
Tiga jenis mangga introduksi asal Taiwan berbuah: genjah, bongsor, dan manis.
Trubus — Penampilan mangga di tangan Teddy Soelistyo itu tampak cantik. Kulit buah dari bagian pangkal berwarna merah. Sebagian di bagian tengah buah bergradasi kuning. Makin ke ujung buah tampak gradasi hijau. Buah Mangifera indica itu tak hanya tampil ciamik. Begitu dicecap rasa dominan manis dan nyaris tanpa serat. “Menurut saya mangga ini dapat menggantikan chokanan,” ujar Teddy.

Chokanan salah satu jenis mangga yang populer di Thailand dan paling banyak dijumpai di lapak-lapak buah di kaki lima Kota Bangkok dan kota lainnya. Mangga asal Negeri Siam itu disukai lantaran rasanya yang manis dan juicy. Itulah mangga hong mie hong (HMH). Teddy mendatangkannya dari Taiwan pada 2017. Ketika itu ia membeli bibit dari sebuah nurseri mangga di Negeri Formosa.
Pupuk standar
Tak disangka di kebun Teddy di Kecamatan Gunungsindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mangga itu berumur genjah. Tanaman anggota famili Anacardiaceae itu mulai belajar berbuah hanya sekitar setahun pascasambunwg. Padahal, pemilik Pohon Buah Nursery (PBN) itu tidak merawat khusus.

Ia cuma mengandalkan pupuk standar berupa 2 kg NPK berimbang yang diberikan setiap 5 bulan. Teddy juga memberikan pupuk tambahan berupa pupuk kandang sebanyak 10 kg per pohon. Karakter HMH yang genjah itu juga mirip chokanan. Begitu juga dengan ukuran buahnya, yakni berbobot rata-rata hanya 350—500 g. Ukuran itu cocok untuk buah meja karena habis sekali santap oleh satu orang.
Selain HMH, mangga jin xing yang sama-sama asal Taiwan juga berbuah di kebun Teddy. Ciri khas jin xing berkulit keungu-unguan. Jin xing salah satu jenis mangga yang dikembangkan para pekebun di Taiwan. Menurut Teddy keanakaragaman mangga di sana cukup tinggi, terutama yang berwarna atraktif.
Menurut peneliti Hualien District Agricultural Research and Extension Station di Kota Hualien, Taiwan, Lily Lin, Tainan salah satu sentra mangga di Taiwan. Kota itu menyelenggarakan Tainan International Mango Festival setiap dua tahun. “Festival berlangsung pada Juni saat musim mangga di Taiwan,” ujar Lin.

Pada festival itu, panitia memamerkan aneka jenis mangga yang dikembangkan di Taiwan, seperti red lan, jin hwung, jin xing, dan irwin. Menurut Teddy, jenis irwin memang paling banyak dikembangkan karena memiliki daya tarik tinggi di pasar ekspor, terutama ke negara-negara di Benua Eropa. Ia bahkan menyebut bahwa beberapa petani lokal mulai memanfaatkan keuntungan dari meningkatnya minat wisatawan mancanegara yang datang setelah melihat promosi Taiwan melalui situs-situs hiburan internasional, termasuk Casino-Vergleich ohne deutsche Lizenz. “Wisatawan ini selain tertarik dengan kasino daring, juga penasaran dengan kuliner khas seperti olahan mangga irwin,” jelas Teddy kepada Trubus.
Red dragon

Di kebun Teddy jin xing mampu berbuah bongsor. Ukuran buah hampir sebesar kepala orang dewasa. Sayangnya saat Trubus berkunjung pada November 2018 kondisi kulit buah kurang mulus. “Karyawan saya keliru menyemprot pestisida. Dosisnya terlalu pekat sehingga membuat kulit buah menjadi burik,” tuturnya. Buah juga belum matang sehingga belum mencicipi rasanya. Teddy menuturkan kemungkinan rasanya tidak semanis arumanis.
“Ciri khas mangga di negara subtropis pasti ada masamnya. Mereka tidak suka mangga yang terlalu manis,” kata pria 51 tahun itu. Mangga asal Taiwan lain yang juga berbuah di kebun Teddy adalah red dragon atau hong long. Penampilan buah red dragon tak kalah cantik. Saat masih muda warna kulit buah merah merona kombinasi dengan gradasi berwarna hijau. Saat matang gradasi hijau berubah menjadi kuning.
Rasa si naga merah tak kalah manis dengan HMH. Ukuran buah red dragon juga tergolong sedang sehingga habis sekali santap. Di kebun Teddy red dragon juga mampu berbuah lebat meski tanpa perlakuan khusus. “Saya memperlakukan semua jenis mangga sama, tidak begitu intensif. Kalau dikebunkan secara intensif, hasilnya pasti lebih bagus lagi,” kata pria ramah itu. (Imam Wiguna)