Totalitas berbisnis albumin untuk ikan gabus.
Slamet Pudjianto kewalahan mencari ikan gabus meski menjalin kerja sama dengan para peternak di Kabupaten Blitar, Lamongan, Sidoarjo, Tuban, dan Madiun—semua di di Provinsi Jawa Timur. Pria 46 tahun itu mengolah ikan gabus menjadi albumin atau plasma protein yang mengandung 16 asam amino. Kadar albumin ikan gabus mencapai 62,24 gram per kilogram.

Ia menghasikan 1.000 paket albumin per bulan. Setiap paket berisi dua botol masing-masing bervolume 24 ml. Slamet menghasilkan 6—8 paket albumin dari 10 kg ikan gabus. Adapun harga sepaket albumin Rp125.000. Omzet perniagaan albumin ikan gabus itu mencapai Rp125-juta sebulan. “Sepaket albumin bisa memberikan 0,5 g per dl albumin dalam tubuh kita,” ujar Slamet.
Serbagabus
Menurut Slamet, “Permintaan albumin sejatinya lebih besar daripada itu, tetapi saya memikirkan juga keseimbangan ikan gabus di alam.” Padahal, di luar produksi 1.000 paket, Slamet juga menerima permintaan 2.000 paket rutin setiap bulan. Apalagi, “Jumlah pesanan meningkat sekitar 50 paket per bulan dan terus bertambah sekitar 20% setiap bulan,” kata lelaki yang sudah berwirausaha belia.
Itulah sebabnya Slamet kini tengah menguji coba budidaya ikan gabus di lahan 100 m2 di Desa Tlogo, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Di sana terdapat 5 kolam masing-masing berukuran 20 m2. Jika tak ada aral, Slamet bakal memanen setahun yang akan datang. Ikan gabus itu untuk memenuhi bahan baku albumin yang permintaannya cenderung melonjak.
Slamet merintis usaha produksi albumin di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, pada 2008. Ia memberi merek Saikanku singkatan dari sari ikan kutuk. Kutuk nama lokal untuk ikan gabus di Blitar. “Saikanku mengandung 20% albumin plus rempah-rempah pilihan. Kini Slamet juga mengembangkan beragam varian rasa, antara lain saikanku albumin bercitarasa leci, jeruk, stroberi, dan jambu.

Ia mengombinasikan beragam rempah-rempah untuk menghasilkan produk albumin yang menyehatkan dan enak di lidah. Aromanya juga harum tanpa amis. Agen penjualan albumin berkembang ke berbagai daerah di Indonesia seperti di Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur, Surabaya (Jawa Timur), Jakarta, Medan (Sumatera Utara), dan Semarang (Jawa Tengah).
Slamet berhasrat memproduksi albumin setelah menyaksikan harga produk itu melangit. “Harga 100 ml albumin mencapai Rp1,8-juta. Jangankan orang miskin, orang kaya saja akan berat jika di sodori harga albumin. Padahal albumin sering jadi kebutuhan dasar orang yang sedang sakit,” ujar Slamet. Pikirannya semakin terusik, setelah mengetahui Indonesia menyimpan sumber albumin yang melimpah yaitu pada ikan gabus.
Kini Slamet melebarkan sayap ke produk olahan ikan gabus seperti abon dan kue pastel. Ia menjajakan kudapan itu di warung bubur di Blitar. Slamet mengolah sendiri menu itu dan mengajak para konsumen saikanku untuk datang ke warung buburnya. Produksi abon mencapai 30 kg per bulan, sedangkan kue pastel hanya 20 kg per bulan. Konsumen menggemari kedua penganan berbahan gabus itu.
Banyak rintangan
Slamet Pudjianto tak serta-merta meraih sukses. Ia melampaui beragam hambatan ketika merintis bisnis albumin. “Saat itu saya rela jalan 8 km demi menghemat uang Rp10.000. Dan yang paling menyentuh hati saya, saat uang untuk susu anak terpaksa harus saya gunakan untuk membiayai uji coba menghasilkan albumin. Saat itu saya berjanji kepada anak saya untuk membahagiakannya,” kenang Slamet.

Harap maklum, pada 2008 ayah 2 anak itu belum memiliki pekerjaan tetap. Slamet hanya membantu kerabatnya untuk berbisnis di bidang entertainmen. Itulah sebabnya ketika mengawali bisnis albumin, “Banyak yang mencemooh saya. Saya dibilang pengangguran yang tidak bertanggung jawab kepada keluarga, karena pekerjaan saya hanya mondar-mandir tidak ada hasil yang jelas.”
Mental Slamet semakin teruji karena mengambil albumin dari ikan gabus ternyata bukan hal yang mudah. Kegagalan demi kegagalan menghampiri bungsu 5 bersaudara itu. “Saya menghabiskan ratusan kg ikan gabus untuk bahan eksperimen. Puluhan juta sudah saya keluarkan untuk ujicoba itu,” kata lelaki penyuka beladiri jujitsu itu. Ia menggunakan ikan gabus yang berumur minimal setahun dengan bobot 0,5 kg lebih.
“Ikan yang bobotnya di bawah 0,5 kg, kadar albuminnya belum maksimal,” ujarnya. Kondisi ikan pun tak boleh stres saat sampai di tempat pengolahan. Petugas pembawa ikan harus mengendarai mobil di kecepatan tak lebih 50 km per jam dan 1—2 jam sekali harus berhenti di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum untuk mengganti air. Selain itu, Slamet juga memberikan minyak cengkih sekitar 5 ml yang diencerkan dengan 10 liter air.

“Kondisi ikan gabus yang stres senyawa albuminnya akan rusak,” ujar lelaki kelahiran Surabaya, 19 Januari 1971 itu. Akhirnya pada 2011 secercah harapan muncul. Ia berhasil mengambil senyawa albumin dari ikan gabus melalui metode ekstraksi. Pada awal produksinya, ia mengolah 10 kg ikan gabus per bulan. “Dari 10 kg ikan gabus yang saya ekstrak, menghasilkan 6—8 paket saikanku,”kata Slamet.
Slamet memasarkan saikanku dengan mendatangi rumahsakit, klinik, hingga orang per orang. Proses itu ia lalui tahap demi tahap. “Saya yakin, usaha ini akan berhasil pada waktunya dan saya bisa membahagiakan keluarga saya,” ujar Slamet meyakinkan diri sendiri saat itu. Impian itu kini menjadi kenyataan. Permintaan albumin terus membubung. (Bondan Setyawan)