Monday, February 10, 2025

Untuk Emas Merah, Harapan Belum Pupus

Rekomendasi
- Advertisement -

Februari 2004 mereka kembali membudidayakan si pedas. Bahkan mereka memperluas 5 ha. Di berbagai sentra, luas penanaman kerabat tomat itu juga melonjak.

Kerugian akibat rendahnya harga masih membayang di pelupuk mata Sudiro, ketua Kelompok Tani Bangun Karyo. Begitu panen pada April 2003, harga di tingkat pekebun Rp2.500. Pada tingkat harga itu pekebun di pantai Garongan, Kulonprogo, masih menikmati laba Rp500 per kg. Biaya produksi untuk menghasilkan 1 kg cabai di sana Rp2.000.

Harga melorot menjadi Rp2.000 sepekan kemudian. Setelah itu penurunan harga seolah sulit dihentikan. Harga bertengger pada kisaran Rp1.000—Rp1.500 per kg, 2 pekan kemudian.Lantas harga enggan beranjak antara  Rp500—Rp700. Bahkan menjelang Idul Fitri dan akhir tahun sekalipun, harga mandek pada titik itu.

“Kalau mundhak (harga naik, red) paling Rp50, tapi kalau turun bisa sampai Rp500,” kata Sudiro yang ditemui Trubus saat menyiram lahan. Akibatnya, pinjaman dari Dinas Pertanian setempat senilai Rp100-juta hanya dapat dikembalikan Rp75-juta. Ketimbang harga pada Desember 1995—Rp3.500 per kg—pun terpaut jauh. Padahal sejak 1995 biaya produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida melonjak.

Cabai lagi

Kenyataan itu tak menyurutkan langkah Sudiro dan rekan untuk menanam Capsicum annuum. Demikian juga 2 kelompok tani lain di Garongan, Kulonprogo, yang mengelola total lahan 40 ha. Dua kelompok tani itu juga memperluas penanaman hingga 5 ha.

Produksi dari sentra Garongan rata-rata 2—3 ton per hari. Cabai dijual ke Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Para penggarap lahan milik keraton Yogyakarta dibebaskan dari sewa. Ratarata seorang pekebun menggarap 0,3—1 ha. Nun jauh di Pare, Kediri, Istiyah juga terus mengembangkan cabai. Ibu 3 anak itu baru saja menuai 1 ton dari lahan 1 ha. Ia mendapat harga Rp2.500 per kg.

Meski harga yang diterima cekak—biaya produksi per kilo Rp2.000—, Istiyah tetap memperluas penanaman. Masing-masing setengah ha ditanami pada pertengahan Januari 2004 dan 30 Januari 2004. Masih ada 1 ha lahan yang akan ditanami menyusul. Kegairahan pekebun cabai pada 2004 sudah diprediksi Ir Nurjaya yang kerap berkeliling ke sentra-sentra. “Tahun 2004 pekebun bakal bergairah lagi menanam cabai,” katanya.

Menggeliat

Prediksi Nurjaya tepat. Pantauan Trubus di berbagai sentra mengindikasikan itu. Penambahan luas penanaman antara lain terjadi di Magelang, Jawa Tengah. Menurut Direktur PT Tunas Agro Persada—distributor benih cabai—Cipto Legowo, penanaman pada Januari 2004 mencapai 300—400 ha. Bandingkan dengan rata-rata luas penanaman 2003 yang cuma 140 ha.

Harap mafhum, saat itu virus kuning Tobacco Mosaic Like Virus mewabah di Kota Getuk itu. Luas serangan di 3 kecamatan sentra terbesar di sana: Dukun, Sawangan, dan Mungkid mencapai 249 ha. Melambungnya permintaan benih juga terjadi di Yogyakarta. Wajar bila Dalimi Nursidiq, perwakilan PT East West Seed Indonesia di Yogyakarta, menargetkan penjualan 4.000 bungkus setara 40 kg.

Nursidiq optimis target itu gampang dicapai. Sampai 17 Januari 2004, ia memasarkan 1.250 bungkus. Masih ada sisa 3,5 bulan lagi. Bila kebutuhan benih per ha 3 ons, itu setara dengan penanaman seluas 40 ha. “Sebelumnya pada Desember 2003 tak ada penjualan, paling 5 kg,” kata ayah 2 putri itu. Begitu pula di sentra Ciamis, Jawa Barat.

Nostalgia

Apa yang memicu kegairahan berkebun cabai? Bagi Sudiro yang mengembangkan cabai di lahan pasir tepi pantai, seperti tak ada pilihan lain. Sedikit komoditas yang mampu tumbuh di lahan seperti itu. Selain itu ia berharap kejayaan pekebun pesisir kembali terulang seperti 4 tahun silam.

