Begitulah aktivitas mingguan ayah 3 putra itu selepas pensiun 3 tahun silam. Setelah 32 tahun menjalani hidup sebagai pegawai bank, Tjetjep memutuskan membuka usaha mandiri di pedesaan. Uang pensiun sebetulnya memadai. Namun, pria kelahiran Jakarta itu enggan ongkang-ongkang kaki.
Tak heran bila kini Tjetjep kerap dijumpai berkeliling dari kumbung ke kumbung di keheningan desa di kawasan Cisarua, Bogor. Itulah keputusan terbaiknya kala memasuki hari tua. Bermodal Rp225-juta hasil tabungan pensiunnya ia bertekad membangun bisnis bernuansa back to nature. “Impian saya sejak kecil adalah menjadi petani,” ujar Tjetjep.
Apalagi menurutnya, jamur komoditas pertanian bernilai ekonomis tinggi. Prospek cerah pun membayangi bisnis tiram yang mulai dijalankannya. Tak heran bila untuk debut pertamanya Tjetjep tak ragu membangun 9 kumbung ukuran 6 m x 8 m berkapasitas 50.000—60.000 baglog.
Baglog tidur
Ribuan baglog itu dijamin mendapat perlakuan istimewa. Tjetjep yang menakhodai bisnis dibantu 3 rekan—Agus Santoso, Tarno, dan Steven—itu menerapkan teknologi baglog tidur. Baglog diposisikan melintang dan kedua ujung baglog dibuka sehingga produktivitas terdongkrak meski populasi baglog rendah.
Tjetjep menjamin baglog dapat berproduksi setelah berumur 1,5 bulan dengan hasil panen per baglog ratarata 0,7 kg. Terlebih sang baglog bisa ditumpuk ke atas hingga 10 tumpukan. “Sebenarnya tanpa rak pun bisa,” ujar Tjetjep. Kapasitas ruangan dipastikan lebih irit. Otomatis biaya produksi pembuatan rak dapat ditekan.
Kelebihan lain, interval panen sangat cepat, 10—14 hari untuk satu baglog. “Sistem tidur itu mempercepat masa panen, sebab batang jamur terhambat,” ujar pria kelahiran 18 Oktober 1948. Itu bakal merangsang tudung tiram tumbuh maksimal karena nutrisi terkonsentrasi pada bagian tudung. Kualitas tiram lebih baik.
Posisi tidur baglog membuat tiram tumbuh menyamping. Jadi ia tidak terkena sinar matahari langsung. Pada proses tumbuhnya, jamur bersifat phototropic—selalu mendekati cahaya matahari. Saat batang maksimal menghadap matahari, fase pertumbuhan batang pun mandeg.
Baglog tidur juga menguntungkan untuk mengurangi serangan hama. Posisi penampang tanam yang miring mempersulit serangga menusukkan telur ke dalam media. Tak heran bila 50.000 baglog yang tersebar di 9 kumbung milik Tjetjep itu tumbuh optimal. Sejumlah 5.000—5.500 baglog dalam tiap kumbung menjadi andalan Tjetjep.
Banjir pesanan
Keheningan Villa Lembah Berkat di Cisarua, Bogor, sama sekali tak menggambarkan kesibukan yang terjadi di dalamnya tiap hari. Pagar teralis bercat merah di depannya menyembunyikan hilir mudik pekerja yang tengah sibuk memanen tiram, mengemas, dan memasukkannya ke bak mobil. Sejak setahun silam, villa cantik itu disulap menjadi lahan tanam tiram putih.
Dari sanalah bisnis jamur tiram Tjetjep berawal. Nun di Bogor, Ciawi, Jakarta, Tangerang hingga Kediri rantai bisnis alias para pemesan tengah menunggu pasokan tiram Tjetjep. Sejak malang melintang di dunia perjamuran nama CV Lembah Berkat yang dinakhodai Tjetjep bareng 3 temannya itu kian kondang sebagai produsen tiram.
