Namun, sekarang kita dapat dengan mudah menemukan rumah walet di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Bali. Bahkan Sulawesi yang dulu bukan daerah penyebaran walet sarang putih, kini ikut mengembangkan.
Ledakan budidaya walet terjadi setelah diselenggarakan lokakarya CITES (Convention of International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) mengenai perdagangan walet pada November 1996 di Surabaya. CITES merupakan sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh 167 negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk mengatur perdagangan satwa dan tumbuhan langka. Di dalamnya terdapat komite-komite—di antaranya komite satwa—yang bertugas mengkaji perdagangan satwa langka dan produk yang dihasilkannya.
Lokakarya itu dilatarbelakangi tingginya nilai ekspor sarang walet Indonesia. Komite satwa khawatir terjadi pemanenan sarang walet yang tidak lestari. Oleh karena itulah komite ini mengagendakan walet masuk dalam apendiks II CITES. Artinya hanya boleh diperdagangkan dengan kuota yang diatur oleh komite satwa.
Di dalam lokakarya internasional itu pengusaha walet Indonesia akhirnya dengan terpaksa mengungkapkan rahasia budidaya walet secara lestari. Hasilnya cukup menggembirakan, sarang walet batal dimasukkan ke dalam apendiks II. Namun, implikasinya memicu banyak orang mengembangkan budidaya walet sebagai bidang usaha baru.
Tak hanya di Indonesia, ledakan budidaya walet juga melanda Malaysia dan Th ailand, bahkan Filipina. Di Malaysia pada awalnya budidaya walet hanya di Pulau Penang, sekarang menyebar hingga Bintulu di Serawak dan daerah yang berbatasan dengan Th ailand. Negeri jiran itu sangat mendukung pengembangan usaha budidaya walet lantaran keuntungan yang diperoleh demikian besar.
Buka lapangan kerja
Usaha walet sebenarnya berpotensi memulihkan kondisi ekonomi. Lihat saja, pembangunan rumah walet di berbagai daerah menyerap banyak tenaga kerja. Karena rumah walet itu pula para pedagang bahan bangunan turut bergairah. Lalu setelah bisnis ini mulai jalan, ribuan tenaga kerja diperlukan untuk keamanan, pemanenan, dan pencucian sarang. Sebagai gambaran, dalam satu usaha pencucian sarang setidaknya dibutuhkan 10—15 pekerja yang nota bene ibu-ibu rumah tangga.
Budidaya walet juga memberi andil dalam pemasukan devisa. Sebagai pengekspor terbesar sarang walet—memasok 70% kebutuhan pasar dunia—pada 1980-an Indonesia mengekspor 70-an ton per tahun. Sekarang jumlahnya mencapai 200 tonan atau senilai US$450-juta. Sarang diekspor ke negara-negara Singapura, Hongkong, RRC, Malaysia, dan Taiwan.
Sayang, maraknya usaha pembudidayaan walet di Indonesia diikuti konflik dengan lingkungan atau masyarakat. Beberapa kali surat kabar daerah dan ibukota mengekpose wabah demam berdarah, campak jerman, dan chikungunya. Meski secara ilmiah dan medis belum pernah terbukti, budidaya walet dituding sebagai penyebabnya.
Sebenarnya konflik itu lebih disebabkan oleh kesenjangan sosial antara penduduk dan pemilik rumah walet. Buktinya, di daerah sentra budidaya walet lama konflik tidak pernah ditemukan. Konflik hanya terjadi di sentra baru, seperti di Medan dan Pekanbaru.
Pemerintahan kota Medan pun pernah merencanakan pemindahan rumah-rumah walet di tengah kota ke daerah pinggiran. Itu akibat ketidakpahaman mengenai budidaya walet. Lokasi budidaya walet tidak bisa dipindahkan seperti ayam, sebab walet hidup liar. Apabila rumah walet yang sudah berproduksi dipindahkan, penghuninya tidak bisa ikut serta.
Perlu diatasi
Masalah lain ialah suara bising pengeras suara untuk memancing walet. Sebenarnya hal ini mudah ditanggulangi dengan mengatur waktu aktif pengeras suara. Namun, masih banyak pengusaha walet yang kurang memperhatikan lingkungan. Mereka membiarkan pengeras suara aktif terus-menerus selama 24 jam. Permasalahan seperti itu tidak akan terjadi jika sejak awal pengusaha dan pemerintah daerah mematuhi rencana tata ruang dan wilayah sebuah daerah.
Jika pemerintah dan masyarakat tidak memberi dukungan bagi perkembangan bisnis sarang walet, keunggulan teknologi budidaya yang dimiliki akan sia-sia. Indonesia negara dengan teknik budidaya walet paling maju di dunia. Dulu untuk mendapatkan sarang dari sebuah rumah butuh waktu 10—15 tahun, kini hanya 3,5 tahun. Bisnis walet di tanahair akan terhambat jika kita selalu apriori terhadap usaha ini.
Dampak negatif usaha budidaya walet harus diatasi, bukan dihentikan. Jangan sampai karena hendak membunuh seekor tikus, lumbung padi kita bakar. Makanya, agar bisnis berjalan dengan dampak negatif sekecil mungkin, sumber daya hayati itu harus dikelola sebaik-baiknya. Budidaya walet yang memperhatikan aspek lingkungan, tata ruang wilayah, dan estetika merupakan sebuah potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk. ***