“Lahan di sini cocok untuk cabai. Siapa tahu bisa seperti tahun 1999 dan 2000,” ujar kelahiran Yogyakarta 42 tahun lalu. Saat itu harga cabai di tingkat pekebun Rp8.000—Rp10.000 per kg. Wajar bila, “Kehidupan masyarakat terangkat. Sebelumnya rumah-rumah di sini pakai bleketepe (anyaman daun kelapa, red), sekarang sudah ditembok dan pakai genteng,” kata Sudiro. J

awaban serupa muncul dari 3 pekebun lain di Kulonprogo, Yogyakarta, yang dihubungi Trubus secara terpisah. Mereka ingin merasakan nostalgia. Itulah sebabnya lahan di tepi pantai kembali ditanami cabai. Seperti Sudiro, Istiyah, pekebun di Kediri, Jawa Timur, terus mengebunkan sayuran buah itu untuk meraup laba bila sewaktu-waktu harga membumbung. Entah kapan itu terjadi.

Ajek

Meski sepanjang 2003 produksi cabai menemukan banyak hambatan—artinya produksi melorot, tetapi harga di tingkat pekebun relatif rendah. Empat hari menjelang Idul Fitri lalu, misalnya, harga per kilo cabai hanya Rp2.000. Padahal, selama ini harga cabai melonjak 20% menjelang Idul Fitri.

Selain serangan virus kuning, beberapa sentra seperti Brebes, Tegal, dan Pemalang dilanda banjir. Gangguan itu jelas mempengaruhi produksi cabai di Jawa yang selama ini menyumbang 65% kebutuhan nasional. Data Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura menunjukkan, saat serangan virus menghebat (April 2003), total produksi di Jawa 60,970 ton. Dua bulan kemudian produksi melorot tinggal 48,979 ton dan 38,644 ton.

Begitu pula 2 bulan terakhir pada 2003, Jawa menghasilkan masingmasing 44,082 ton dan 41,114 ton (baca: Harga Berayun-ayun, halaman 82—83). Faktanya, berkurangnya pasokan cabai tak merangsang lonjakan harga di tingkat pekebun. Sebaliknya, harga di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur. Di sana harga terus membumbung. Pada April 2003 Rp4.093 per kg.

Ketika pasokan mulai menurun, harga melambung menjadi Rp8.264 dan Rp9.238 pada Mei 2003 dan Juni 2003. Artinya, keuntungan hanya dinikmati oleh pedagang. Soal ajeknya harga di tingkat pekebun, Ir Dwi Kartiko Gozali dari PT Tani Unggul Sarana berpendapat,“Kemungkinan kekurangan pasokan diisi oleh daerah lain seperti Medan.”

Perlu kuota?

Fluktuasi harga cabai sejatinya bukan baru saja terjadi. Itu ibarat penyakit menahun yang belum diatasi. Menurut Direktur Direktorat Tanaman Sayuran, Hias, dan Aneka Tanaman, Sutrisno Soemodihardjo, perlu diberlakukan kuota penanaman. Jawa Barat dan Jawa Tengah dijatah masing-masing 1.500 ha; Jawa Timur, 2.000 ha per bulan. Kuota itu mesti dibagi ke beberapa sentra di setiap provinsi.

“Program itu sulit, karena pekebun biasanya menanam ketika harga tinggi dan tak mau menanam saat harga rendah. Padahal, jumlah produksi sekarang ditentukan oleh luas penanaman 3 bulan lalu,” ujar Kasi Hortikultura Dinas Pertanian Ciamis, Juda Djendra SP, MP. Walau banyak yang gagal berbisnis, tetap saja cabai menjadi komoditas menarik yang terus diusahakan.

Pengamat agribisnis Drs Yudha Herry Asnawi, MM mempunyai tamsil. “Seperti kisah cowboy yang mencari emas. Risikonya memang besar, tetapi jika menemukan, untungnya pun besar. Begitu juga cabai. Ibaratnya ia emas merah. Kalau harganya bagus, sampai belasan ribu rupiah per kilo, pekebun juga untung,” ujar dosen Institut Pertanian Bogor itu. Sepanjang harapan meraup laba belum berakhir, pekebun akan tetap menanam emas merah. (Sardi Duryatmo/Peliput: Astutiningsih & Syah Angkasa)

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Pesona Hutan di Kota Metropolitan

Trubus.id–Warga Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tak perlu bepergian jauh untuk sekadar menikmati atmosfer khas hutan hujan tropis....
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img