Kandungan gula 12—15% menjadikan air nira bagai “surga” bagi mikrob. Kehadiran gerombolan liliput itu mempercepat kerusakan nira aren atau kelapa. Sebelum nira basi, produsen gula merah harus secepat mungkin mengolah nira setelah menyadap. Perajin gula merah di berbagai tempat punya cara berbeda untuk menghambat aktivitas bakteri. Perajin gula aren di Pacitan, Jawa Timur memasukkan gumpalan lumut ke dalam bumbung bambu berisi air nira.
Menurut produsen gula palma di Jombang, Slamet Sulaiman, lumut yang dalam sebutan lokal bernama jenggot wesi itu mengawetkan nira. Peneliti di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr. Harry Wiriadinata menyatakan, lumut jenggot itu menghambat pertumbuhan mikrob yang merusak nira. Lumut jenggot Usnea sp itu melekat di batang pohon di pegunungan.
Usnea tahan kekeringan dan membentuk lapisan bertumpuk sampai memanjang menyerupai janggut. Saat kemarau, lumut yang tergolong lumut kerak (lichen) itu tampak mengering, tapi kembali segar ketika memasuki musim hujan. Lichen terbentuk oleh 2 organisme, yaitu cendawan (fungi) dan ganggang (alga). Cendawan berfungsi melekat di substrat, menangkap air dari udara atau substrat, serta mineral dari substrat.
Adapun peran ganggang mengolah air dan mineral dari cendawan dengan fotosintesis lalu membagikannya kepada fungi. Dalam disertasi “Isolasi dan Penentuan Struktur serta Uji Bioaktivitas Senyawa Kimia dari Ekstrak Aseton Lichen Usnea blepharea dan Usnea flexuosa”, periset di Program Doktor Ilmu Kimia Universitas Indonesia, Maulidiyah menyatakan, lichen mempunyai batang semu (talus) yang khas.
Karena terbentuk dari gabungan 2 organisme, bentuk talus lichen berbeda dengan talus cendawan atau ganggang penyusunnya ketika masing-masing hidup sendiri. Itulah yang menjadikan lumut kerak adaptif dan cenderung tahan stres. Kemampuan bertahan di bawah cekaman.
“Jenis lumut tertentu malah tumbuh di dinding kawah gunung aktif,” kata periset di Kebun Raya Cibodas, Cianjur, Taufikurrahman Nasution, S.Si, M.Si. Namun, daya tahan itu juga mengusik banyak orang. Maklum, kehadiran lumut mempercepat pelapukan dinding tembok. Dalam tangki air yang berwarna terang dan tembus sinar matahari, lumut bisa tumbuh sehingga kadang menyumbat pipa atau keran di rumah.
Walau sebenarnya kerusakan akibat lumut terbilang ringan lantaran pertumbuhannya sangat lambat. Menurut Maulidiyah kecepatan tumbuh lumut hanya 0,1—10 mm per tahun. Itu jauh lebih lambat ketimbang pertumbuhan kuku jari tangan manusia, 0,095—0,123 mm per hari. Artinya, pengaruh cuaca seperti hujan asam lebih serius ketimbang lumut. Meski banyak yang membenci, sejatinya lumut juga berperan penting dalam kehidupan.
Pemanfaatan lain lumut adalah sebagai media tanam. Jenis yang digunakan biasanya Sphagnum (sphagnum moss). Sphagnum mampu menyimpan air tanpa tergenang sehingga cocok untuk menopang pertumbuhan berbagai jenis tanaman hias. Tanaman hias dari famili Araceae seperti aglaonema, anthurium, atau caladium; tanaman karnivora (nepenthes, dionaea, sarracenia); atau anggrek—semua tumbuh dengan baik dengan media sphagnum.
Dari 380 spesies sphagnum, kebanyakan dijumpai di belahan bumi utara. Di Taman Lumut Kebun Raya Cibodas ada berbagai spesies sphagnum, salah satunya asli Indonesia, yaitu S. gedeanum. Sphagnum disebut juga lumut gambut dan tergolong lumut sejati—artinya menyerupai tumbuhan kecil lengkap dengan akar, batang, dan daun. Tidak seperti lichen yang bersimbiosis dengan cendawan untuk memperoleh air maupun mineral, sphagnum cukup menggunakan akarnya sendiri untuk memperoleh kedua komponen vital itu.
Untuk mencangkok berbagai pohon kayu, anggota staf perawatan tanaman Kebun Raya Cibodas menggunakan lumut Hypnum. Menurut Taufikurrahman lumut itu mampu menyimpan air sehingga staf tidak perlu sering menyiram cangkokan. “Keberhasilan pencangkokan meningkat 70% lebih,” kata alumnus Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor itu. Maklum, sebagai lembaga penelitian, Kebun Raya Cibodas mendapat mandat melestarikan tanaman lambat tumbuh.
Salah satunya saninten Castanopsis argentea, yang digadang-gadang sebagai almon asli Indonesia. Saninten tergolong pohon dataran tinggi dan memerlukan iklim lembap di ketinggian lebih dari 800 meter di atas permukaan lalut (dpl) untuk pertumbuhannya. Lazimnya pohon dataran tinggi, riap tumbuh saninten kecil, kurang dari 5 cm per tahun. Anggota famili Fagaceae itu berbuah di umur 10 tahun, bahkan lebih.
