Friday, March 7, 2025

Sumaji: Dobrak Tirai Pasar Beras “Sehat”

Rekomendasi

Pedagang di Jakarta meminta 1.000 ton mentikwangi dan 1.500 ton IR 64. amun, karena pasokan beras organik belum memadai, pemenang pertama Supra Insus asional 1999 itu cuma sanggup memasok mentikwangi dan IR 64 masing-msing 400 ton.

Dari penjualan beras organik itu laba yang diraup Sumaji sebesar Rp320-juta. Sejak 2003, pedagang di Pasar Cipinang, Jakarta Timur, rutin meminta pasokan beras organik dari Sumaji. Volumenya berkisar 375—400 ton. Beras itu diperoleh dari kebun sendiri seluas 4 ha. Sebagian lain dari petani di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Sumaji memang menjalin kemitraan dengan lebih dari 351 petani di sana.

Anak ke-2 dari 6 bersaudara itu memperhatikan kualitas beras petani lainnya. Mutu beras dikontrol berdasar kadar kebeningan dan jumlah menir. Untuk kategori medium, kadar kebeningan 100% dan menir 25%; super; 100% dan 5—10%. Kualitas itulah yang menentukan harga jual. Contoh, harga mentikwangi kualitas medium di tingkat petani Rp3.000/kg; super, Rp3.150/kg. Pada acara lelang, Sumaji menjual beras organik itu seharga Rp3.500/ kg untuk medium dan super Rp3.800/kg.

Tingginya permintaan dari Jakarta dan berbagai kota itu belum diimbangi perluasan lahan karena keterbatasan modal. Selain itu juga lantaran kesibukan pria kelahiran 43 tahun silam itu sebagai ketua Koperasi Ngudirejeki. Tugas yang diemban sejak 2000 itu mengharuskan Sumaji mengurus penjualan beras organik kelompoknya.

Pindah ke organik

Tekad Sumaji berkebun organik dimulai pada 1999. Pemicunya adalah produksi padi yang dibudidayakan secara konvesional kian merosot. “Biasanya 1 patok (0,5 ha, red) bisa ditaksir Rp1,2-juta. Namun, panen terakhir (pakai anorganik, red), hasil yang didapat hanya Rp600-ribu,” ujar ayah 3 putra itu. Tanahnya mengeras. Ia ingat persis, dulu kakeknya bertani tanpa pupuk kimia, tapi hasilnya bagus. Fakta itulah yang mendorong Sumaji beralih ke budidaya organik.

Untuk menambah wawasan bertani organik secara benar, Sumaji mengikuti Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu selama 4 bulan pada September 2001. Di sana ia belajar pembenihan, tanam, pemeliharaan, sampai panen.

Lahan seluas 4 ha warisan orang tuanya itu lalu ditanami padi varietas IR 64. Sumaji memilih varietas itu lantaran kurangnya pengetahuan akan varietas unggul. Ia mengikuti jejak orang tuanya yang menggunakan IR 64. Sejak 2001, ia menanam mentikwangi lantaran lebih kebal terhadap hama dibandingkan IR 64. Di Kabupaten Sukoharjo, pria kelahiran Demak itu merupakan salah satu perintis beras organik.

Kendala

Perjalanan Sumaji bertanam secara organik tak mulus. Pada awal produksi, ia merasakan kerikil tajam. Produksi perdana

padi organiknya lebih rendah daripada ketika masih menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Padi organik yang dihasilkan sebesar 5 ton gabah kering giling (GKG)/ha, sedangkan anorganik, 6 ton. Karena rendahnya produksi, Sumaji pun mendapat cemooh dari petani anorganik. Toh, ia bergeming.

Kendala lain di sekitar pemasaran. Masyarakat belum memahami kelebihan beras organik sehingga harga jual sama dengan beras nonorganik. Pada 2001, misalnya. Harga 1 kg beras organik  Rp 2.000/kg sama dengan beras nonorganik. Akibatnya Sumaji rugi lantaran saat itu produksinya rendah dibanding nonorganik. Untuk menekan kerugian ia menjual kepada anggota kelompok tani organik. “Karena waktu itu belum punya pasar,” ujar jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Tunas Pembangunan di Surakarta itu.

Kondisi itu tak menyurutkan langkah Sumaji berorganik. “Malah menjadi semangat bagi saya untuk mencari pupuk yang tepat agar produksi meningkat,” katanya. Ia bersama anggota Kelompok Tani Ngudirejeki lainnya berusaha meramu formula pupuk yang tepat. Mulai dari humus dan sampah rumah tangga pernah ia pakai. Impian itu akhirnya menjadi kenyataan. Campuran empon-empon, arang sekam, jerami, kotoran dan urin sapi yang telah difermentasi dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi tanaman.

Meningkat

Pupuk itu ditebarkan di lahan yang telah diolah, volumenya 3 ton per ha. Produksi yang awalnya rendah terus meningkat. Panen kedua menjadi 6 ton GKG/ha. Dengan rendemen 60%, maka beras yang dihasilkan 3,6 ton per ha. Rata-rata produksi beras organik pada 2005 sebesar 8—9 ton/ha. Produksi tinggi tanpa diimbangi ketersediaan pasar menjadi perhatian Sumaji. Untuk mengatasi hal itu ketua Koperasi Kelompok Tani Ngudirejeki itu langsung mendatangi pasar. “Di mana ada peluang menjual, di situ kita samperi,” ujarnya.

Contoh ketika Gubernur Jawa Tengah menghimbau setiap pegawai negeri membeli beras langsung ke petani. Sumaji pun langsung mendatangi dinas-dinas di Provinsi Jawa Tengah untuk menawarkan beras organiknya. Ia pun  kerap mempresentasikan kelebihan padi organik. Upaya itu tak sia-sia karena pada 2003 pesanan 64,5 ton/bulan ia raih.

Melihat hasil panen terus meningkat dan tersedianya pasar, petani anorganik lain pun tergoda untuk bergabung mengikuti jejak Sumaji. Pada1999, terdapat 15 kelompok tani organik di Kabupaten Sukoharjo yang masing-masing beranggotakan 20—30 petani. Kini, jumlah kelompok tani menjadi 117, dengan anggota sekitar 30—80 petani.

Selain pada acara lelang, Sumaji menjual beras organik ke pasar umum, Bekonang dan Legi. Pasokan per bulan mencapai 150 ton. Dengan harga jual ke pengecer Rp4.500/kg, omzet penjualan Rp675-juta. Setelah dikurangi biaya produksi, laba bersih yang diraih Rp150- juta.

Untuk dinas-dinas pemerintahan, Sumaji rutin memasok IR-64 dan mentikwangi kualitas super. Yang disebut pertama sejumlah 6,5 ton/bulan, sedangkan mentikwangi, 58 ton/bulan. Tak diragukan lagi, semua itu akan mempertebal rekening Sumaji di bank. (Rosy Nur Apriyanti)

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Peneliti BRIN Ungkap Strategi Tingkatkan Produktivitas Kelapa 

Trubus.id–Penurunan luas lahan, produksi, dan produktivitas kelapa di Indonesia menjadi perhatian utama dalam sektor perkebunan. Berdasarkan data Statistik Perkebunan...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img