Pantas bila sejak setahun silam pesanan membanjiri perusahaan seumur jagung itu. “Bulan ini saja pesanan untuk Riau dan Batam terbengkalai. Padahal saya juga memiliki pelanggan lain yang harus dipasok,” ujar anak ke-4 dari 9 bersaudara itu. Meski pasar lokal tetap menjadi incaran utama, peluang ekspor pun bakal disabet. Singapura dan Hongkong tengah dijajaki sebagai lahan pemasaran baru. Oleh karena itu kapasitas produksi 2,5—3 ton per petik itu sebenarnya baru separuh permintaan yang masuk.
Pasang surut
Pasang surutnya harga jamur di pasar tak mempengaruhi layar bisnis tiram Tjetjep. Menurutnya asal dilakukan penyesuaian biaya operasi dengan perkiraan produksi, kerugian bisa dihindari.
Sebagai contoh, Tjetjep membandrol Rp5.000—Rp5.500 tiram putih per kg. Dengan biaya produksi baglog Rp1.500 dan produksi jamur 0,7 kg per baglog sekali petik, maka titik impas dengan keuntungan 2 kali lipat telah dicapai pada panen pertama selepas 1,5 bulan. Dengan 0,35 kg jamur saja diperoleh Rp1.500.
Pantas bila keuntungan bersih hingga Rp15-juta per bulan direngkuhnya. Itulah yang membuatnya terus memproduksi jamur 3 ton sekali panen.
Sejumlah 9 kumbung yang mendiami area 5.000 m2 itu telah difungsikan dengan optimal. Bila sebelumnya hanya 2 kumbung dengan 18.000 baglog yang produktif, peningkatan itu terbilang fantastik.
Produksi yang belum mencukupi pasar itu terbentur kendala jumlah baglog. “Untuk memperbanyak baglog diperlukan orang yang sudah benar-benar paham pada takaran komposisinya,” ujar alumnus STTN (Sekolah Tinggi Teknologi 10 November) itu.
Perluas kumbung
Sukses memasarkan yang kini dalam genggaman Tjetjep tak semudah membalik telapak tangan. Pria berkulit putih itu sempat kesulitan memasarkan tiram. Berkat salah satu rekannya, Agus Santoso, yang kenal dengan beberapa pengepul di sekitar Bogor, kendala itu teratasi. Medio 2004, tiram produksinya pun merambah pasar tradisional melalui tangan pengepul.
Meski begitu, rintangan tak juga mau berhenti. Akhir 2004, baglog racikannya digempur kumbang Cyllodes bifacies sehingga lebih dari 45.000 baglog tiram di rumah tanam jamurnya luluh lantak. Perlahan tapi pasti Tjetjep memulihkan kondisi. Awal 2005 ia mulai kembali berproduksi.
Kenangan pahit itu membawa berkah, kini dua pekan sekali ia rutin menuai laba. Memasok pasar yang separuhnya belum sanggup ia cukupi. Keuntungan makin berlipat, sebab selain menuai jamur, pemesan baglog tak henti-hentinya melayangkan permintaan. “Jika dijumlah mencapai 2.000 baglog per bulan,” ungkap Tjetjep.
Ia membandrol Rp1.500—Rp2.000—umumnya Rp800 hingga Rp1.000—untuk baglog racikannya. Itu terbilang mahal, tapi keistimewan baglog membuat pekebun tak ragu memboyongnya. Maklum dalam 1,5 bulan jamur tiram itu sudah berproduksi alias panen perdana.
Lahan seluas 5.000 m2 itu memang belum seluruhnya termanfaatkan. “Rencana ke depan akan memperluas jumlah rumah tanam jamur hingga 20—25 kumbung,” ujar Tjetjep. Wajar, sebab kapasitas produksi 50.000 baglog dirasa belum mencukupi. (Hanni Sofi a)