Tebu baru produktivitas tinggi, toleran kekeringan, tahan penyakit.
Sepanjang sejarah nasional nilai impor gula Indonesia mencapai puncak tertinggi pada periode 2010—2013. Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian merilis nilai impor gula pada kurun itu mencapai US$4,94-miliar setara Rp45-triliun. Bandingkan dengan periode 2005—2009 sebesar US$ 2,96-miliar atau 2001—2004 (US$935,9-juta).
Peneliti tebu dari Universitas Jember, Jawa Timur, Prof Dr Bambang Sugiharto, mengungkapkan, salah satu cara mengatasi masalah itu adalah meningkatkan produktivitas tebu nasional dengan merakit varietas tebu unggul baru. Haraf mafhum, produktivitas tebu nasional saat ini sangat rendah. “Produktivitas rata-rata gula tebu Indonesia saat ini 5,25 ton per hektar. Angka itu jauh tertinggal dengan negara-negara lain seperti Brasil (7,9 ton), Amerika Serikat (8,7 ton), dan Australia (13,7 ton),” ujarnya.
Rekayasa genetika
Menurut Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Usaha PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, Jawa Timur, Ir Nurmalasari MSi, pemuliaan tebu secara konvensional dengan mengawinkan tetua jantan dan betina banyak hambatan. Nurmalasari mengatakan beberapa hambatan itu adalah tidak ada binatang pembawa polen, waktu pembungaan sering tak seragam, dan polen tebu mudah kering sehingga viabilitasnya singkat.
Saat jadi benih pun para pemulia mengalami hambatan lagi lantaran biji tebu sangat kecil. “Biji kecil membuat viabilitas rendah sehingga sulit berkecambah, tidak punya masa dormansi, dan tidak dapat tumbuh langsung di lahan,” ujar Nurmalasari. Untuk mengatasi hambatan itu, PTPN XI menggandeng Universitas Jember dan PT Ajinomoto Indonesia merakit varietas tebu baru dengan cara bioteknologi.
Menurut Nurmalasari, strategi PTPN XI dalam perakitan varietas baru melalui bioteknologi secara umum melalui 8 tahap. Tahapan itu secara rinci dimulai dari pemilihan varietas tetua dengan karakter unggul, mengkultur jaringan tebu, mentransformasi genetik, menghasilkan toleran kekeringan dan rendemen tinggi, pengujian karakter morfologi dan molekuler, fasilitas uji terbatas dan lapang uji terbatas, pengujian keamanan pangan dan lingkungan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005.
“Setelah semua itu selesai, maka varietas baru bisa dirilis,” ujarnya. Tebu hasil rekayasa genetika pertama di Indonesia adalah NXI-4T. Tim peneliti merekayasa tebu varietas bululawang (BL) dengan menyisipkan gen betA pada deoxyribose-nucleic acid (DNA) tebu BL menggunakan Agrobacterium tumefaciens. “Gen betA mengkode protein choline dehydrogenase (CDH) yang dikloning dari Escherichia coli dan Rhizobium meliloti oleh PT Ajinomoto,” ujar Nurmalasari. Proses itu menghasilkan tebu varietas baru dengan kualitas yang jauh lebih unggul daripada tetuanya.
Toleran kekeringan
Dipilihnya tebu BL sebagai tetua bukan tanpa alasan. Tebu itu unggul dari produktivitasnya yang tinggi dan ketahanannya terhadap penyakit luka api dan mosaik. Tebu BL dilepas pemerintah pada 12 Mei 2004 sebagai tebu unggulan nasional. Namun, tebu bululawang tak bisa optimal jika dibudidayakan di lahan-lahan kering. Padahal, lahan tipe itu yang masih berpeluang besar untuk pengembangan tebu.
“Lahan-lahan kering masih banyak, sementara lahan ringan semakin sedikit karena perluasan daerah pemukiman dan persaingan penggunaan lahan untuk budidaya tanaman selain tebu,” ujar Nurmalasari. Menurutnya, total area perkebunan tebu PTPN XI saat ini mencapai 72.572 hektar. “Dari total itu sekitar 29.049 hektar adalah lahan kering,” ujarnya.
Oleh karena itu perakitan varietas tebu tahan kekeringan menjadi solusi tepat untuk memanfaatkan lahan kering itu. Penelitian sejak 1999 itu akhirnya membuahkan hasil berupa tebu varietas baru bernama NXI-4T. “Nama itu merupakan kode perusahaan,” ujar Nurmalasari.
Kementerian pertanian resmi melepas NXI-4T sebagai varietas baru pada 12 Agustus 2013 sesuai keputusan menteri pertanian No. 4571/Kpts/SR. 120/8/2013.
Plane cane (PC) atau tanaman awal NXI-4T memiliki potensi produksi mencapai 9,11 ton per ha dengan rendemen 8,45% dan hablur 7,7 ton per hektar. Hablur adalah gula sukrosa yang dikristalkan, mencerminkan rendemen tebu. Sementara tebu ratun atau tanaman yang tumbuh setelah penebangan PC memiliki potensi produksi mencapai 7,56 ton per ha dengan rendemen 8,08% dan hablur 5,8 ton per hektar.
Selain produktif, tebu NXI-4T terbukti toleran terhadap hama penggerek batang dan penggerek pucuk. Harap mafhum, serangan hama penggerek batang tebu sangat ditakuti para petani. Serangan Chillo sacchariphagus pada tebu berumur 2 bulan mampu menurunkan hasil gula hingga 97%. Keunggulan lain adalah ketahanannya terhadap penyakit mosaik, blendok, dan agak peka penyakit pokahbung.
Aman
Untuk membuktikan tebu NXI-4T lebih unggul daripada tetuanya, tim peneliti menguji coba di tiga wilayah sekaligus yaitu di Prajekan, Kabupaten Bondowoso, Pajarakan (Probolinggo), dan Rejosari (Magetan), semua di Provinsi Jawa Timur. Hasilnya, di lahan Prajekan hablur gula NXI-4T mencapai 6,1 ton per ha, Pajarakan (5,6 ton), dan Rejosari (5,66 ton). Bandingkan dengan varietas BL di lahan Prajekan hablur gulanya hanya 3,92 ton, Pajarakan (3,83 ton), Rejosari (2,73 ton).
Selain unggul dari karakter tanaman, produk transgenik itu juga terbukti aman untuk manusia dan lingkungan. NXI-4T sudah mengantongi sertifikasi keamanan lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan keamanan pangan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. “Hasil kajian keamanan lingkungan menunjukan NXI-4T tidak bersifat invasif, tidak ada perpindahan materi genetik terhadap organisme lain, dan tidak ada kemungkinan terjadi penyerbukan silang antara spesies Saccharum.
Sementara hasil keamanan pangan menunjukan bahwa gula hasil dari proses purifikasi dapat dicerna oleh sistem pencernaan manusia, tidak terbukti bersifat alergen, dan tidak toksik,” ujar Prof Bambang Sugiharto. Generasi baru yang merupakan titisan bululawang itu terbukti lebih unggul. (Bondan Setyawan)