Wilayah itu kesohor d i K a b u p a t e n S a n g a t t a , K u t a I Timur, dengan nama Rantaupulung. Sepuluh tahun lalu jalan ke sana harus ditempuh dengan menerabas hutan lebat. Kini waktu tempuh cuma 2,5 jam dari Sangatta lantaran hutan dibabat dan terbukanya jalan tanah selebar 6 m, untuk lalu lalang truk pengangkut kayu. Ketika Trubus tiba di sana, tak terasa kelembapan hutan Kalimantan Timur. Panas matahari mencorong membakar kulit. Angin menerbangkan debu di jalan tanah yang membelah desa.
Cuaca Rantaupulung sehari-hari memang seperti itu. Wajar jika sesaat setelah lahan terbuka, para transmigran itu menanam jeruk sebagai salah satu pilihan. Naluri mereka memang tepat. Buktinya, “Jeruk umur 6 tahun menghasilkan minimal 60 kg. Bahkan bisa 150 kg per pohon,” kata Yustinus Setiawan, “Per hektar dengan (isi) 400 tanaman, kita mampu,” tambah penanggung jawab lapangan Community Development Kaltim Prima Coal (COMDEV KPC), yang membina pekebun jeruk di Rantau Pulung.
Tergiur hasil panen yang aduhai, jeruk siem pun kian banyak dipilih penduduk untuk ditanam. Ketika Trubus lewat di jalan desa, di kiri-kanan jalan pada setiap halaman rumah tampak beberapa batang pohon jeruk siem. Di lokasi-lokasi tertentu, halaman belakang penuh berisi hamparan jeruk siem berumur 4—5 tahun. Kelak, 3 tahun mendatang, menurut Yustinus, di Rantaupulung akan ada 300 ha kebun jeruk. Seluas 150 ha untuk siem pontianak. Sisanya keprok borneo.
Kuning di rendah basah
Keprok borneo? Ya, di Rantaupulung, tepatnya di Desa Tanjunglabu, di antara dominasi siem-siem pontianak, terselip 60 batang jeruk berkulit buah kuning, jauh bedanya dengan siem yang hijau. Waktu pertama kali melihat, Ary Supriyanto, kepala Lolit Jeruk dan Nurhadi, ahli jeruk dari Balitbu (Balai Penelitian Buah) Solok menduga, itu siem pontianak yang terserang phytophthora. Efek serangan cendawan itu mempengaruhi warna buah. Siem yang semula berkulit hijau berubah menjadi hijau kekuningan.
Pada kunjungan berikutnya—Nurhadi dan Ary diundang untuk mendeteksi kehadiran CVPD pada jeruk siem di Rantaupulung—terbukti dugaan itu salah. Tak ada jejak phytophthora di tanaman itu. “Ini keprok dataran rendah basah,” ujar Ary meyakinkan.
Keprok dataran rendah basah. Itulah kunci spektakulernya temuan varietas baru ini. Beberapa jenis keprok memang dikenal tumbuh di dataran rendah. Namun, semua dataran rendah kering. Ambil contoh keprok madura. Setelah kulit terkelupas, septa daging buahnya mudah lepas. Warna daging jingga, tekstur lembut dan berbiji sedikit. Rasanya manis menyegarkan. Hanya saja kulitnya tetap kehijauan.
Kuningnya kulit keprok di Desa Tanjunglabu milik Sarmin itu dapat dibandingkan dengan keprok pulung. Keprok milik Sarmin kulitnya kuning menyala, sama dengan pulung. Bedanya, kuningnya kulit keprok pulung lantaran ia tumbuh di ketinggian 700 m dpl; keprok Sarmin, 50 m dpl.
Lekukan di bagian belakang buah, mudah dibuka, kulit tidak melekat di daging buah, dan teruar aroma ketika buah dibelah. Semua ciri keprok itu dijumpai di jeruk milik Sarmin. Istimewanya, kulit kuning menyala walapun tempat tumbuhnya cuma 50 m dpl.
Menurut Ary Supriyanto, perbedaan suhu siang dan malam sangat berpengaruh pada penampilan kulit jeruk. Kian tajam perbedaan suhu itu, semakin bagus warna kulit jeruk. Faktor lain ialah ketinggian tempat. Semakin tinggi tempat tumbuh jeruk, kian kuning kulitnya. Pada ketinggian 400—500 m dpl, warna kulit jeruk tidak mungkin kuning. Pengecualian kini terjadi pada keprok di Tanjunglabu itu.
Diseleksi
“Jeruk ini untuk alternatif siem pontianak,” usul Ary. Siem pontianak banyak dijumpai di dataran rendah basah. Tampilannya tidak begitu kinclong karena kulitnya hijau dengan sedikit semburat kuning. Kini keprok di Tanjunglabu cocok ditanam di dataran rendah basah. Kulitnya kuning, dan yang pasti, itu keprok.
Varietas baru itu kini dinamai keprok borneo prima. Jika dulu borneo prima di kebun Sarmin sulit terlihat karena tertutup ilalang, kini ia dipelihara. Kebun bersih dari gulma pengganggu. Dua dari 60 tanaman yang tersisa sudah dibawa ke Lolit Jeruk di Tlekung, Malang, untuk diseleksi, mencari yang terbaik.
Saat ini tinggi borneo prima di kebun Sarmin sekitar 2,5 m dengan diameter batang 5 cm. Percabangan tidak teratur, tajuk mengerucut ke atas. Ketika kulit buah dikupas, aroma harum langsung tercium. Daging buah yang oranye menyala itu tampak kering, tetapi begitu digigit nyes… rasa manis asam terasa menyegarkan lidah. Ukuran buah lumayan, 1 kg berisi 5 butir buah. Per pohon umur 8 tahun berbuah sekitar 60 —80 kg.
Itulah borneo prima, keprok dataran rendah basah. Dari Rantaupulung di pelosok Sangatta, Kutai Timur, kini ia melanglang buana ke Malang, Jawa Timur. Di sana ia dibersihkan, diseleksi, diperbanyak, dan siap menyaingi siem pontianak, si raja jeruk dataran rendah. (Onny Untung)