Senyum kecut menghiasi bibir Tarsih Cuk Soenomo pada 1999. Betapa tidak 250 g olahan keripik jamur perdananya gagal total. “Rasanya enak, tetapi kerasnya bukan main,” tuturnya sambil mengenang. Namun, berkat kegigihan untuk terus mencoba, kini keripik jamur Tunjung-3 nan gurih menjadi penganan khas Yogyakarta.
Setiap hari Sutarsih Sumarheni mengolah 5 kg jamur segar. Produknya yang dijual Rp6.000— Rp7.000 per bungkus merambah toko-toko di seputaran Yogyakarta. Banyak kalangan menyukai keripik Tunjung-3 yang berasa gurih itu. Wajar jika setiap bulan sebanyak 300 bungkus dengan kemasan 100 g di outlet Mal Galeria, laris manis.
Karena kelezatannya, beberapa kali olahan wanita kelahiran 4 September 1945 itu mewakili Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diikutsertakan pada pameran-pameran di Jakarta. Beberapa tamu undangan Departemen Perindustrian dan Perdagangan dari luar negeri yang berkunjung kepincut mencicipinya.
Sewa kumbung
Semula Tarsih tidak menduga usaha keripik jamurnya akan berkembang. Pasalnya ia memulainya secara tidak sengaja. Pada 1999 kelompok wanita tani tempat ia aktif berorganisasi dibina oleh Dinas Pertanian DIY tentang budidaya jamur kuping. Saat itu jamur kuping sedang booming di Yogyakarta. Namun, saat itu belum ada yang menjamah proses pengolahan jamur segar menjadi keripik. Ia mencoba 13 baglog di rumahnya dan berhasil memanen sebaskom jamur kuping.
Semangat untuk berkebun jamur makin menyelimuti ibu 4 putra itu. Dengan modal Rp10-juta, ia menyewa 2 buah kumbung ukuran 7 m x 12 m di daerah Cangkringan, Yogyakarta. Ia kembali mengeluarkan Rp12-juta untuk mengisi kumbung. Kapasitasnya 6.000 baglog dengan harga Rp600/baglog. Terpikat dengan suasana pedesaan, akhirnya sang suami, Cuk Soenomo malah membeli tanah seluas 1.350 m2 untuk dibangun kumbung berkapasitas 4.000—5.000 baglog.
Empat puluh hari kemudian ia memanen jamur kuping perdana dan 2,5 bulan berikutnya jamur tiram. Puluhan kilogram jamur segar dijejerkan di lantai rumah beralaskan koran. “Saya mendatangi restoran tionghoa dan katering satu per satu agar membeli jamur,” tutur Tarsih. Namun, gayung tak bersambut. Padahal jamur dari ribuan baglog harus terus dipanen.
Panen yang melimpah itu hanya diberikan kepada para tetangga dan kerabat secara cuma-cuma. Akhirnya ide membuat wisata petik di kumbung terbersit. “Alhamdulillah laku 11 kg,” kata Tarsih. Saat itu ia menangguk laba Rp44.000. Rupanya wisata petik pun tak menyelesaikan masalah. Jamur-jamur segar yang tak terpasarkan makin teronggok tak menentu.
Cuk Soenomo mengusulkan jamur diolah agar tahan lama. Sejak itulah melalui percobaan demi percobaan, keripik jamur Tunjung-3 rutin diproduksi. Perlu waktu 2 bulan untuk menemukan rasa yang pas dan gurih. Nama Tunjung-3 diambil sesuai dengan nama jalan kediaman ibu 3 orang cucu itu. “Saya pasarkan ke beberapa kerabat dan toko,” kata wanita aktif di organisasi kemasyarakatan itu.
Peniris minyak
Tarsih mengolah jamur dibantu 5 pegawai. Jumlah itu dirasakan belum optimal untuk rutin berproduksi. Ia sering kerepotan memenuhi permintaan karena melebihi suplai. “Saya sulit menemukan orang yang pas untuk menggoreng jamur dengan baik,” kata mantan pedagang batik itu. Akibatnya produksi tidak pernah bertambah dari bulan ke bulan.
Selain itu oven atau peniris minyak baru ada sebuah dengan kapasitas 1—5 kg. Padahal, untuk meniriskan jamur setelah digoreng butuh waktu 3 hari 3 malam. Dengan metode itu jamur lebih awet dan tetap renyah. Karena itu pula keripik yang dikemas 50 g dan 100 g dalam kantong plastik selalu ludes terjual.
Pemasaran bagi Tarsih kini bukan masalah. Apalagi ia memiliki banyak kenalan, yang secara tidak langsung turut mempromosikan keripik jamurnya. Tidak aneh, produknya kini makin dikenal masyarakat Yogyakarta. Secercah harapan kian berkembang di hati Tarsih bahwa suatu saat setiap orang tak akan meninggalkan Yogyakarta tanpa membawa Tunjung-3 sebagai buah tangan. (Pupu Marfu’ah/ Peliput: Laksita Wijayanti)