Tarabas padi lokal bercita rasa pulen, menandingi beras jepang.
Nasi yang tersaji itu tampak putih bersih, pulen, bahkan cenderung lengket layaknya nasi ketan. Para penikmat memungkinkan menyantap dengan sumpit. Itulah nasi asal padi tarabas, hasil pemuliaan petani lokal di Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Asep Maolana Yusuf. Nasi tarabas—diambil dari bahasa Sunda bermakna terobos—termasuk tipe japonica.
Menurut peneliti di Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa), Subang, Jawa Barat, Trias Sitaresmi, SP., tarabas memiliki keunggulan pada mutu beras yang sangat baik dan memenuhi standar beras japonica premium. Beras japonica, terutama jenis mochigome, bertekstur agak lengket dengan bentuk bulir yang pendek dan bulat. Nasi tarabas agak lengket karena kadar amilosa rendah, hanya 17%.
Makin luas
Trias Sitaresmi menuturkan, makin rendah kadar amilosa maka nasi makin pulen atau lengket. Bandingkan dengan beras tipe javanica yang umumnya dibudidayakan oleh para petani di Indonesia berkadar amilosa sedang, yakni 21—25%. Varietas tarabas itu tergolong sebagai sticky rice (lengket). Produksi padi tarabas mencapai 4,5—6 ton gabah kering panen per hektare. Walaupun rendah, tarabas diyakini dapat mengurangi impor beras tipe japonica.
Kelebihan lain dari varietas itu adalah tahan terhadap serangan penyakit blas akibat cendawan Pyricularia grisea dan penyakit tungro (virus tungro). Kedua penyakit itu sering mengganggu pertanaman padi. Namun, varietas itu juga masih memiliki kelemahan khususnya dalam ketahanan terhadap wereng batang cokelat Nilaparvata lugens dan hawar daun bakteri atau kresek akibat serangan bakteri Xanthomonas oryzae. Asep kali pertama membudidayakan padi tarabas di lahan 1 hektare pada 2002.
Pekebun 45 tahun itu tertarik dengan satu rumpun padi yang penampilannya berbeda di antara hamparan padi lainnya. “Daunnya berdiri tegak. Fungsinya untuk melindungi malai padi dari incaran burung pengganggu,” ujarnya.Menurut Asep tangkai buah juga kuat sehingga tidak mudah patah dan bulir pun tidak mudah rontok. Tanamannya juga mudah beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat.
Karena penasaran, Asep mencoba menanam varietas tarabas. Tinggi tanaman padi lokal itu 120 cm dan berumur panen 130 hari setelah semai atau 108 hari setelah tanam. Asep berhasil memanen 5 ton per ha. Kini Asep dan petani lain di Subang dan sekitarnya menanam padi tarabas di lahan 100 hektare. “Dengan penanaman rutin, diharapkan dapat mengurangi volume impor untuk padi tipe japonica,” katanya.
Volume impor beras Indonesia makin tinggi setiap tahun. Menurut Ketua Kelompok Peneliti Pemuliaan Balitpa, Dr. Ir. Satoto, MS, “Dengan adanya tarabas di Indonesia terutama Subang, Karawang, dan sekitar Jawa Barat, diharapkan tidak perlu lagi mengimpor beras dengan ciri tekstur nasi yang sangat pulen dan kadar amilosa yang rendah,” ujar Satoto.
Tahan penyakit
Menurut pemulia Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Dr. Aris Hairmansis, M.Si., varietas tarabas bermakna suatu terobosan dari Kementerian Pertanian yang ingin pada 2017 dan seterusnya berhenti mengimpor beras. Kementerian Pertanian menyatakan, Indonesia berhenti mengimpor beras untuk keperluan khusus sampai hasil panen 2016. Setiap tahun impor beras untuk keperluan rumah makan, hotel, dan kafe mencapai 500.000 ton.
Jenis beras itu disajikan untuk menu makanan Jepang, Taiwan, dan Korea.Harga beras tarabas dua kali lipat dari beras pada umumnya, yakni Rp 20.000 per kg. lazimnya hanya Rp8.000—Rp10.000 per kg. Jadi untuk berbisnis petani bisa untung berlipat. “Bila benih tarabas dilepas maka petani punya peluang untuk mengembangkan benih ini,” ujar Aris.Tarabas sejatinya padi lokal yang sudah ada sejak 1996.
Badan Litbang Pertanian terus berupaya untuk memperbaiki ketahanan tarabas dengan cara menyilangkan dengan varietas unggul lain yang lebih tahan terhadap wereng batang cokelat maupun hawar daun bakteri. Para periset di Balitpa merekomendasikan budidaya tarabas di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai menengah, di daerah yang bukan endemik wereng batang cokelat dan kresek.
Teknologi budidaya yang dianjurkan untuk tarabas berberpedoman pada prinsip-prinsip Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).“Varietas tarabas digunakan untuk keperluan pangan khusus. Beras dari jenis padi tarabas sebagian besar untuk konsumsi rumah makan, hotel, dan kafe,” ujar Dr. Aris Hairmansis, M.Si. Balitpa juga gencar mengembangkan padi inpari agritan 42 dan 43GSR.
Tim peneliti Balitpa (Zhikang Li, Jauhar Ali, Untung Susanto, Nafisah, Satoto, MY. Samaullah, dan Zulkifli Zaini) menguji multilokasi di Desa Gelik, Kecamatan Selakau Timur, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Tim peneliti Balitpa menanam inpari agritan 42 dan 43 GSR dengan sistem tanam jajar legowo 4:1. Produksi inpari agritan 43 GSR mencapai 7,5 ton per ha dan inpari agritan 42 GSR 8 ton per ha.
Varietas inpari agritan 42 GSR panen pada umur 112 hari setelah semai.Tekstur nasi inpari agritan 42GSR pulen dan kandungan amilosa 18,84%. Rendemen beras giling 69,4%, agak tahan wereng batang cokelat biotipe 1, agak tahan hawar daun bakteri patotipe III, tahan blas daun ras 073, dan agak tahan blas daun ras 033. Tekstur nasi inpari agritan 43 GSR pulen, kadar amilosa 19%, dan rendemen beras giling 70,1%.
Tanaman siap panen pada umur 111 harisetelah semai,tahan hawar daun bakteri patotipe III, agak tahan hawar daun bakteri patotipe IV dan VIII. Selain itu inpari 43 juga tahan blas daun ras 073 dan 133, dan agak tahan blas daun ras 033. Keunggulan lainnya yaitu beras lebih pulen daripada inpari 42 agritan GSR. Warna benih lebih bening seperti kristal dan mampu berproduksi tinggi dalam cekaman kekeringan.
Sifat benih yang bagus tak ada artinya jika cara budidaya salah. Asep pun menyadari hal itu. Untuk 1 ha lahan diperlukan 20 kg benih. Penanaman dimulai dengan pengolahan lahan. Ia memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk. Jarak tanam 20 cm x 20 cm. Selang 7 hari setelah penanaman, dilakukan pemupukan dengan dosis 1 kuintal Urea, 1 kuintal ZA, dan 3 kuintal ponskha. (Tiffani Dias Anggraeni)