Trubus.id — Ada teknologi baru fermentasi biji kakao hanya 3 hari, kualitas biji kakao juga meningkat. Padahal, lazimnya pekebun kakao seperti di Mojokerto, Jawa Timur, memfermentasi biji kakao secara manual berlangsung selama 6 hari. Selain relatif lama, kualitas biji kakao hasil fermentasi manual juga kurang maksimal.
Angky Wahyu Putranto, S.TP., M.P., dosen Program Studi Teknik Bioproses, Jurusan Keteknikan Pertanian, Universitas Brawijaya, mengatakan, cara manual menyebabkan fermentasi biji kakao tidak merata.
Bahkan, beberapa biji kakao berjamur karena cairan tidak bisa keluar. Dampaknya, biji tanaman yang berasal dari Amerika Selatan itu terkontaminasi sehingga tidak layak jual. Kadang petani juga lupa, berapa lama pulp kakao masuk ke kotak fermentasi.
Semua permasalahan itu mendorong Olivia Pulcherrima Nugroho dan rekannya, mahasiswi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Brawijaya, membuat alat fermentasi yang efektif dan efisien bernama fermentation and automatic aeration (ferasi) pada 2021.
Alat itu berupa tabung kaca atau stoples plus seperangkat alat listrik berbentuk kotak. Mereka menempelkan dua elektrode ohmic sebagai pemanas di bagian dasar dan di balik tutup stoples.
Selain itu, terdapat kipas yang berfungsi menurunkan suhu. Saat biji kakao memenuhi stoples, dua elektrode itu mengimpit pulp.
“Pada fermentasi, yang terpenting pengaturan suhu agar stabil 40–45°C,” kata Olivia.
Ketika suhu turun, elektrode itu memancarkan energi panas. Namun, saat suhu terlalu panas, alat akan mengaktifkan kipas untuk menurunkan suhu di dalam stoples secara otomatis. Kapasitas alat mencapai 7 kilogram sekali fermentasi. Stoples harus terisi penuh agar hasil fermentasi maksimal.
Para petani kakao bisa memangkas waktu fermentasi dari 6 hari menjadi 3 hari saja jika menggunakan ferasi. Hal itu karena faktor utama dalam fermentasi yakni suhu, bisa dikendalikan secara optimal. Stoples juga tertutup rapat sehingga kontaminasi bakteri lain dapat dicegah.
“Hasilnya lebih cepat dan lebih merata bagian yang terfermentasi,” kata Olivia.
Menurut Angky, kualitas biji kakao hasil fermentasi menggunakan ferasi lebih bagus dibanding alat manual biasa. Alasannya, bagian kakao yang rusak hanya 1,7 persen karena beberapa pulp langsung menempel pada elektrode. Bandingkan dengan cara manual yang tingkat kerusakannya hingga 18–20 persen.
Angky menuturkan, penggunaan ferasi menghabiskan biaya Rp17.000–Rp19.000 per fermentasi atau per 7 kg biji kakao. Sementara itu, harga biji kakao hasil ferasi Rp20.000–Rp30.000 per kg.
Harga itu lebih tinggi dibanding harga pengolahan biji konvensional yang hanya Rp15.000–Rp20.000 per kg. Penggunaan ferasi relatif ekonomis.