TRUBUS — Masyarakat Aru Selatan, Provinsi Maluku, menanti datangnya September atau Oktober. Pada bulan depan itu mereka menyelenggarakan tradisi tordouk—perburuan rusa Cervus timorensis mollucensis, babi Sus sacrofa, dan tikus—yang meriah. Jangan membayangkan sosok tikus rumah Rattus rattus atau tikus sawah Rattus argentiventer. Tikus yang diburu oleh masyarakat Aru Selatan adalah jenis berbeda, yakni Echymipera rufescens. Sosoknya lebih besar sehingga karkas juga lebih banyak.
Perburuan bersama itu dengan cara membakar alang-alang yang menjadi habitat aneka satwa. Padang savana menghampar di wilayah di Aru Selatan. Luasnya mencapai 29,17 ribu hektare. Oleh karena itu, ke mana pun mata memandang yang tampak hanya hamparan ilalang Imperata cylindrica. Bentang alam Kepulauan Aru sangat beragam, salah satunya hutan bakau di sekeliling pesisir laksana cincin hijau seluas 150 ribu hektare dan hutan alam. Ekosistem mangrove yang rapat menjadi benteng alami pesisir dari ancaman abrasi.
Selain itu ada pula batuan karang dari proses pengangkatan dasar laut akibat gerak tektonik. Sampai 2018 telah teridentifikasi 832 pulau di Kepulauan Aru. Lanskap hutan hujan tropis dataran rendah menutup hampir 75% Kepulauan Aru, menyimpan keragaman hayati yang khas. Hutan dataran rendah berperan sebagai penyedia kebutuhan masyarakat sekaligus habitat satwa. Di area itu mereka melangsungkan ritual tordouk.
Para tetua marga dari pemilik petuanan di lokasi tordouk lazimnya memutuskan waktu penyelenggaraan ritual tahunan itu yang berlangsung selama dua hari. Mereka bermusyawarah dengan masyarakat untuk menentukan waktu ritual. Secara harfiah tordouk berarti ayam berkokok. Warga setempat percaya dahulu ada dua putri yang terlambat bangun ketika ayam berkokok. Keduanya berubah wujud menjadi bukit, yaitu Setlanin dan Mamasel. Di sekitar area itulah kemudian disebut tordouk dan berlangsung kegiatan berburu bersama secara turun-temurun.
Ketika perburuan berlangsung, hampir seluruh warga desa ikut, termasuk perempuan dan anak-anak. Kaum lelaki membawa perlengkapan berburu seperti tombak, parang, dan panah untuk memburu satwa di padang ilalang. Sementara itu kaum perempuan membawa perlengkapan tidur dan memasak. Harap mafhum mereka bermalam di lokasi perburuan dan mengolah langsung hasil buruan dan menikmati bersama.
Pelaksanaan tradisi itu hanya sekali dalam setahun, ketika akhir musim kemarau sebelum musim hujan datang. Tordouk merupakan puncak kegiatan berburu. Di lain waktu sebelum tordouk dilaksanakan, ada juga kegiatan perburuan di lokasi alang-alang kecil yang ada di setiap desa. Di Aru Selatan terdapat sembilan desa, antara lain Marafenfen, Popjetur, Gaimar, Laininir, Feruni, Ngaiguli, dan Fatural. Lokasi pembakaran di beberapa titik alang-alang kecil itulah yang kemudian akan mempersempit ruang gerak beragam satwa.
Ketika api menjalar—pada akhir kemarau daun ilalang mengering sehingga mudah terbakar—ruang gerak aneka satwa itu menyempit. Satwa yang lolos dari perburuan di lokasi alang-alang kecil akan bergerak ke alang-alang tordouk. barulah kemudian dilakukan pembakaran alang-alang besar tordouk.
Di padang ilalang itu suara riuh masyarakat mengejar dan mengepung rusa, babi hutan, atau tikus hutan. Sesekali terdengar teriakan atau komando. Mereka memburu aneka satwa itu, mengumpulkan seluruh satwa hasil buruan, dan membagi rata kepada seluruh warga yang terlibat dalam tradisi tordauk. Para pemburu dan keluarga mengolah hasil buruan dan menikmatinya bersama-sama.
