Wednesday, December 11, 2024

Tiram Cokelat Anyar

Rekomendasi
- Advertisement -
Jamur cokelat Pleurotus pulmonarius sohor dengan nama phoenix oyster. (Dok. Trubus)

Dua jamur cokelat anyar pilihan pekebun.

Trubus — Sosok mini itu tumbuh seragam. Berwarna cokelat merekah seperti burung api atau hewan mitologi asal Mesir, phoenix. Itulah jamur tiram cokelat yang sohor dengan sebutan phoenix oyster. Jamur baru itu Pleurotus pulmonarius tumbuh di kumbung milik Triono Untung Piryadi. Pekebun jamur di Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu rutin memproduksi jamur bertudung melebar sejak 2016.

Jamur cokelat lainnya yang ditanam Triono adalah jenis Lentinus sajor-caju. Bentuk tudung sajor-caju lebih membulat dibandingkan dengan phoenix. Menurut Triono pertumbuhan keduanya sama. Oleh karena itu, ia membudidayakan keduanya berbarengan. Begitu pun rasa keduanya mirip, bahkan lebih gurih dibandingkan dengan tiram putih. Rasa gurih itu karena struktur protein pada jamur lebih mirip hewan dibandingkan tumbuhan.

Jamur cokelat

Menurut peneliti jamur dari Laboratory of Systematics and Geography of Fungi, Komarov Botanical Institute of the Russian Academy of Sciences, Saint Petersburg, Rusia, Ivan V. Zmitrovich, nama Pleurotus sajor-caju memiliki 2 arti dalam mikologi modern. Lentinus sajor-caju sinonim dari Pleurotus sajor-caju. Namun, penyebutannya belum memiliki makna taksonomi melainkan makna bioteknologi. Pada awalnya jamur itu kerap disebut strain Pleurotus sajor-caju. Namun, bukan anggota genus Pleurotus.

Menurut Ivan strain jamur cokelat lain Pleurotus pulmonarius berasal dari India. Jamur itu tumbuh di jaringan sukulen Euphorbia di kaki bukit Himalaya pada 1974. Jamur itu diberikan oleh ahli jamur asal India Dr. Zakia Bano kepada seorang ahli bioteknologi asal Tiongkok, Profesor S.-T. Chang, pada tahun 1980. Jamur itu kemudian sohor disebut jamur ekor phoenix, dan banyak strain darinya telah dihasilkan.

Jamur ekor phoenix menjadi paling adaptif karena bisa menghasilkan enzim lingoselulolitik relatif banyak. Sejak 1981, di bawah arahan dari S.T. Chang, jamur ekor phoenix telah dipelajari secara luas, termasuk profil enzim, kondisi lingkungan produksi, dan teknik budidayanya. Produksinya telah tersebar di seluruh Tiongkok, beberapa negara Afrika dan Amerika Latin.

Pekebun jamur di Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Triono Untung Piryadi. (Dok. Trubus)

Menurut peneliti bagian mikrobiologi di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinog, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Dr. Iwan Saskiawan, jamur yang lazim dikonsumsi di tanah air adalah jamur tiram putih Pleurotus ostreatus. Padahal masih ada jenis jamur tiram lannya yang bisa dikonsumsi seperti jamur tiram merah atau pink Pleurotus flabellatus, tiram cokelat Pleurotus sayor caju, dan tiram kuning Pleurotus citrinopilateus.

Iwan mengatakan, di Indonesian Culture Collection (Ina CC), Puslit Biologi LIPI menyimpan semua kultur murni itu. Menurut ahli mikrobiologi itu kendala untuk mengembangkan jamur tiram selain tiram putih hanya masalah kebiasaan. Masih ada yang menganggap bahwa jamur tiram berwarna mengandung racun. Namun, kini jamur tiram cokelat cukup berkembang di masyarakat. Karena selain produktivitasnya lebih tinggi, juga tubuh buahnya lebih berdaging.

Pasar

Jamur cokelat memiliki harga lebih tinggi dan siklus hidup lebih pendek dibandingkankan dengan tiram putih. (Dok. Trubus)

Keunggulan jamur tiram cokelat harga lebih tinggi dibandingkan dengan tiram putih. Harga tiram putih di tingkat petani Rp12.000—Rp15.000, sedangkan jamur cokelat Rp16.000—Rp18.000 per kg. Keunggulan lain jamur cokelat memiliki siklus budidaya lebih cepat. Lama siklus budidaya tiram putih per periode lazimnya 5 bulan, sedangkan jamur tiram cokelat 3—4 bulan sehingga perputaran modal lebih cepat.

Menurut pekebun jamur sejak 2003 itu harga jamur cokelat lebih stabil dibandingkan dengan tiram. Harga stabil bahkan pada hari raya, rata-rata Rp18.000. Triono mengembangkan jamur cokelat perdana pada 2016 untuk mengetes pasar. Pada 2017 produksi meningkat 300—400 kg per hari dengan menggunakan 4 kumbung. Pada 2018 mengembangkan hingga 12 kumbung dengan kapasitas produksi 1 ton per hari.

Produktivitas 200—270 gram per baglog ukuran 1,2 kg. Produktivitas itu lebih rendah daripada tiram putih rata-rata 300 gram per baglog 1,2 kg. Menurut Triono pasar jamur cokelat masih terbatas, hanya daerah Bandung. Daerah lain belum masih belum menerima 2 jamur berwarna cokelat itu. Kapasitas serapan terbatas pada 600—700 kg per hari. Pada 2018 Triono meningkatkan kapasitas produksi 2 jamur cokelat itu hingga 1 ton per hari.

Sayang pasar Jakarta belum siap menerima kehadriran tiram cokelat. Meski rasa lezat, masyarakat masih asing dengan warna tudung cokelat. Menurut Triono jamur cokelat lain yang potensial dikembangkan yakni Pleurotus sapidus. Rasa jamur baru itu enak. Namun, kendalanya siklus per sekali panen lama. Panen hanya sekali dalam kurun waktu 5—6 bulan dengan produksi 300 gram per baglog. (Muhamad Fajar Ramadhan)

Previous article
Next article
- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Kementan Ungkap Strategi Komunikasi dan Promosi Produk Susu Organik

Trubus.id–Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan) menjalin kerja sama dengan  Pemerintah Denmark dalam program...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img