Sumarto Sarnadi memagari lahan cabai dan bawang merah total 1.000 m2 dengan sebutan insect screen alias insect net. Pekebun di Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah, itu menanam cabai merah dan bawang merah di guludan setinggi 40 cm. Antarguludan terpisah parit selebar 50 cm berisi air setinggi 10—15 cm. Sumarto membuat rumah jaring selebar 10 m dengan panjang 50 m dan tinggi 3 m.
Di lahan itu terdapat sebuah rumah tanam. Ia memasang jaring di rangka bambu utuh. Dengan cara itu, tanaman terbebas dari serangan ulat atau hama lain. Ia menempuh jalan itu untuk menyongsong bulan puasa dan Idul Fitri, harga cabai melonjak fantastis. Usai panen, ia membongkar jaring itu dan menggulung kembali.
Impor
Permintaan cabai merah memang tidak pernah berkurang. Menjelang Idul Fitri atau pergantian tahun, permintaannya justru melonjak. Pasokan yang terbatas—cenderung berkurang lantaran sebagian petani menanam mentimun emas, belewah, atau melon sebagai menu berbuka puasa—membuat harga cabai menyentuh langit sebelum ibadah puasa dimulai. Saat harga mencapai Rp70.000 per kg beberapa tahun silam, Sumarto dan tetangga di sekitarnya bisa merenovasi rumah.
Menjelang pergantian 2014 ke 2015, harga cabai terkerek menjadi Rp120.000 per kg. Pedagang makanan tradisional di pasar Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, sampai tidak menyertakan cabai dalam kemasan makanan yang mereka jual. Namun, ketika banyak petani cabai panen raya pada permulaan musim kemarau, pasokan melimpah-ruah. Harga pun terjerembap sampai Rp11.000 per kg di pasar, setara Rp6.000—Rp7.000 di tingkat pekebun.
Bagi Tatang Sutansyah di Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, cabai adalah pilihan hidup. “Saya tetap menanam cabai terlepas harganya tinggi atau rendah. Kalau sekarang rendah pasti lain waktu tinggi, itu pasti. Hanya soal waktu,” kata pria 54 tahun yang masih lincah menghela motor trail itu. Berbeda dengan Sumarto, Tatang tidak memberikan perlakuan khusus. Ia hanya memberikan pupuk dasar kotoran ayam dan pupuk susulan amonium nitrat alias ZA.
Masyarakat mengolah cabai untuk mengambil rasa pedasnya. Taburan cabai merah kering menguarkan aroma pedas dan memerahkan kuah panas empal gentong khas Cirebon, Jawa Barat. Dilengkapi dengan rajangan bawang merah goreng, bendungan nafsu makan pun jebol. Selain dalam empal gentong, cabai dan bawang merah pun berpadu harmonis dalam tahu gejrot, juga kuliner khas Cirebon. Hanya dengan irisan cabai, bawang merah, tahu, dan siraman kecap manis encer, lidah pun bergoyang dan mendesis.
Cabai dan bawang merah komoditas pertanian yang diimpor untuk sekadar meredam gejolak harga. Pada 2010—2013, volume impor cabai merah mencapai 35.720 ton senilai US$38,91-juta. Periode sama, impor bawang merah sebanyak 452.070 ton senilai US$219,79-juta. Menurut data Kementerian Pertanian, konsumsi cabai merah per kapita pada 2013 mencapai 1,4 kg (lihat grafik Konsumsi Cabai Merah per Kapita per Tahun). Dikalikan 250-juta penduduk, kebutuhan cabai merah Indonesia pada 2013 sebanyak 350.000 ton, sementara konsumsi bawang merah 500.000 ton.
Produksi dalam negeri sejatinya melebihi kebutuhan, jika tanpa ekspsor. Volume ekspor cabai kita rata-rata 20 ton per tahun atau 240 ton setahun. Pada 2013 panen cabai merah mencapai 1,01-juta ton dari lahan 124.110 ha. Itu 3 kali kebutuhan pada tahun sama. Sementara panen bawang merah juga 1,01-juta ton dari lahan 99.000 ha—2 kali kebutuhan. Itulah sebabnya peningkatan produktivitas cabai dan bawang merah sebuah keniscayaan. (Argohartono Arie Raharjo/Peliput: Muhamad Fajar Ramadhan)