Tepatnya empat bulan yang lalu bencana itu menerpa. Hobiis maskoki di Bandung itu meradang melihat jutaan burayak umur 1,5—2 bulan berguguran. “Mereka hanya mampu bertahan maksimal 6 hari,” ujar alumnus Universitas Kristen Maranatha itu. Berbagai cara dilakukan untuk menyelamatkan ternakannya. Namun, apa lacur ia hanya dapat menatap sedih bangkai ikan yang harus dibuangnya.
“Sebenarnya penyakit itu telah muncul lebih dari setahun silam,” kata Ever. Namun, kala itu tingkat kematian tidak setinggi sekarang. Pria berusia 25 tahun itu menduga penyakit berasal dari ikan impor asal Thailand yang ia masukan 6 bulan lalu sebagai indukan. ”Kemungkinan ikan telah membawa penyakit,” ujarnya. Selain dugaan itu, banyak faktor pencetus penyakit: stres, kualitas air buruk, dan kedisiplinan dalam pemeliharaan.
Inbreeding
Pada ikan yang terpapar akibat japanese disease itu ditemukan bulatan putih di permukaan tubuh. Gejala mirip white spot dan velvet, tetapi selaput putih lebih besar berdiameter 1—2 mm dengan jumlah lebih sedikit. Biang keladi utamanya adalah stres dan kondisi lingkungan yang drastis berubah dari negara asal impor, Thailand.
Menurut Ir Fatono Wiredja, penangkar di Bogor, perjalanan maskoki dari Thailand ditempuh selama 20—25 jam. Kondisi ekstrim sesampai di Indonesia dijumpainya. Akibatnya ikan mudah stres dan gampang sakit. Untuk itu penjagaan kualitas air mutlak diperlukan.
YB Hariantono, hobiis di Jakarta menduga penyakit itu modifikasi dari velvet. Penyakit akibat protozoa parasit Oodinium sp.itu memang mirip dengan japanese disease. “Mungkin penamaan japanese disease itu karena ikan asal Jepang yang terserang,” ujar Hari—sapaan akrabnya. Ikan jenis itu memiliki daya tahan tubuh rendah lantaran dikawinkan inbreeding untuk mempertahankan kesamaan sosok dengan sang induk. Karena itu jenis tosakin dan ranchu top view perlu penanganan ekstra agar aman dari patogen penyebab sakit.
Formalin
Untuk menghindari tersebarnya penyakit asal parasit mesti telaten. Keteledoran dan lemahnya pantauan berakibat maut segera menjemput Carassius auratus itu. Bila bintik putih telah menempel pada tubuh ikan, berikan segera pengobatan. “Pakai obat yang mengandung zat formalin dan tembaga sulfat CuSO4,” kata ayah Fredrica Cynthia Dewi itu.
Sedangkan Fatono, yang telah kehilangan 70 ekor ranchu menggunakan kalium permanganat (KMNO4) sebagai obat. Cairan ungu itu digunakan untuk merendam maskoki yang terserang. Dosis kepekatan, 2—4 cc untuk 4 l air selama 3 jam perendaman. Bila dosis yang dipakai lebih tinggi, ikan cukup dicelup selama 5 detik. Setelah perendaman, 24 jam kemudian bintik putih berkurang, nafsu makan kembali normal, dan ikan kembali sehat.
Lain halnya Kris S. Widjojo, hobiis di Jakarta. Ia merendam klangenannya dengan garam ikan. “Lebih praktis dan bahan mudah didapat,” ujar Kris. Sebanyak 30% garam dari total air dilarutkan dan digunakan sebagai perendam selama 3—5 detik. Lendir ikan akan mengelupas membawa parasit pergi. Namun, bila lendir hilang ikan menjadi makin rentan. Ibarat masuk ruang ICU di rumah sakit, ikan mesti dijaga ketat dengan kualitas air baik. Tiga hingga 4 hari berselang ikan kembali lincah. (Pupu Marfu’ah)