Sayang, buahnya disukai satwa maupun manusia sehingga buah yang jatuh jarang bertahan menjadi pohon baru. “Kayunya berkualitas tinggi sehingga dimanfaatkan untuk pertukangan,” kata Taufikurrahman. Perbanyakan vegetatif, seperti pencangkokan yang dilakukan di Kebun Raya Cibodas, menjadi solusi memperbanyak dalam waktu singkat. Para periset mencangkok saninten dengan media lumut. Salah satu keunggulan lumut adalah sifat antimikrob.
Itu sebabnya tumbuhan perintis itu menjadi media tanam atau perbanyakan favorit lantaran menghambat pertumbuhan cendawan patogen. Menurut Taufikurrahman lazimnya untuk membuat herbarium (awetan tanaman), ia harus mengeringkan bagian tanaman yang akan diawetkan, merendamnya dalam alkohol 70%, dan mengulang perlakuan itu setiap beberapa bulan untuk mencegah pertumbuhan cendawan perusak.
Lumut tidak memerlukan perlakuan itu. “Kering anginkan lalu simpan, herbarium lumut awet puluhan tahun,” kata pria kelahiran Padangsidempuan, Sumatera Utara itu. Kemampuan itu karena lumut kaya komponen fenolik, yang melindunginya dari stres akibat lingkungan maupun kompetisi dengan organisme lain. Zat fenolik itu jugalah yang mencegah kerusakan sel ketika lumut kekurangan air, terutama ketika kemarau.
Itu sebabnya, “Etnis tertentu memanfaatkan lumut untuk pengobatan tradisional,” kata Harry Wiriadinata. Atas dasar itu juga peneliti di dunia, termasuk di Indonesia, melirik lumut sebagai sumber bahan obat potensial. Apalagi lumut tumbuh di seluruh dunia, bahkan sampai kutub utara. Peneliti di Depatment of Biological Sciences, Presidency University, Kolkata, India Abhijit Dey dan Anuradha Mukharjee membuat risalah dari berbagai riset tentang kandungan zat antikanker pada lumut.
Salah satu yang banyak diteliti adalah lumut hati, terutama genus Marchantia. Menurut Taufikurrahman, Marchantia adalah salah satu genus lumut yang adaptif dan tersebar luas. Lantaran dijumpai di seluruh dunia, genus itu menjadi bahan riset peneliti di berbagai belahan dunia. Beberapa kandungan pentingnya antara lain markantin, neomarkantin, rikardin, plagiosin, isoplagiosin, dan lunularin.
Dalam laporan “Therapeutic Potential of Bryophytes and Derived Compounds Against Cancer“ yang termuat dalam Journal of Acute Disease tahun 2015, Abhijit menyatakan bahwa zat-zat tersebut menunjukkan aktivitas sitotoksik (penghambatan) terhadap berbagai jenis sel kanker secara invitro (penelitian menggunakan cawan pembiakan).
Tidak hanya lumut hati, riset Maulidiyah menunjukkan bahwa lumut lichen pun menunjukkan bioaktivitas penghambatan terhadap sel leukemia dan parasit penyebab malaria Plasmodium falciparum. Zat penting dalam lichen antara lain asam usnat, eumitrin A dan M, serta asam difraktat. Eumitrin A mampu menghambat pertumbuhan sel leukemia, sedangkan eumitrin M menghambat perkembangan Plasmodium. Kemampuan itu membuktikan pentingnya lumut bagi manusia.
Jenis tanaman anggota grup Bryophyta lain yang berfaedah adalah lichen Ramalina inflata. Lumut yang banyak menempel di batang pohon itu berkhasiat mengatasi tuberkulosis (TB). Lichen juga potensial sebagai sumber wewangian. Sebab, aroma mossy senyawa orsinol dan metil everninat pada lichen Evernia prunastri, menjadi bahan utama parfum.
Salah satu pemanfaatan lumut paling mutakhir adalah sebagai komponen akuaskap. Taufikurrahman yang juga pehobi akuaskap, menyatakan jenis yang biasa digunakan antara lain Taxyphillum atau Riccia banyak tersedia di penjual perlengkapan akuaskap. Ayah 1 anak itu menduga lumut akuaskap itu didatangkan dari mancanegara. Pasalnya, “Lumutnya harus jenis akuatik. Kalau mengambil dari alam repot karena harus melakukan aklimatisasi sendiri,” katanya.
Berbagai kegunaan itu mendorong Kebun Raya Cibodas membuka taman lumut sejak 2006. Awalnya taman seluas 1.500 m2 itu berisi 235 jenis lumut. Sayang, “Beberapa jenis tumbuh dominan sehingga yang lain terdesak,” kata anggota staf Dokumentasi dan Informasi Kebun Raya Cibodas, Yetty Lestriani. Taufikurrahman menduga, saat ini jumlahnya tinggal sekitar 100 jenis. Apalagi beberapa bulan silam, salah satu pohon peneduh tumbang akibat terpaan hujan angin. Menurut Yetty, mereka berencana menempatkan setiap jenis lumut dalam wadah terpisah. Dengan demikian koleksi lumut yang tidak ternilai itu lestari. (Argohartono Arie Raharjo)