentu saja peran media pertanian tetap diperlukan sebagai sumber informasi yang terpercaya di antara banjir hoaks. (Argohartono Arie Raharjo)