Alumnus Universitas Bandung Raya itu terkesiap ketika memperoleh informasi, shiitake berproduksi 4 ons per baglog. Selama ini ia juga mengebunkan shiitake, tapi hanya menghasilkan 2 ons dari baglog 1,2 kg.
Bukan itu saja keunggulan steamed super—begitu nama strain baru itu. Shiitake asal Washington, Amerika Serikat, itu juga tak beraroma seperti jengkol dan cukup kenyal. Strain lama yang dikebunkannya beraroma menyengat. Mengetahui keistimewaan itu, Mamat Rahmat jatuh hati. Keesokan hari setelah menjelajah dunia maya, pria 39 tahun itu langsung menstransfer US$5.400 setara Rp54.000.000 ke nomor rekening sebuah bank di Washington.
Sepekan setelah transaksi, pada awal Februari 2005 Mamat menerima 200 bibit steamed super strain. Bibit itu dikemas mirip lintingan rokok, total jenderal berjumlah 200 batang. Oleh Mamat bibit segera diinokulasikan ke tabung reaksi bermedia agar-agar yang juga didatangkan dari negeri Paman Sam. Dua pekan kemudian bibit itu tumbuh merata ditandai dengan warna putih media yang semula berwarna kecokelatan. Di permukaannya tampak butiran halus yang tak lain adalah bibit jamur.
Hitam
Dari tabung reaksi, bibit itu lantas dibiakkan di botol-botol yang diisi media sorgum, jagung, dan serbuk kayu alba. Dari botol-botol itulah bibit dikembangkan. Pada akhir Juli 2005, suami Suryani itu membudidayakan steamed super di kumbung 20 m x 7 m. Di situ 200 baglog berjajar rapi. Di Cisarua, Bandung, berkelembapan di atas 80% dan suhu 18— 26ºC, shiitake baru itu tumbuh baik.
Shiitake baru itu tak rewel soal perawatan. Mamat hanya melakukan pengembunan setiap hari karena shiitake butuh suhu dingin dengan kelembapan tinggi. Caranya, air disemprotkan ke permukaan tanah kumbung dengan sprinkel. Sebuah baglog rata-rata terdiri atas 6 tanaman; strain sebelumnya, 4 tanaman. Meski masa produksinya l bulan lebih singkat, tetapi produksinya lebih tinggi. Umumnya shiitake siap panen ketika berumur 120 hari setelah inokulasi.
Shiitake baru itu tampil beda. Warna tudung hitam, biasanya shiitake terkenal dengan tudung yang kecokelatan. Sedangkan batangnya tetap putih. Warna hitam menjadi bumerang, karena konsumen masih menyukai shiitake yang berwarna cokelat. Belum banyak yang mengenal pendatang baru itu. ”Pembeli lebih suka tudung cokelat. Namun, tak tertutup kemungkinan unuk dijual bukan dalam bentuk segar tapi olahan,” ujar Adi Yuwono, pakar jamur.
Naik 100%
Produksi steamed super mencapai 4 ons per baglog berbobot 1,2 kg atau meningkat 80—100%. Selain itu aroma jengkol yang jadi momok pekebun Lentinus edodes tak menguar dari shiitake baru itu. Menurut HM. Kudrat Slamat, ketua Maji (Masyarakat Jamur Indonesia) kemungkinan tingginya produksi disebabkan cup (tudung, red) sudah terbuka. ”Tapi saya belum bisa membuktikannya,” ujarnya. Sedangkan aroma yang keluar dari shiitake tergantung preferensi—minat konsumen. Indonesia dan Eropa memang tidak menyukai aroma jengkol. Namun, Jepang membutuhkan shiitake beraroma seperti itu.
Dari 200 baglog Mamat Rahmat menuai 10 kg segar. Pendatang baru itu dijajakan ke Jakarta dengan harga Rp40.000 per kg. Artinya, omzet Mamat lebih besar lantaran produktivitas steamed lebih tinggi. Shiitake memiliki nilai jual baik saat tudung berukuran 6 cm dan lamela belum membuka. Untuk kualitas di bawahnya terjual dengan harga Rp20.000/kg.
Mamat terus mengembangkan jenis itu. Hingga kini setidaknya ia telah memperbanyak bibit hingga ribuan botol. Ia yakin kehadiran shiitake tanpa aroma jengkol dapat diterima konsumen. Namun, konsumenlah yang menjadi hakim, steamed super diterima atau ditolak. (Lastioro Anmi Tambunan)