Membakar alang-alang cara turun-temurun dalam berburu karena efesien untuk menggiring satwa buruan. Sejatinya ritual itu juga berperan untuk menjaga keseimbangan alam. Masyarakat Kepulauan Aru menghargai lingkungan dan alam dengan merawat kearifan lokal seperti tordouk. Ritual itu juga mengandung norma, nilai, dan acara adat. Di sisi lain mereka mengenal tradisi sasi—tata cara adat untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hasil bumi termasuk di hutan atau padang ilalang.
Pada prinsipnya sasi merupakan larangan bagi masyarakat untuk mengambil hasil bumi berupa aneka satwa, tanaman pangan, atau hasil laut di wilayah dan waktu tertentu. Masyarakat Kepulauan Aru mengenal dua jenis sasi yaitu sasi adat dan sasi agama. Landasan sasi adat berupa aturan yang berasal dari kepercayaan terhadap leluhur. Sementara itu sasi agama berdasarkan kepercayaan terhadap Tuhan.
Ketika belum pada waktunya menggelar acara berburu bersama tordouk, masyarakat dilarang melakukan perburuan dan bakar ilalang di lokasi tordouk. Oleh karena itu, perburuan hanya berlangsung sekali setahun untuk mengontrol populasi satwa. Artinya antara tordouk dan sasi itu saling melengkapi agar membentuk keseimbangan alam. Secara tidak langsung, tordouk mengontrol populasi agar tidak berlebih. Di sisi lain, sasi justru bentuk konservasi untuk melindungi satwa di Aru Selatan.
Hingga hari ini mereka masih menggunakan sasi secara menyeluruh untuk menjaga keseimbangan alam. Pantas masyarakat yang melanggar sasi mendapatkan sanksi adat dan hukuman langsung. Mereka percaya pelanggar sasi berupa bencana seperti sakit atau kematian. Itulah sebabnya warga pun patuh pada aturan leluhur. Sanksi lain membayar denda sebagai simbol pembayaran dalam bentuk harta.
Selain itu, masyarakat meyakini membakar alang-alang menumbuhkan rumput baru untuk pakan satwa yang hidup di sana. Rumput yang menjadi pakan satwa akan tumbuh kembali lebih subur. Setelah alang-alang kering terbakar, alang-alang baru akan cepat tumbuh pada awal musim hujan. Tradisi itu sekaligus menjaga ketersediaan pakan dan keseimbangan alam. Hal itu menandakan antara alam dan manusia satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kondisi alam dan dinamika perubahannya membentuk peradaban manusia, menentukan cara hidup dan nilai-nilai yang dianutnya. Hubungan keduanya merupakan sebuah hubungan (sosial, ekonomi, budaya dan ekologi) yang kompleks dan berlapis. Hutan, laut, pesisir, savanna dan pulau-pulau menjadi ruang hidup sekaligus sumber-sumber penghidupan masyarakat Aru. Hubungan itu tampak dalam kehidupan masyarakat yang bercorak semisubsisten serta tradisi-tradisi lokal dalam mengelola sumber daya alam.
Bagi masyarakat, tradisi tordouk memiliki arti penting sebagai momen ketika semua orang yang berasal dari marga dan desa berebda itu berkumpul untuk berburu bersama. Lebih dari itu, tradisi tordouk bukan hanya soal kegiatan berburu, melainkan sebagai cara pemersatu antardesa yang memang dekat baik secara jarak maupun secara hubungan kekerabatan, sosial, dan budaya. Jadi, tordouk adalah simbol pemersatu yang menembus batas-batas administrasi desa, agama, atau marga.
Ritual itu sekaligus pengingat bagi generasi berikutnya bahwa mereka adalah satu keluarga besar yang hidup bersama dalam ruang hidup yang sama. Melestarikan kearifan lokal tordouk mampu menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Oleh karena itu, orang tua mewariskan “ilmu” itu kepada anak-anaknya. Generasi muda juga terus mempelajari kearifan lokal itu. Jadi, berburu ke padang datar dapat rusa belang kaki berguru kepalang ajar bagai bunga kembang tak jadi. (Aziz Fardhani Jaya, pegiat di Forest Watch Indonesia)